Anak Indonesia Harapan Masa Depan


Oleh : Marzuki

Proklamasi 17 Agustus 1945 merupakan sejarah terbesar bagi negara Indonesia. Sejarah yang didalamnya penuh telikungan dan pengorbanan. Memang, pengorbanan selalu memakan korban, kata Lenin, Bapak Revolusioner Rusia.

Tapi sayang, generasi yang saya tunggangi hanya gemar mendewakan sesuatu yang oportunis dan artifisial. Remaja yang kini telah terjangkit epidemi budaya mall; suatu budaya yang mengambil wacana dunia mall. (Darmaningtyas; dalam bukunya Pendidikan rusak-rusakan). Telephone genggam (Hp) lebih diartikan produk modern bukan diartikan secara fungsional. Maka tak heran, aksesoris yang melekat tidak mencerminkan perilaku yang konsisten. Membawa handphone namun ingkar janji tanpa memberi pemberitahuan.

Puluhan abad yang lalu hiduplah seorang nabi berkebangsaan arab bernama Muhammad, yang pernah dulu bersabda bahwa sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang bermanfaat terhadap manusia lainnya. Begitu sederhana teori beliau untuk menjadi manusia yang terbaik. Sekali lagi, menjadi manusia yang berguna bukan menjadi sampah masyarakat. Tentu disini, pesan ini lebih saya tekankan kepada para pemuda-pemudi sebagai generasi penerus bangsa ini. Lebih khusus lagi, anak Indonesia harapan masa depan. Anak Indonesia harus mampu mengembangkan potensi-potensinya. Yakni meluaskan kemanfaatan yang ada pada dirinya untuk kehidupan bermasyarakat yang lebih luas.

Waktu yang hilang tak akan pernah tergantikan, begitulah kata mutiara yang tertulis didalam buku Al-hikam karya Ibnu Ato’illah As-syakandari. Betapa, anak indonesia harus berusaha memanfaatkan waktu dengan semaksimal mungkin untuk belajar. Kalau bukan kita yang mempersiapkan untuk menjadi pemimpin Indonesia masa depan lantas siapa lagi. Kita semua mempunyai kesempatan yang sama untuk bercita-cita memimpin negeri ini. Dan, tak mudah untuk menjadi pemimpin negeri ini, semuanya harus mempersiapkan diri, begitulah pesan Bapak Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono. Semangat Budi Oetomo pada 1908 dengan deklarasi “Kaum Moeda Indonesia”-nya harus tetaplah kita pelihara. Pemuda seharusnya lah maju jangan berhenti, karena berarti mati, atau malah mundur yang berarti hancur. Dulu, sewaktu Indonesia belum memamah kemerdekaan ia telah berhasil melahirkan orang-orang seperti Bung Karno, Sjahrir dan Hatta. Sekarang?

Semangat tanya itulah yang bergelayut di otak penulis. Semoga secuil aksi saya ini bisa bermanfaat. Seenggak-enggaknya onggokan unek-unek saya ini sudah terlepaskan, atau minimal saya sudah beraksi daripada tidak sama sekali. Lebih dari, Wa Allahu A’lamu.

Tagged; aku anak Indonesia, Aku harus bisa, Sekolah untuk Indonesia

KATARSIS


Oleh: Marzuki
Di sekolah, setiap hari otak aku diracuni oleh senyum-senyum manis Allison meski aku tak ubahnya wisatawan yang berbunga hati hanya dengan memandang saja. Allison ini sekonyong-konyong menawarkan padaku seutas tali cinta yang dilempar-lemparnya melalui gaya-gaya bicara dan gaya –gaya sikapnya. Sebagai laki-laki yang normal aku dihadapkan untuk memilih satu dari dua opsi yang rumit. Antara ketekunan belajar dan menangkap saja cinta Allison. Opsi kedua merupakan sarat risiko bagiku, karena itulah menyangkut perasaan. Bukankah perasaan menuntut peran sangat dominan dalam tapak-tapak langkah manusia? Bukankah prioritas sekolah adalah belajar dengan tekun? Namun, bukankah pacaran mampu menjadi tiang-tiang kokoh pembangkit spiritualitas belajar? Ah, otak ku selalu berkecamuk perang argumentasi yang bertendensi pada Allison.
Hari senin ini aku bangun pagi benar. Senyum Allison terus saja bergelayut di batok kepalaku meski baru bangun tidur. Seusai solat subuh rutinitasku membaca buku atau Koran sembari menunggu sampainya waktu berangkat sekolah. Namun hari ini aku parah berat. Aku hanya duduk termenung di depan rumah dan otak ini makin bereksplorasi ria data-data tentang Allison; rindu senyum manisnya, rindu merdu suaranya saat-saat bercengkerama dengan teman-temannya, rindu gaya cerdasnya mengeluarkan pendapat saat-saat diskusi kelas. Sungguh 90% bagian otak ini tersita untuk Allison.
Aku berteriak lirih pada benda-benda di sekelilingku,”Apakah ini yang namanya cinta?”
Semuanya diam. Tampak dicuekin, mukaku merah. Aku pandangi dalam-dalam rumput di depanku. Dan, rumput itu entah, entah kenapa tampak mengusirku: Hei, orang gila, pergi kau!
Aku mundur tiga langkah. Mengalah. Dan berbisik keras pada rumput menjengkelkan itu.
“Brow, apakah kau tahu, yang kurasakan ini benar-benar cinta?”
Aku terkejut. Rumput di depanku itu bergoyang-goyang, seolah-olah mau mengajak berbicara dengan bahasa tubuhnya itu.
“hai James,…”
Aku makin tercengang dengan sapaan itu.
“Cinta itu hanyalah ketegangan perasaanmu saja. Katarsis!”
Aku memperhatikan rumput itu tanpa sama sekali berkedip. Diam. Namun aku tak sependapat dengan argumen rumput itu. Bukan. Cinta bukanlah katarsis.
“James, asal kamu tahu ya, cinta yang kau alami itu melibatkan hormon-hormon seksual,……”
Rumput itu tahu kalau saya tak sependapat dengannya. Maka terus saja nyerocos meguatkan argumennya.
“Tahukah kau? Hormon testoteronnya Tejo dan hormon progesterone Surti, itu bergejolak menggerakkan aliran darah mereka berdua saat-saat bertemu”
Bingung. Sama sekali aku tak sependapat dengan argument makkhluk itu. Namun argument apa untuk menguatkan pendapatku. Aku mengerutkan dahi tanda berpikir keras. Belum aku menemukan argumen, rumput itu menggertakku dengan mengibaskan daunnya ke arahku.
“Heh! Ngapain kamu hanya bengong. Maukah kau kusebut manusia bodoh?”
“Tidak!”
Akhirnya aku berani mengeluarkan suara meski hanya satu kata saja bentuk penyangkalan. Aku tidak mau kau anggap bodoh. Kamu hanyalah rumput. Namun…
Rumput itu berbisik keras,”Dan perlu kau ingat-ingat! Ketegangan gejolak gerakan-gerakan aliran darah mereka, antara Surti dan Tejo, itu bias saja mencapai titik puncak, yakni kebosanan. Katarsis! Itulah cinta yang kau alami, hei orang bodoh!”
Aku tersentak hebat dengan kata terakhir bisikan dari makanan lezat sapi itu. Aku berupaya keras menguras otak ingin sekali membantah argument itu. Semakin aku berpikir justru rumput itu makin bergoyang-goyang menertawakan ku: Bodohnya kau orang udik!
Kini sedikit-sedikit aku mulai mengagumi sosok rumput itu. Cerdas! Aku pun jadi samar-samar mengingat salah satu lagu Ebiet G Ade yang berjudul Berita kepada kawan yang sebagian liriknya ada yang berbunyi,” Atau alam mulai enggan Bersahabat dengan kita Coba kita bertanya pada Rumput yang bergoyang. O, betapa Tuhan menciptakan makhluk-NYA pastilah membawa manfaat dan sama sekali tak boleh diremehkan. Walau hanyalah seonggok rumput. Aku berusaha menggerak-gerakkan bibir ini untuk tersenyum manis pada rumput itu namun sepertinya ada suara-suara bising yang mengganggu kemesraanku.
“James, ayo berangkat!”, teriak keras John Kimsey dari seberang jalan yang suaranya diiringi dengan menggeber gas Harley Davidsonnya.
Brooooom…..bum! Bum…broooooom….
“jaaaaames”
Broooooooom
Aku diam. Aku tahu itu panggilan kawanku, John Kimsey. Namun rasa-rasanya berat sekali meninggalkan kemesraanku bersama rumput ini. Tapi, aku tetaplah harus berangkat sekolah. Aku amat rindu pada senyum Allison. Aku harus sekolah!
“Ooooooooe hooooooe ayooooo! James”
“Oke! Sebentar, John!”
Aku menjawab panggilan John lebih cepat dari geberan gas Harley Davidson itu. Aku sudah menyiapkan semua properti sekolahku sejak bangun tidur dan telah berseragam usai shubuh. O, aku tak lupa cium tangan orang tua sebelum berangkat sekolah.
Broooooom…….bum! Bum……..broooooom
Tampaknya John kelamaan menungguku. Aku berlari kecil kearah John. Opst! Muka John merah. Tak bersahabat. Aku harus menampakkan rendah hati dan meminta maaf.
“Sory banget, John”
“Yuuuuuk, cabut!”
Broooom….. bum! Broooooom…..
Jarak tempuh ke sekolah  7 km. jarak yang relative dekat. Lha wong Harley Davidson. John Kimsey amat konsentrasi bila berkendara motor. Bagi John, seni yang membuat seluruh panca indra bekerja adalah naik motor.
Aku merasa seperti bermain ayunan dibonceng motor ini. Segar. Begitu segarnya sampai otakku terbawa mengingat kembali pada forum liar dengan rumput tadi. Cinta itu katarsis, begitulah argument rumput tadi. Aku sama sekali tak sependapat. Bagiku, cinta adalah hasil yang dicapai akibat kecenderungan naluriah. Pendapatku karena teringat waktu dulu aku mengaji. Bahwa Al-Ghozali di dalam Ihya’ Ulum Ad-din mendefinisikan cinta sebagai kecenderungan naluri kepada sesuatu yang dirasa menyenangkan dan menentramkan jiwa. Cinta bukan sama sekali hanya kekalutan atau ketegangan perasaan semata, namun cinta mampu menumbuhkan ketentraman jiwa.
Kini aku sadar niat baik rumput, betapa ia sebenarnya berupaya menyadarkanku untuk jangan terlarut dengan perasaan ini. Aku adalah siswa yang harus tekun belajar. Aku masih duduk di bangku kelas dua SMA. Masa depanku masih panjang. Memang, cinta adalah kebutuhan, tepatnya kebutuhan naluriah. Namun belajar merupakan kewajiban bagi siswa. Akupun membuat keputusan, biarkan sajalah cinta ini mengalir apa adanya mengikuti alur-alur kehidupan. Prioritasku adalah belajar.
“Turun James!”
Aku kaget. Tanpa terasa telah sampai di sekolah. Dan John Kimsey memandangku.
“Wah! Mukamu tampak pucat pasi James, sakit ya? Bagaimana kalau aku antar kamu pulang? Nanti aku sajalah yang akan urus perizinan absen kelas. Oke!”, John bersemangat.
“Memangnya aku kenapa? Wong aku sehat-sehat begini kok! uhuks..uhuks…He…..he….he….”, sembari aku berlagak layaknya lakom film popeye is sailor.
“lha begitu dong! Senyum! Cemberut saja dari tadi”
“Kawan! Sebentar ya…aku mau ada bisnis”
“loh James! Kemana?”, teriak John, tak rela kutinggal.
Aku berlari kecil ke Mushola sekolah yang berjarak 150 m dari tempat parkir. Aku mau solat dhuha dan berdo’a untuk menstabilkan gejolak hatiku. Aku tidak mau berlarut-larut otakku ter-instal oleh data-data tentang Allison. Aku ingin bangkit dari keterpurukanku. Aku rindu pada sosokku dulu yang tekun belajar. Sosok yang selalu membusungkan dada bila berjalan. Sosok yang mampu memberikan pencerahan pada teman-teman. Kini, rasa-rasanya untuk berdiri saja sulit. O, betapa cinta membuatku tak berdaya.
Aku langsung mengambil air wudhu di Mushola. Suasana mushola putra sungguh sepi. Entah, bagaimana suasana mushola putrid? Namun biasanya mushola putri lebih ramai. Ada atmosfer yang berbeda memasuki mushola ini. Hatiku lebih tenang. Gejolak cinta ini sangat pedih bila aku harus jauh dari Tuhan. Akupun sholat dhuha yang lantas aku berserah diri pada Allah Swt.
“Ya Allah, berikanlah rupa-rupa kebaikan dengan cintaku ini. Bila memang benar-benar Allison adalah jodohku, aturlah dengan system-sistem canggih-Mu. Dan bila memang bukan engkau ciptakan dari salah satu tulang rusukku, alangkah baiknya Engkau jauhkan saja perasaan cintaku pada Allison ini”
Seremonial ini sangat berarti bagiku. Bukan artinya cintaku pada Allison tenggelam. Bukan! Namun aku merasakan cintaku ini lebih membawa ketentraman jiwa.
Usai aku ritual ini suasana mushola masih tampak sepi. Aku sempatkan diri mengintip mushola putrid sebelum pergi ke kelas. Dan, tiba-tiba saja kaki ini seperti sama sekali tidak menyentuh tanah, tangan yang kugunakan menyibak kain penutup candela mushola putri ini tiba-tiba saja gemetar. Karena dua bola mataku menemukan sesosok perempuan yang begitu dekat dengan hati ini. Saat menoleh ke wajahku perempuan itu tampak terkejut sesaat lantas senyum simpul.
“Assalamu’alaikum, Allison”, ucap salamku mesra.
“Wa’alaikum salam, eh……James, ada apa? Memang kamu tidak bersiap-siap upacara?”
“Ya, masih kurang dua puluh menit kok”
“Ayo! Jangan-jangan mau sembunyi ya….tidak ikut upacara, he……he……”
“Eh, Allison itu cantik-cantik tapi suka memprovokasi ya”
Ah! Begitu saja marah. Hati-hati saja, cepat jadi kakek-kakek!”
“tidak apa-apalah, yang penting nenek-neneknya kamu! Ha….ha…ha…”
Sungguh pertemuanku dengan Allison ini menghamburkan segala kelu kesahku. Senyumnya menaklukkan kesombonganku sebagai lelaki. Aku tak mampu lagi untuk merapal konsep-konsep rayuanku. Aku lunglai. Aku menatap matanya dengan tatapan cinta. Dan saat dua bola mata Allison merespon tatapan dua bola mataku, benar-benar aku tak sadarkan diri.

Kebebasan “Wal” Kebablasan

Oleh : Marzuki
Adrenalin ini rasa-rasanya tersulut-sulut lantas berkobar-kobar api motivasi ingin menjadi revolusioner sejati saat-saat mendengar putri Indonesia, yakni RA Kartini. Remaja perempuan yang tergugah jiwanya melihat lingkungan sekitar yang serba terdominasi oleh lelaki, lelaki dan lelaki. Pria, pria dan sekali lagi pria. Aturan-aturan yang tersusun sopan dari nenek moyang kemudian mengakar kuat dan seakan-akan menanggung dosa besar bila berani mengacuh, dimana perempuan hanya boleh bermimpi untuk hidup dinamis, akademis layaknya perempuan-perempuan eropa masa itu. Budaya lelaki yang seenaknya saja menikahi perempuan lebih dari satu merupakan barang yang sangat lumrah dimata Kartini, namun bukan sekali ramah di hati Kartini. Keinginan gerak kaki perempuan untuk melangkah kejenjang pendidikan tinggi, hanya memunculkan rasa iri saja, dimana laki-laki bebas menentukan arah kompas masa depannya. Adat yang memingit perempuan saat umur 14 tahun merupakan masa-masa betapa perempuan tersiksa, dimana melihat teman-teman lelakinya bisa bebas berkelana. Usai dari pingitan adalah ketika ada pria yang melamarnya dan membawanya pulang kerumah suaminya, dan bagaimanakah perasaan perempuan yang harus menikah dengan manusia yang sama sekali tak pernah dikenalnya?, dimana perempuan dituntut “sendiko dawuh” (patuh) dengan sabda-sabda suaminya. Ya, pemandangan inilah yang menggerak-gerakkan urat Kartini belia untuk mengangkat hak, kedudukan dan derajat kaumnya yang secara social dipandangnya rendah. Benih-benih yang tertanam kuat dalam jiwa kartini inipun tumbuh berkembang hingga mendirikan sekolah spesialis perempuan di tanah kelahirannya, Jepara. Walaupun duri-duri tajam bertebaran merintangi gadis manis ini, idealismenya dalam mendidik kaumnya sedikitpun tak tergoyahkan, bahkan sampai beliau menikah. Beliau ahli pikir, pemikirannya yang kritis dan menggugah pembaca ini sebagian terdokumentasi secara rapi dalam buku Dooe Duisternis Tot Licht, habis gelap terbitlah terang, berupa surat-surat kepada sahabat-sahabatnya di Belanda. Sekali lagi, Kartini merupakan pemikir, motivator, sekaligus pelopor emansipasi wanita yang dimanifestasikan dalam kegiatan sehari-harinya yang sama sekali tak pernah lepas dari perjungan; membantu rakyat kecil, meneliti problema-problema social, dan tentu saja mengejar atau mendidik putra-putri pertiwi.
Kini Indonesia berada ditahun 2010, millennium ketiga, bukan sekali menginjak tanah-tanah adat tahun 1890-an. Sekarang perempuan-perempuan telah hidup bebas terbang dengan sayap-sayap hak asasi manusia. Mereka kini telah dimanjakan dengan rupa-rupa pendidikan di universitas-universitas tinggi, perempuan karir menjamur dimana-mana dalam berbagai sub-sub pekerjaan, dan argumentasi mereka dalam memilih-memilah laki-laki sebagai pendampinya sungguh-sungguh dihargai. Dan Kartini-Kartini baru selalu muncul dan tak pernah lelah-lelahnya mereka mempermasalahkan-menimbang-memperjuangkan kesetaraan hak, kedudukan dan derajat wanita. Ya, sampai-sampai negeri loh jinawi ini telah mengizinkan dipimpin presiden perempuan, yakni ibu megawati Soekarno Putri.
Namun kartini-kartini baru ini seolah-olah ada yang lupa menekan-nekan rem pengendali batas-batas kebebasan, kalau sungguh-sungguh menentang diklaim kebablasan. Ya, betapa banyak perempuan-perempuan perkasa yang kokoh mempertahankan gengsinya hidup di ketiak suami lantas bekerja keras dan lupa walaupun hanya menyeduh secangkir teh atau kopi untuk suaminya, apalagi peduli dalam urusan-urusan seni pengelolaan “Home” dan House. (Catatan; dalam bahasa inggris memang terdapat dua kata pembahasaan rumah,”home” dan “house”. Rumah tangga biasa memakai “home”, dalam rumah, makanya lantas sering mendengar “broken home”, keretakan rumah tangga. Sedangkan “house” biasa digunakan untuk menunjukkan bentuk fisik bangunan rumah).
Nah coba telongok, begitu bertebaran mahasiswi-mahasiswi muslim, aktivis kampus yang vokal dan giat mewacanakan gender (jenis kelamin) dalam pergumulan organisasinya, ironisnya mereka mengabaikan norma-norma agama dalam interaksinya, baik sosial ataupun vertical (catatan: hubungan dengan Tuhan). Lantas apakah mereka boleh dibilang tidak mengerti, bahwa sosok Kartini yang mereka teruskan perjuangannya adalah manusia religius, yakni memegang teguh hukum-hukum agama?
Harapan penulis untuk kartini-kartini baru ini hanyalah, waspadalah untuk tetap menempelkan kaki ini diatas rem-rem pengendali! Berupa, ya “flash back” kembali meski sebentas saja kemungkinan terbesit niat-niat membengkok awal tujuan memulai perjuangan, atau membuka-buka buku, mutho’laah lagi merenungi dalam-dalam, apa makna emansipasi?
Semangat untuk merenung inilah yang selama ini bergelayut di hati penulis, menggumpal, menggumpal lalu membuncah tak tertahan lagi dan duarr! Meletus mengalirkan tinta membentuk secuil tulisan yang amat dangkal, klise dan tentu saja sektoral-partikular ini. Meskipun demikian, bukankah gerakan kecil ini lebih baik daripada tidak melakukan sama sekali? (Marzuki Bersemangat)

Titik Nabil Pembelajar



Oleh: Marzuki

“Yah, Ayah, ini lo burung perkutut”
Ujar seorang anak delapan tahunan. Menarik perhatian ayahnya, sembari jari telunjuknya menunjuk wikipedia.com memamerkan kecanggihan teknologi internet. Ayahnya yang sangat-sangat hobi dan dekat dengan dunia perkutut itupun meluap-luap hatinya dan penasaran.
“lo, ini kan pemenang lomba burung perkutut di Riau kemarin”.
“ini Yah, diclick!”
“Yang mana, yang mana?”
Anak itu menunjukkan cara-cara memegang mouse pada ayahnya untuk memperdetilkan informasi yang dimuat. Hati-hati sekali oramg yang sudah berkepala empat itu memegang mouse.
Ayah yang amat lembut saat-saat memegang burung perkutut itu tampak kaku sekali memegang mouse.
“Haaa! Ini kan teman ayah, waktu di Riau kemarin?”
Ayah itu makin gembira saja saat melihat foto yang terpampang. Betapa internet juga memuat hal-hal yang berkenaan dengan burung perkutut, hebat sekali, pikir sang ayah yang tiba-tiba muncul begitu saja dipikiran setiap kali beraktivitas.
Rasa penasaran itu pada akhirnya menumbuhkan rasa cinta dengan internet. Dan, hari demi hari saat senggang ayah itu melulu minta diajari mengoperasikan internet oleh anaknya. Bermula dari ketertarikan lantas cinta. Bukan sama sekali paksaan. Belajar akan merasa menikmati sekali bila-bila didasari cinta. Ah, cinta. Bahkan, rasa-rasanya lelah sepulang kerja atau kantuk yang menghampiri bisa-bisa terbang seketika. Ya, itulah dasyatnya cinta. Betapa cinta mampu membangkitkan tiang-tiang ketamakan terhadap obyek yang dicintainya.
Makanya, kenapa Ibnu Abi Tholib, Karroma Allahu wajhah, dalam syairnya yang termuat di kitab Ta’limul Muta’alim menempatkan “khirshun” ketamakan, berada pada posisi nomor dua setelah “dhakaaau”, cerdas atau diterjemahkan “sur’atu fahmi”, cepatnya memahami, dalam kamus Al-Munawwir? Karena “khirshun” merupakan aplikasi dari potensi “dhakaau”. Yakni, betapa kecerdasan adalah bola lampu aktif yang akan bercahaya terang bila jatahnya dialiri penuh aleh ketamakan sifat energi listrik. Dan sungguh amat mengenaskan bila kecerdasan tanpa sama sekali diimbangi ketamakan dalam melahap ilmu.
Sekali lagi, belajar dengan berkendaraan kereta cinta mampu menembus tembok-tembok penghalang dalam belajar. Dan setiap manusia mempunyai perasaan cinta sendiri-sendiri, untuk darimana harus menginjakkan potensi cintanya dalam memulai belajar. Ah, terlalu muluk sekali.
Suplemen akhir, yang inilah gundahan hati dan semangat saya menulis ini. Bahwa belajar sebenar-benarnya hanyalah fase belaka. Siklusnya, menuntut ilmu kemudian menjadi menjadi manusia berilmu dan tugas akhir adalah mengamalkan ilmu. Dan, dalam bahasa yang sangat masyhur, ngelmu iku angele yen wes ketemu, ilmu itu sulitnya bila sudah didapatkan.
O, betapa banyaknya dinegeri kita setiap tahunnya menelurkan pakar-pakar hukum dari berbagai universitas. Namun sungguh ironi sikap mereka, laksana membawa bara api ditangannya. Berupa-rupa kebijakannya di lapangan sama sekali melenceng dari norma-norma hukum yang lurus. Ah, semoga saja ini hanyalah imajinasiku belaka. Bukan sama sekali realitas pakar-pakar atau aparat-aparat penegak hukum negeri loh jinawi ini. Wa Allahu A’lam Bissowab.

Bumi Robberriver

Serial Kang Bari: Jejak Sang Ode


Oleh : Marzuki Bersemangat
Kang Badri, dihari Senin, 17 mei 2010, yang rasa-rasanya sakral ini ia berupaya flashback tentang dirinya.”Benarkah saya terlahir sebagai manusia kampium?”, ucapnya lirih di tengah-tengah keramaian manusia-manusia yang sibuk dengan aktivitas-aktivitas keduniawian. Pertanyaan ini merupakan gunungan optimisme Kang Badri betapa selama ini meyakini dirinya terlahir sebagai manusia kampium sejati. (Catatan; kampium dalam konteks holistic atau universal, tepatnya sosok manusia yang berupaya untuk bisa memberikan warni-warni kebaikan terhadap lingkungannya). Optimisme dalam tataran ini sangat-sangat penting laksana kemudi yang menjadi pengontrol halatuju. Betapa keyakinan berpengaruh besar pada sikap-sikap seseorang dalam keseharian. Yups! Itulah psikiater mengajarkan. Dalam sebuah Yellow book, (Catatan; yang dimaksud adalah kitab kuning, karya-karya cendekiawan abad pertengahan), menceritakan Imam Al-Ghozali merupakan sosok manusia pecinta ilmu, dan dalam bukunya Al-Munqid min Addholal, beliau menuliskan bahwa ia memang telah dibakatkan untuk mencintai ilmu. Menurut Kang Badri, pernyataan tersebut adalah cuatan dari dalam dirinya. Wal-hasil, “wakullu man lam ya’taqid lam yantafi’ “, dan setiap manusia yang sama sekali tidak yakin (berhasil terhadap proyeknya) maka (bersiaplah), tidak mendapatkan manfaat (keberhasilan). Ya tuan-tuan, begitulah yang ditulis oleh Syekh Syarifuddin Yahya Al-Imrithy mengajarkan melalui bait-bait sastra yang mempesona.
Berkisar umur sepeluh tahunan, Kang Badri mulai gemar benar menjelajah dari mushola, lading, lapangan, buku, permainan, perkelahian, persahabatan, percintaan satu menuju titik-titik nabil yang lain. What for? Experience is the best teacher, begitulah kira-kira jawaban yang tepat. Lebih jauh, ada yang bertanya, seberapa pentingkah pengalaman bagi kampium? O, bagi manusia kampium layaknya Kang Badri, berupa-rupa pengalaman adalah data-data penting yang sangat terproteksi sehingga memudahkan saat-saat membutuhkannya, dan dari data pulalah dapat dimengerti ya dan tidaknya kevalidan sebuah data baru yang akan disimpan. Dalam bahasa lain, pengalaman memberikan andil besar dalam mengeluarkan keputusan-keputusan yang harmonis. Ingatkah! Kasus geger dua orang ibu di zaman Nabi Sulaiman AS. Mereka berebut saling mengaku sebagai pemilik bayi atas ibu kandungnya. Percekcokan tak berujung hingga datanglah Nabi Sulaiman AS, yang konon usianya masih sepuluh tahunan. Beliau mengambil bayi itu dan berkata,”begini saja, saya akan membelah bayi itu menjadi dua lantas kuberikan separo-separo kepada kalian berdua. Adilkan?”. Kedua ibu itu tercengang, sesaat kemudian salah satu ibu berbicara menyatakan kesetujuannya atas ide itu. Sedangkan ibu yang satunya malah menangis tersedu-sdu sembari berkata,”Jangan! Janganlah dibelah bayi itu, alangkah baiknya biarlah ibu itu saja yang memeliharanya”. Opst! Hebar benar ibu itu. Nabi Sulaiman AS mendekati ibu yang menangis itu dan diberikanlah bayi itu kepadanya. Mengapa? Karena secara wadak ibu kandung sama sekali tak akan pernah rela melihat anak kandungnya mati dibunuh. Oh, sungguh-sungguh bijaksana keputusan Nabi Sulaiman AS. Mutholaah dari kisah ini, betapa seorang kampium sejati selalu dituntut belajar, belajar dan sekali lagi belajar untuk hidup lebih harmoni. Ah! Cukuplah untuk ini.
14 Juli 1999, Kang Badri memasuki lekuk-lekuk relung pesantren. Dan, disinilah Kang Badri mengerti betapa ilmu-ilmu Allah Swt itu sangat-sangat luas sekali. Diilustrasikan, seandainya air-air dilautan yang luas itu dimanfaatkan sebagai tinta untuk menulis ilmu-ilmu Allah Swt, pastilah habis kering kerontang lautan itu, bahkan didatangkan tambahan sebanyak itu pula akan habis berdaki-daki. (catatan; diintepretasikan dari Al-qur’an surah Al-Kahfi ayat 109). Unggah-ungguh, nutrisi factor-faktor X, buku-buku karya abad pertengahan, terprioritas sedikit-sedikit mengerti Al-Qur’an wal hadits merupakan sebagian perihal yang disuguhkan dalam kehidupan Kang Badri waktu di pesantren. Singkat kata, menurut Kang Badri, setiap jebolan pesantren akan merasa ada sekat-seka t bila mengingat gelar santri yang disandangnya. Toh, terpenting setiap manusia mempunyai masa lalu yang berarti. Santri hanyalah fase menuju pintu gerbang keluasan ilmu-ilmu Allah Swt, kemudian mengambil tugas berat mengarungi samudra yang dalam untuk merengkuh mutiara. Sekali lagi, gelar santri hanyalah proses-proses awal belajar bagi seorang kampium sejati.
17 April 2009, Kang Badri menempati kamar kost kecil berjarak kurang lebih 7 km keselatan dari pesantren. Gambaran sisi-sisi kamar kang badri tertulis dalam catatan hariannya.
Sebuah kamar yang beukuran kurang lebih 4,5m X 5 m. lantai yang hanya berubin “ris”, itu bukan tekel ataupun keramik. Bukan! “ris” itu hanya semen, pasir, air kemudian dihamparkan ke permukaan tanah. Jadilah penutup tanah. Itulah “ris”. Yang supaya tidak dingin di atasnya digelari karpet tipis dari plastik. Karpet yang tidak utuh, karena disana-sini banyak terdapat solasi, sebagai penyambung. Bahkan lantai ini warnanya berbeda. Pojokan utara coklat, sedang sebelah selatan berwarna hijau. Karena warna sambungan antara karpet satu dan lainnya berbeda. Ma’lum. Antara potongan satu dan lainnya jenisnya berbeda . juga warnyanya. Dan ma’lum lagi ya? Ashobah.
Tembok kuno yang cirinya bila ditancapkan paku mudah sekali. Tidak keras. Tembok kamar ini berbeda bahannya, maksud kami tembok yang dari sebelah barat. Berbeda sendiri dari yang lainnya. Yakni terbuat dari triplek. Makanya mudah sekali tersinggung bila anak penghuni kamar sebelah “gemblodhak” menyentuh triplek itu. Karena triplek itu adalah pembatas kamar. Tembok ini hampir penuh dengan tulisan, sebagai bentuk ekspresi dari Jurnalis Persimpang Jalan. Semoga dengan cepat bisa mengirimkan ke Mass Media. Biar ndak dholim. Ingin menulis cerpen ataupun novel yang sarat makna dan membawa pembaca untuk lebih ingat pada-NYA.
Atap kamar ini lumayan ada “pyan” sehingga bisa menaruh kipas angin amatir, harganya Rp.15.000,-an. Makanya dikatakan amatir. Isi ruangan ini yang istimewa hanya sepeda motor Supravit keluaran 2006 pemberian my parent, radio kuno yang mungkin sudah tidak ada pabrik yang memproduksinya. Radio ini mirip radionya mahar dalam film laskar pelangi yag selalu dibawanya sekolah. Kasur empuk tempat tidur, magiccom untuk memasak, lemari untuk menyimpan something, dan tak kalah penting yang harus kusebutkan adalah bolpoin dan buku catatan. (9/7/2009)
Dan bagaimanakah kehidupan keseharian Kang Badri? Opst, dikost-kostan ini, tampaknya Kang Badri tetap jugalah Kang Badri. Maksudnya idealismenya Alhamdulillah tetap terpupuk. Belajar dan belajar, meski warna-warni rintangan atawa halangan ngantri, namun justru itulah buku-buku bacaannya.”Pendirianmu bak pondasi yang mengakar ke perut bumi. Kokoh”, kata seorang kawan pada Kang Badri. Lantas, apa perbedaan pesantren dan kost-kostan ala kang badri? Sama saja. Toh, semua perabot pesantren telah menyatu dalam jiwa Kang Badri. Hanya, kalau-kalau Kang Badri pergi ke Masjid rasa-rasanya ada suara-suara gatal,”Ehm, Pak Kyai”. Ya, segi kalimat memang memuji, namun bisa dipahami berbeda bila intonasi dan raut muka amat-amat paradok.
Dalam pasang surutnya kehidupan kost-kostan, Kang Badri berjumpa dengan tetapa-tetapa suci yang selalu memberi pencerahan-pencerahan idealismenya; Mas Waheb, terima kasih atas kontribusi-kontribusi pemikirannya. ”seenggak-enggaknya kita sudah bergerak meski hanya sebuah gerakan kecil”, ucapnya saat di warung kopi pada Kang Badri, melegitimasi betapa ide merupakan sumbangan yang tak kalah penting dalam kehidupan ini. Mas Zairin, terima kasih atas diskusi-diskusi cerdasnya. “Ya, memang rokok bisa menetralisir bau-bau yang tak sedap saat-saat kita sedang beol, tapi khan zat-zatnya dari beol tetep saja masuk ke hidung”, bantah Zairin kepada Kang Badri ketika mau beol dan membawa rokok. Pak Karim, Sang Insinyur, terima kasih atas motivasi-motivasi hebatnya. “Pendekar yang sebenar-benarnya pendekar tak tampak kependekarannya. Bila ingin melihat kependekarannya, lemparlah ia dengan batu”, ucap Pak Karim, yang selalu Kang Badri ingat dan begitu menancap di otak Kang Badri hingga kini. Mas Fauzi, terima kasih atas penambahan wawasan ilmu-ilmu komputernya, dan lain-lain. Ah sudahlah untuk cerita kost-kostan.
Sekarang, Kang Badri berdiri di sebuah pelataran yang nampak penuh kedamaian dan tentunya berjarak jauh dari merdunya suara-suara santri menghafal bait-bait Al-fiyah. Kini, rasa-rasanya Kang Badri merasakan betapa tegangnya perpolitikan di Indonesia. Rasa yang tampaknya langka di lidah sewaktu dulu dipesantren. Aroma-aroma Sri Mulyani, Susno Duadji ataupun kebijakan-kebijakan Presiden Susilo BY begitu sekali menyengat-nyengat panas disini.
Bagaimanakah kasak-kusuk Komjen Pol. Susno Duadji sekaligus diintip dari lubang-lubang Kang Badri?
Fakta ala Kang Badri, betapa bumi putera geger dengan diungkapnya penyelewengan pajak senilai 25 miliar rupiah. Kampium tersebut adalah Komjen Pol. Susno Duadji. Anehnya, suara-suara keadilan yang dimunculkan bukan pembersihan mafia hukum malahan justru panglima pemberani itu dituding biang keladi pencemaran nama baik institusi kepolisian. Penggelap pajak yang didakwa sang kampium adalah Gayus Tambonan, Dan entah, entah konspirasi apa tersangka menyerahkan diri di Malaysia. Tersangka yang juga oknum kepolisian ini dibawa sore itu juga ke Indonesia. Meski sang kampium dicap keras pengkhianat ia tetap saja berkelekar,”ini baru sepucuk dari bongkahan es yang menggunung”. Bola panas sang kampium kian liar saja di kerajaan. Bahkan pasca menyeret dua jendral, kini memasang daftar baru inisial: Mr.’X”. Heboh. Teknokrat-teknokrat penting membingungkan diri memecahkan teka-teki bola liar ini. Dalam kasak-kusuk proses penyelesaian, sang kampium makin terpojok saja. Apalagi clear-clear inisial Mr. ‘X’ mendarat kepada Syahril Djohan yang lantas menyepak keras-keras serangan balik kepada sang kampium. Jleb. Susno Duadji meningkat menjadi tersangka pernah menerima suap dari PT. Salmah Arwana Lestari. Sontak kepolisian buru-buru menjebloskan sang kampium ke hotel prodeo. Bertubi-tubi team advokasi sang kampium tidak terima,”penahanan Susno Duadji tanpa sama sekali bukti”. Ya, memang ironi.
Opini ala Kang Badri, betapa mulai dari masyarakat onta sampai pada taraf masyarakat kapal udara sang kampium pembawa misi kebenaran selalu saja terbiasa melewati jalan-jalan yang terjal. Bahkan tak jarang jalan-jalan itu berjurang dan mengancam keselamatn sang kampium.
Kang Badri akan menyuguhkan sepenggal saja sejarah besar manusia paling berpengaruh di dunia, yakni Nabi Muhammad Saw. Dan, ayo! Membaca seksama lantas bisalah mengambil hikmah dari secuil sejarah menjelang Nabi beserta kaumnya ke Yastrib. Betapa rencana kepindahan Rasulullah Saw beserta kaum muslimin ke Yatsrib didengar kaum kafir Quraisy. Mereka segera bermufakat dan mengambil keputusan untuk membunuh Rasulullah Saw sebelum beliau berhijrah. Untuk mengatasi kemungkinan pembalasan dari keluarga Rasulullah saw, masing-masing kabilah mengirimkan seorang pemuda pilihan sehingga rencana pembunuhan itu seolah-olah merupakan rencana kaum Quraisy secara keseluruhan.
Namun rencana tersebut gagal sekalipun mereka telah berhasil mengepung rumah kediaman Rasulullah Saw. Secara mendadak para pengepung itu diserang oleh rasa kantuk yang hebat hingga tertidurlah mereka semua. Rasulullah Saw bersama Abu Bakar dan Amir bin Fuhairah (pembantu Abu Bakar) berhail keluar dari Mekkah. Merka tidak langsung kearah selatan. Rasulullah Saw dan Abu Bakar bersembunyi di gua Tsuur sementara Amir bin Fuhairah kembali ke Mekkah untuk menghapus jejak-jejak pelarian mereka.
Meskipun para pengejar dengan dibantu para ahli pencari jejak akhirnya tiba pula di gua tsuur, namun mereka urung memasuki gua karena melihat sarang laba-laba di pintu masuk gua dan juga burung merpati yang tengah mengeram. Menurut mereka, mustahil didalam gua berisi orang yang berhasil masuk kedalam gua tanpa merusak jaring laba-laba dan membuat kepanikan burung merpati yang tengah-tengah mengeram tersebut. Menurut mereka, mustahil didalam gua berisi orang yang berhasil masuk kedalam gua tanpa merusak jarring laba-laba dan membuat kepanikan burung merpati yang tengah mengeram tersebut. Rasulullah Saw dan Abu Bakar kemudian melanjutkan perjalanan mereka hingga akhirnya tiba di Quba, wilayah yang berjarak sekitar 10 kilometer dari Yastrib, pada tanggal 8 Rabiul awal tahun 1 Hijriyah atau 20 september 622 Masehi. Di Quba, Rasulullah Saw dengan dibantu para sahabat mendirikan Masjid Quba yang merupakan Masjid pertama yang didirikan dalam sejarah Islam. Rasulullah Saw dan Abu Bakar serta Ali bin Thalib yang berhasil menyusul segera melanjutkan perjalanan hingga akhirnya mereka tiba dengan selamat di Yatsrib pada hari Jum’at 12 Rabiul awal tahun 1 hijriyah (24 september 622)
Kota Yastrib pun berubah namanya menjadi Madinah (Madinatun Nabiy) yang berarti kota Nabi kaum muslimin Mekkah (kaum muhajirin) yang telah berhasil berhijrah terlebih dulu dan kaum muslimin Madinah (kaum Anshor) dipersaudaraan oleh Rasulullah Saw hingga mereka menjadi satu kesatuan yang kokoh.
Kaum Muslimin di Madinah semakin kuat meski terus mendapat rongrongan dari kaum Yahudi yang bertempat tinggal disana dan juga beberapa kali mengaami beberapa kali pertempuran yang hebat melawan kaum kafir Quraisy, namun atas pertolongan Allah Ta’ala, kaum muslimin dapat tumbuh menjadi kaum yang kuat dan kuat pula menegakkan syariat agama yang telah ditetapkan Allah Saw.
Pahit getirnya perjuangan Rasulullah Saw beserta para sahabatnya telah terbayar dengan kejayaan dan kegemilangan Islam yang terus menyebar hingga meliputi jazirah Arabiyah dan terus menyebar menuju pelosok dunia.
Jadi, apakah pahit getir kampium hanyalah merupakan serpihan jalan terjal yang diharus kan bersabar?
Kang Badri menjawab,”YA!!!”. Lha wong pencuri yang jelas-jelas pengecut sejati saja rela menyamar-nyamar, mengendap-ngendap, menunggu-nunggu alias bersabar dalam perjalanannya. Wal-hasil, “kampium-Chauvinis-idealis dan seabrek profesi lainnya must be patient!”.
Dan,”benarkah saya terlahir sebagai manusia kampium?”, ucap Kang Badri lirih mempertegas dirinya yang sedari tadi tampak tenang di pergumulan kesibukan manusia.”Ah, alangkah baiknya bila manusia berupaya instropeksi”.
Tiba-tiba saja kawan-kawan Kang Badri melemparinya dengan air bekas cucian sembari beramai-ramai berucap,”Seeeeeelamaat uuuulaaang taaaahuuuun kaaaamii uuucaaaapkaaan, hooooeeeee aaaayoooo leeeempar laaaagiiiii”. Dan, secepat bajingan Kang Badri berlari-berlari dan menghilang. Wa Allahu A’lam Bissowab.

Qobla Addhuhri
Bumi Damai Robberriver

Kutu Kupret, cerpen untuk Mbak Sri


Oleh: Marzuki Bersemangat

Sri Mulyani Indrawati nama perempuan itu. Empat Puluh tujuh tahunan. Tipikal ibu muda, punya daya juang tinggi dan yang prioritas adalah integritasnya, begitulah orang-orang Indonesia memandangnya. Kini di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono jilid II, beliau duduk manis sebagai menteri keuangan dan mampu mencetak goal-goal yang mencengangkan. Ironisnya, teman-teman sepermainan menampakkan wajah-wajah yang sinis pada pencetak platinum goal ini. Tak pelak dalam perjalanannya ini berusaha dijerat erat-erat dengan tak berujungnya skandal bank century.
Ukiran berkilau di jagat Asia yang sudah ditorehkan Sri Mulyani membikin bank dunia jatuh cinta. Konon setahun yang lalu Ibu Sri Mulyani pernah dilamar Bank Dunia namun Bapak presiden belum mengizinkan kepergiannya. Tapi bank dunia tampaknya tidak putus asa. Melihat kecantikan aksi-aksi cerdas pengelolaan keuangan di Indonesia dipinanglah sekali lagi. Dan, akhirnya Sri Mulyani mengundurkan diri dari menteri keuangan Indonesia, atas seizin presiden pula beliau bulan depan akan berkantor di Washington DC Amerika serikat.
“Walah-walah! Lempar batu sembunyi di luar negeri”, Ujar Wak Jo, penuh sentimen berkomentar tentang Sri Mulyani Indrawati ini.
Aku, Wak Jo, Mas Poer dan Mbak Ruk memang gila-gilaan kalau berkumpul. Sok elit sekali tema pembicaraannya. Saat terjadi perdebatan liar, keempat orang ini hanya terdiri dua kubu; Wak Jo blok’s Vs Mbak Ruk blok’s. Aku pro Mbak Ruk dan Mas Poer pro Wak Jo. O, aku pembela perempuan.
“Betul, betul, betul,……..”, dukung Wak Jo
“Betul apanya, Poer?”, gertakku
Mas Poer tampak gelagapan mendengar jawabku. Ia pun menutupi rasa malunya dengan menepuk-nepuk paha sembari bernyanyi ria tanpa dosa. Sesaat kemudian Mbak Ruk yang sedari tadi memain-mainkan handphone jiwa kartininya muncul.
“Sri Mulyani, itu putri teladan Indonesia,…….”, kata Mbak Ruk dengan semangat optimis.
“Eh,……..”, ulah Wak Jo, mencibir Mbak Ruk.
Wak Jo, yang sok kampium intelektual ini sebenarnya deg-degan bila-bila beradu argumentasi dengan Mbak Ruk. Lha wong mahasiswa kutu kupret bin pasifis kok melawan mahasiswi kutu buku bin aktifis. Namun kami berempat adalah klop. Tolong menolomg mengisi kantong bila-bila satu diantara kami tertimpa kantong-kantong kekayaan. Ya, inilah kehidupan di negeri orang.
“Betapa di tengah-tengah kasus yang menjeratnya, beliau malah menunjukkan taringnya bercahaya di panggung dunia”, Mbak Ruk meneruskan.
“Betul, betul, betul,……”, Suportku
“Betul apanya, Mar”, balas Mas Poer.
Akupun celingak-celinguk juga. Cengar-cengir. Mendukung tanpa melalui proses berpikir. Namun jangan sebut Marzuki Bersemangat kalau tidak pandai nge-les. Dan entah, entah kenapa aku disambut ketiga temanku dengan terkekeh-kekeh begitu aku berucap.
“Ya itu Sri Mulyani, Menteri keuangan,iya kan?”
Untuk kesekian kalinya kutatap dalam-dalam satu persatu wajah temanku. Wajah yang sangat-sangat jenaka sekali. Menertawakan aku, atau jangan-jangan mereka menertawakan atraksi-atraksi konyol panggung perpolitikan Indonesia ini? Dimana wajarnya perbedaan visi terbiasa dengan saling menyingkirkan.
Dalam sisi-sisi pandangan Wak Jo, sebagai mahasiswa kutu kupret bin pasifis, pertunjukan reaksi itu bisa-bisa dianggap sikap picik belaka. Pengunduran diri Sri Mulyani dari Menteri keuangan lantas berkantor di Washington DC Amerika Serikat adalah satu bukti betapa rupa-rupa orang berdasi di Indonesia bertindak menerjang aturan kemudian berlari sembunyi saja. Dan, biarkan saja waktu yang menenggelamkan kasus itu. Pengkhianat!
Pandangan Wak Jo, ini sekaligus potret argumentasi-argumentasi masyarakat kita. Betapa masyarakat kita masih berkutat dalam tataran berpikir seperti itu, yakni minimnya kepercayaan terhadap orang-orang di institusi pemerintahan. Lha kalau orang-orang layaknya Wak Jo, lalu siapa yang mau percaya dengan institusi kita?
Merupakan sebuah sunnatullah bila ada orang yang berpandangan seperti Mbak Ruk, seorang optimistis sejati. Bahwa Sri Mulyani adalah teladan Kartini masa kini yang tegar berkarir ditengah-tengah cengkraman dominasi lelaki yang menjadi lawan-lawan politiknya. Menggugah kaumnya melalui sepak terjang yang jitu. Dan bagaimana beralasan sebuah ucapan, lempar batu sembunyi di luar negeri? Lha wong beliau dikenal sebagai satu dari dua orang yang paling bertanggung jawab dalam kucuran penalangan dana century. (Catatan; dua orang tersebut adalah Sri Mulyani dan Boediono, di era rezim Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla). Ya, begitulah pandangan Mbak Ruk.
Argumentasi Mbak Ruk sebenarnya mencakar-cakar para pewacana gender yang tak habis-habisnya menyuarakan kesetaraan. Realitasnya gender di Indonesia telah sukses diusung. Berbagai sector-sektor pekerjaan perempuan telah berkiprah. Ironisnya mereka hanya bersuara tanpa diikuti menciptakan terobosan baru di panggung dunia. Dan, sekali lagi, Ibu Sri Mulyani Indrawati adalah teladan Kartini Indonesia masa kini.
“Duarrr”
Mbak Ruk memecahkan keras-keras plastik bekas yang ditiupnya tepat di depan mukaku. Byar lamunanku buyar. Dan ini merupakan kali kedua aku ditertawakan dengan mulut lebar-lebar oleh Mas Poer, Wak Jo dan Mbak Ruk di coofee break pagi ini.

08.35/10/05/2010
Bumi Damai Robberriver

SORBAN (DIKALUNG) PEREMPUAN



Oleh: Marzuki Bersemangat
Sempat aku terbawa diawal-awal film yang sudah berkali-kali kutonton itu. Sangking emosionalnya tanganku corat-coret kertas di tumpukan kamar. Judul catatan yang bertuan sampah ini bentuk kalimat pasif dari film “Perempuan Berkalung Sorban” yang digawangi Hanung Bramantyo. Konon yang baru kemunculannya sempat ada kontroversi. Aku tidak akan ngelantur perihal sengketa hasil kreatifitas anak bangsa itu. Bagitu art to art. Aku hanya ingin nostalgia pesantren yang penuh dengan cerita-cerita inspirasi. Ngomong ngalor-ngidul yang kadang secara tidak langsung menjawab problem masyarakat. Tak pelak gender (perihal : kelamin laki-laki dan perempuan) yang sedikit dipertunjukkan dalam film itu.
Kawan, ku kenalkan karibku, Budi. Sekarang membanting tulang menuntaskan S2 di Universitas Diponegoro Bandung (2008-2010). Posturnya tinggi, besar putih dan tampan; idaman kaum hawa yang bisa geregetan melihatnya. Secara aku pribadi, cerdas merupakan satu alasan untuk aku jadikan sahabat. Teman dalam silang pendapat - nyeduh teh kopi - no smoking - tentu juga berkelana mengitari Jombang tercinta saat-saat butuh intuisi, waktu dulu nyantri di Kyai Mojo Tambakrejo Jombang.
“Mas, yo opo tentang gender menurut sampean?” tanyaku pada Mas Budi saat kami sedang ngopi di Mak Ti warung belakang pesantren
Aku memanggilnya memang “Mas” sebagai sikap hormat. Terpaut empat tahun lebih tua Budi. Ia sangat respek dan penuh spirit dengan kehadiranku. Ciri khas budi kalau berpikir: mengerutkan dahi dan tegang, serta bola matanya minggir seakan melirik anjing menggonggong. Aku tahu banget Budi akan berkata serius, tandanya; memukul lantai dua kali dan memperbaiki posisi kopyah yang selalu melekat di kepalanya.
“Gender ta pli,......”
Budi memanggilku “Kipli”. Tak apalah!. Ia berkata dengan pelan, santai, bercerita tentang Kyai tauladan kami, Drs. KH. Imron Djamil yang penuh talenta dan banyak mengajarkan sisi-sisi lorong kehidupan dengan ilmu dan wawasan intelektualnya yang mengagumkan pada kami. Beliau pernah bercerita, bahwa suatu hari di negeri antaberantah pernah terjadi dua obrolan antara dua orang perempuan terpelajar; perempuan muslim dan non muslim. Dengan nada penuh sentimen perempuan non muslim itu berujar;
“saya heran melihat perempuan muslim ini, mengapa kok masih mempertahankan idealisme di tengah zaman yang HAM sangat di junjung tinggi ini”
“Maksud kamu bagaimana ?” tanya perempun muslim sembari tersenyum manis.
“Ya saya tidak terima dengan doktrin islam yang mengekang kaum perempuan, yang keluar rumah saja harus ditemani atas seizin suami. Berbeda dengan kami yang free-bebas, sangat dihargai haknya”
Perempuan muslim itu tenang. Tampak sangat dewasa. Menatap penuh sayang dengan perempuan yang berusaha memojokkan islam itu, kemudian berargumentasi:
“Oh. Begitu. Saudariku, islam itu sangat sekali memperhatikan hak-hak perempuan, lihatlah sikap Islam dalam memperlakukan perempuan, dalam berpakaian saja kami diatur sedemikian anggunnya, berjilbab. Cantik sekalikan . Apalagi untuk urusan keluar rumah, kami harus dikawal bak permaisuri. Hebat! Bukankah perempuan dalam islam adalah sangat-sangat dimuliakan”
Itulah metafornya Budi dari Kyai, KH. Imron Djamil. Kyai kami berupaya mengklarifikasi permasalahan gender yang marak dipersoalkan perempuan muda muslim, yang sebenarnya itu hanya cara pandang saja.
Kawan, argumentasi yang negatif sangat sulit mengalahkan manusia yang mempunyai pola pikir positif. Dan hemat kami, percaturan diantara kubu-kubu Islam merupakan dampak misskomunikasi dan kurang saling keterbukaan. Wa Allahu A’lamu Bissowabi (10.49/02/02/2010)


ILMU IKU KALAKONE KANTI LAKU



By: Marzuki Bersemangat
Pahit dan manis begitulah rasa coklat yang lebih di identikkan dengan cinta. Serupa dengan kopi yang disebut ni’mat merupakan akumulasi pahit dan manis. Dan, setiap manusia punya cinta-punya manis dan pahit. Tentu tak lepas aku: kepahitan dalam sebuah percintaan terletak bukan pada sebab obyek permasalahan besar dan kecil. Namun ego cinta itu sendiri: ingin memiliki sepenuhnya. –“Emang u tkut y… mobilX hlang, mnding g’ usah y.. ke rumhQ”- SMS itu menggetarkan semua hal yang ada di Masjid Darus Salam, tempat aku sedang membaca Al-Qur’an. Huruf-huruf hijaiyah itu membuatku lebih tegar untuk mengingat SMS dia (her) atas sebuah kesalah pahaman.
Mengapa dalam prolog tadi saya awali dengan pembicaraan cinta? Pertama, memasukkan anda untuk mengikuti tulisan saya. Cinta adalah problem yang sangat universal, begitu juga freedom yang sangat menarik untuk setiap orang menyimak. Kedua, untuk mendapatkan seorang perempuan saja, saya (mewakili manusia) memerlukan perjuangan, yang secara perbandingan “al-mar’atu wal-ilmu” lebih tinggi al-ilm (baca: ilmu)
Orang jawa mengatakan ilmu kalaku kanti laku atau ilmu iku kalakone kanti laku (pencapaian ilmu itu melalui proses belajar) laku atau proses itu bisa dalam hitungan bulan, tapi bisa juga dalam hitungan tahun. Substansi dari pesan itu adalah, tidak ada ilmu yang dapat dipetik begitu saja tanpa melalui proses.
Saya masih teringat dengan cerita Mbah saya di kampung saya, yang sampai akhir 1980-an masih mengenal tradisi meguru (mencari guru) yang dilakukan oleh anak-anak muda (laki-laki) yang menginjak dewasa. Setiap laki-laki setelah sunat (waktu itu sunat dilakukan pada usia antara 15-18 tahun) dan sebelum menikah, mereka mengisi jiwanya dengan berguru kepada seseorang yang dianggap mempunyai ilmu. Ilmu yang mereka cari bukan ilmu kekebalan tubuh, melainkan ilmu yang mereka anggap berguna untuk bekal hidup sebagai petani, seperti ilmu mengusir hama, mengusir bala, bencana, dan sejenisnya. Dalam proses pencarian ilmu itu, mereka melalui berbagai tahapan, seperti puasa senin-kamis selama tujuh kali, puasa mutih (tidak makan garam) dan ngrowot (hanya makan umbi-umbian, bukan nasi dan sayuran saja), masing-masing tiga hari, lalu hidup di hutan selama tujuh hari tujuh malam. Setelah itu baru katam (tamat), yang ditandai dengan selamatan. Sebelum katam, pada malam ketujuh setelah tidur di hutan itu, ilmu mereka dicoba dulu dengan cara mereka diminta membawa satu ikat kayu bakar yang cukup banyak, lalu setelah sampai dirumah disuruh meletakkan dengan cara dibanting, entah orang yang didalam rumah mendengar bantingan tersebut atau tidak. Bila mendengar, yang bersangkutan dinyatakan sudah katam dan esok paginya baru selamatan yang ditandai dengan nasi ingkung, yaitu nasi uduk dengan ayam kampung. Bagi yang belum katam, mereka diwajibkan mengulang lagi dari awal, bersama-sama dengan anak muda lain pada angkatan berikutnya (thank 4 Darmaningtyas).
Saya masih teringat pernah membaca tulisan Darmanintyas, di Kompas 2 Mei 2004, tentang jungkir baliknya mendapatkan gelar Doktor sungguhan (maksudnya bukan Doktor Honoris causa maupun lainnya). Mereka memerlukan waktu empat sampai delapan tahun dengan kerja keras siang dan malam. Dalam buku “Wong Jawa Timur Berpengaruh”, Bapak Soekarwo menceritakan sempat frustasi ketika menempuh program doktoral. Namun beruntung Istri beliau Hj. Nina Kirana, Dosen di Universitas dr Soetomo (UNITOMO) Surabaya, yang mampu menyulutkan semangatnya. Sang istri selalu meniupkan asa, agar dirinya tak mudah putus asa. Dan sang istrilah yang membantu menerjemahkan literature disertasinya yang mencapai 302 buku, untuk meraih ilmu hukum di UNDIP.
Belajar dari anak-anak muda di kampung saya yang secara tekun mau menjalani proses berguru itulah yang membuat saya terkesima, begitu pula para pencari gelag doctor sungguhan yang belajar siang-malam, berbulan-bulan, bertahun-tahun. Namun sungguh ironis, ketika melihat pelajar dan mahasiswa sekarang memperlakukan ilmu sebagai produk dan kurang menghargai proses. Berdasarkan informasi mahasiswa yang memiliki IP tinggi, rata-rata system pembelajarannya lebih terfokus pada mekanisme pembahasan soal-soal ujian tahun-tahun sebelumnya. Akibatnya, setelah lulus, meskipun IP tinggi, mereka bingung mencari pekerjaan atau tidak menguasai pengetahuan diluar yang mereka pelajari. Alias kuper. Dan, akan sakit para doktor sungguhan dengan adanya praktek jual-beli gelar doctor yang marak (diperbincangkan) beberapa tahun lalu. Mereka sakit lantaran kerja kerasnya bertahun-tahun disamakan dengan orang yang dapat membayar Rp. 1-25 juta. (24/02/2010)

Cerita Cinta 2: LANGIT TUMBANG MALAM HARI





CATATAN MALAM SEBAGAI DONGENG SEBELUM TIDUR DAN AH.. KITA KAN KETEMU BILA SAMPAINYA WAKTU:

Wacana Marzuki: cerita cinta 2. Malam dingin menemani peraduanku. Semua fasilitas kamar; Personal Computer, Aneka Pemutar Musik, TV, Guitar, buku-buku sastra-hukum-sejarah-filsafat-psikologi-pemikiran agama-novel sudah putus asa menghiburku. Bahkan, pena dan kertas my soulmate seakan bosan mendekatiku. Sungguh benar malam yang mencuri hatiku untuk merindukan juteknya gadis tepi bengawan solo.
Ia bukan gadis paling cantik yang kukenal. Tepatnya gadis sombong yang kutemui. Namun semua penilaianku pada gadis itu kenyataannya: Salah Besar. Realitasnya gadis itu adalah superstar, dan semua temanku menjadikan obyek perhatian utama diorganisasi itu. Tiada diskusi paling menarik selain tema tentang dirinya.
9 Agustus 2005 ku kenal namanya: Allison, nama paling indah dari segala hal yang ada di Indonesia. Dinding Dhalem kasepuhan Ma’had Putri menjadi memory card pertemuanku. Organisasi yang sebenarnya mengenalkan aku tentang dunia social-mendupak egoisme-menjunjung pluralisme, juga tempat menumbuh kembangkan benih cinta yang terpahat at first meet.
Mencekamnya malam ini hatiku terecovery oleh juteknya gadis itu. Lelaki yang belum tersystem syaraf otaknya akan bisa keder menghadapiya apalagi menggodanya. Kupaksakan malam itu telfon dhalem untuk berbicaa penting dengannya tentang LPJ (Laporan Pertanggung Jawaban) organisasi besok pagi. Melalui temanku, Fatimah sebagai kabel untuk bisa disambungkan. Segalanya serba rumit bila disangkut pautkan dhalem dalam urusan santri putra VS santri putri. Telfon berhasil disambungkan aku berbicara dengannya:
“Assalamu’alaikum, nie Marzuki”
“Wa’alaikum salam, heh…lo ngga’ tahu ya ini telfon ndalem disadap tau. Orang dhalem itu kenal banget ama aku. Glek. Thut. Thut.”
Respon yang menyakitkan saat itu, namun tak lama kemudian datang sepucuk surat darinya atas permintaan maaf. Hati mengembang dan bumi meluas .
Terlalu sering gadis itu jutek di hadapaku. Namun sama sekali aku tidak pernah berkecil hati. Kiriman salam darimu tersampaikan selalu untukmu dan itu obat atas sikap jutekmu. Juga sabarku menghadapi karaktermu.
Aku bertanya pada malam
Dimana kau sembunyikan wajah kasihku?
Malam menjawab:
“Kekasihmu akan datang setelah kau serahkan jiwamu padaku”
(Sajak Arwan)
Seandainya Allison tahu, jiwaku telah kuserahkan padamu sejak dulu. Bahkan volume semangatku menurun saat dirinya meninggalkan Ma’had. Namun apa jawabmu:
“Ah, gombal”
Aku tahu Intan kamu bukan lawan debatku. Aku tidak perlu memberikan rayuan-argumen-opini dari yang logis sampai yang absurd. Aku hanya cukup menatapmu dengan pandangan sayang dan itu membuatmu sadar. Akulah lelaki yang bisa membahagiakanmu.
Aku bertanya pada bintang
Dimana bias kujumpai kasihku malam ini?
Bintang menjawab:
“kau akan jumpai dalam teropongku saat bermimpi”
(Sajak Arwan)
Bila untuk sekarang aku harus bermimpi untuk bertemu denganmu, aku akan tidur sekarang juga untuk memberikan pelangi dalam mimpimu. Dan bila diizinkan aku akan tetap memberikan warna dalam hidupmu setelah kubuka mataku dari tidurku. Seluruh hidupku akan kudedikasikan untuk membahagiakanmu.
Namun, aku mau nyata bukan mimpi. Aku mau, sewaktu dulu menyapamu di depan Ma’had:
Allisooooooooon
Kau bingung mencari sumber suara. Tubuhmu yang jelita kau putar tiga kali. Kau menemukan aku dan bibirmu melebar. Aku kembang kempis mengatur nafasku. Kau berlari menjauh membelakangiku. Satu-dua-tiga kau menoleh manja membangkitkan hormonetestosteronku.
Lalu aku bertanya pada peraduanku
Apakah kau siap mengantarku berjumpa dengan kekasihku?
Peraduan menjawab:
“setiap nafasku adalah pengabdian untukmu”
(Sajak Arwan)
Hatiku gembira meluap-luap mendengar jawaban peraduan. Aku akan memberi predikat : “Bravo” untuk peraduan. Jangan kerutkan dahi! Bravo merupakan gelar untuk sesuatu yang super di Negara Cina. Jangan naikkan alis! Cina adalah Negara adidaya untuk tempo sekarang.
Waktu itu siang hari aku dan teman-temanku berkumpul di rumah teman mempersiapkan acara sarasehan malamnya. Kami berempat duduk berderet menyamping arah utara selatan di kursi memanjang. Aku duduk dipinggir paling utara dan sebelahku ada temanku cewek-cowok-cewek. Tengah pergelutan musyawarah datang, Allison gadis cantik jelita dengan senyuman merekah. Senyuman itu bukan kepadaku namun pada tiga temanku. Terbukti jabat tangannya hanya mendarat ditiga temanku. Aku diam merunduk merenungi nasib. Hidup seakan tak berarti. Aku seperti Soe Hiok Gie yang dimarginalkan dalam pemerintahan Soekarno karena pemikiran- pemikirannya kiri. Terbuang, tidak diperhitungkan. Aku ingin sekali berlari dan sama sekali tak kembali. Namun, ditengah aku sedang menyingkirkan egosentrisku ada suara bersahut-sahutan diluar diriku:
“Ehem..ehem..heeem”
Aku menoleh keselatan, dan! Ada tangan indah yang menjulur menerobos melewati depan tubuh tiga teman-temanku. Tangan itu sabar menanti sambutku. Sesabar aku menanti senyummu yang berdampak sistemik dalam diriku saat kulihat wajahnu. Aku ragu benarkah tangan indah dengan kuku-kuku yang terawatt itu menanti dekapan jari-jari tanganku.
“Ehem..ehem”
Suara teman-temanku yang tidak mempunyai standar “lafdun Mufidun Musnadu” itu sangat memahamkan bagiku (lalu layakkah “Ehem” diklasifikasikan “kalam” dalam sintaksis gramatika arab?). Suatu tanda untuk aku cepat menangkap jari-jari putih, panjang, mempesona detik , itu juga. One-two-three dengan ackting layaknya Tora Sudiro dalam film otomatis romantis yang lugu, polos sok tidak tahu apa-apa, sok murah senyum akupun menyambut tangannya. Dan, terdengar suara dari bibirnya yang mungil.
“Eh, sepurone yo..”
“Okelah kalow beg…beg..begituw”
Aku terlelap aku hanya diam duduk di balai desa depan ruman Allison. Aku tahu kamu di kampus. Namun, bukankah pecinta sudah cukup bahagia melihat apapun yang berhubungan dengan orang yang dicintai, walaupun berupa puing-puing pasca bombardier tentara Amerika yang tak berhati nurani.(16/02/2010)

Marzuki
In The Island of Kaligarung



Mr. M. Kumpul


(Dengan hari pers 9 Februari 2010 ini mari kita untuk tetap bisa mencintai tulisan)
By: Marzuki Bersemangat
Mr. M. berkumpul dengan teman2nya disebuah café AmUnsEnd tikungan kota. Kumpul2 makan2 atas realisasi ucapan “kumpul2 makan2. makan2 ngobrol2 (Thank 4 Umar Kayam).

Mr. M. kali ini menjadi sumber masalah. Tentunya sebagai sumber masalah Mr. M. membuka pembicaraan yang hanya menyodorkan poinntnya saja.

Sebab hegemoni barat terhadap pers Islam:

  1. kelemahan managemen. Sekitar pertengahan 1980-an, majalah berbulanan bahasa inggris yaitu Arabia: The Islamic Word Reviu, yang benar2 membela islam menemui ajalnya.
  2. adanya sikap inferior terhadap barat. Akibatnya sebagai pers islam hanya mengutip mentah2 apa yang disodorkan pers barat.
  3. Kurangnya wawasan pengetahuan pengelola pers Islam. Ini berakibat ketidak makuran pers islam untuk bersikap kritis dan selektif terhadap sumber berita dari barat.

Selesai Mr. M memberikan penghantar masalah. Beberapa temannya telah terlihat mengacungkan tangan atas ketidakterimaan statement Mr. M. Seru!.

Mr. M. Bernostalgia



By: Marzuki Bersemangat
Mr. M memarkir harleynya di dekat lampu merah stasion kereta api. Melihat siswa-siswi yang melakukan penelitian disebuah sawah samping stasiun itu. Cahaya matahari yang panas. Sesekali Mr. M mengusap keningnya dari keringat. Antusiasnya siswa-siswi tertular pada Mr. M. Semangat menelusuri lika-liku alam kehidupan.
Duar. Dua dari dua arus yang berlawanan. Perang acap sering kali terjadi. Kubu pisang dan kubu kelapa. Bertarung memperebutkan “kebenaran” atau “Dukungan”. Kubu itu saling membawa pendapat sebagai penguat. Tak pelak simbol-simbol agama, repoblikien, benda-benda angkasa menjadi tameng. Manusia acap kali lupa, bahwa ada satu momok yang sebenarnya harus diperhatikan untuk mendaatkan stempel kebenaran dari manusia: uang!?.

Mr. M pun membiru matanya, manakala lembaran-lembaran dinar itu ditaruh disakunya. Mr. M tidak mau menjadi munafik. Katanya, menyebut Tuhan tidak mengingatkan kita pada uang, namun sebaliknya, uang dapat mengingatkan pada Tuhan. Pernyataan tersebut diambil dari buku GANTI HATI DAHLAN ISKAN.

Orang suksespun, pada zaman sekarang lebih dilihar dari faktor ekonomi. Dan mereka lebih bisa membawa motivasi bagi anak muda. Kyai yang diundang dalam pengajian diperkampungan, masyarakat lebih terdahulu memandang kendaraan. Itulah potret masyarakat kita. Masyarakat yang sudah bergeser cara pandangnya dalam menyikapi apapun, bukan lagi masyarakat tempo dulu.

Mr. M melihat pada fenemona masyarakat bahwa mereka dalam pemilihan wakilnya yang duduk diatas. Memilih calon yang lebih dekat dengan mereka, yaitu uangnya. Mr. M pun bertanya-tanya pada dirinya, apakah uang segalanya? Beberapa hari Mr. M merenung, diskusi, tanya pada orang-orang yang dianggap nyambung tentang hal itu. Dan jawabannya adalah tidak, tapi kesepakatan.

Uang tidak akan dapat menukar apapun. Kesepakatanlah yang menjadi poin utama terjadinya jual beli. Konon disebut barter. Barang ditukar dengan barang. Mr. M teringat, dulu didesanya bahkan sampai sekarang adalah desa yang kaya akan beras. Karena sebagian besar desanya merupakan sawah. Dan tidak afdhol kalau tidak berprofesi petani walaupun guru. Ketika dulu pada rezim Soeharto, petani sangat menjunjung beliu. Karena Pak Harto dekat dengan para petani dan harga dari hasil petanipun lebih tinggi dari pemerintahan setelahnya . Beras dulu sangat menjadi kebanggaan petani. Untuk membelipun petani menukarkan bers dengan barang yang diinginkan.

Mr. M semakin bernostalgia dengan Ngawi kota beras ah...!! Indonesia dulu adalah negara swasembada pangan. Negara yang mampu memenuhi kebutuhan logistiknya sendiri. Sekarang Mr. M tidak tahu apakah predikat itu masih melekat. Tapi Mr. M gembira, mendengar bahwa Indonesia saat ini, 2009, hutangnya pada IMF suda hampir lunas. Tapi Mr. M belum mengecek kebenaran berita itu kalau memang itu benar, 100 buat SBY-JK. Kenaikan BBM kemarin katanya adalah langkah SBY untuk melunasi hutang, salah satunya.

ENEREGI BERSEMANGAT PUSARAN JAGAT



BY: MARZUKI BERSEMANGAT
Memasuki lingkungan Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, tepatnya di pemakaman Bani Hasyim sudah terasa atmosfer berbeda. Selain sangat teduh karena banyak sekali manusia-manusia yang berbaju religi, juga indah dengan terdengarnya alunan bacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an, tahlil. Dada ini terasa tenang, nyaman serasa tidak mempunyai hutang.
Kami berangkat bersama team kami dari Pondok Pesantren Al-Ghozali Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang. Memasuki gerbang Podok Pesantren Tebuireng tepat ba’da Maghrib. Dari gerbang terlihat masjid Pondok penuh dengan para jama’ah menikmati istirahat yang sudah selesai sholat Maghrib. Kami langsung menuju lokasi pemakaman Bani Hasyim untuk mengikuti do’a bersama tujuh hari wafatnya KH. Abdurrohman Wahid. Do’a bersama dimulai ba’da isya’ sehingga kami bisa menikmati nuansa yang santai. Walaupun begitu team kami mengisi suasana nyantai dengan membaca suroh yasin dan terlihat team kami juga ada yang observasi para peziarah. Menjelang adzan isya’ tempat duduk yang disediakan oleh panitia telah dipenuhi peziarah yang akan mengikuti do’a bersama.
Jam Hp kami tepat menunjukkan 19.45. keamanan kuwalahan dengan para peziarah yang membludak. Dan sangat mungkin kami tidak akan bisa masuk ke pemakaman bila kami datang ba’da isya’. Kami merasakan energi bersemangat pusaran jagat dari do’a para peziarah. Apalagi saat Emha ainun Nadjib, budayawan kelahiran Jombang ini melantunkan syair yang biasa dinyanyikan Gus Dur: “Ilahilastulilfirdausiahla walaa aqwa ala naaril jahiimi…..”

Ya Tuhanku, aku tidaklah pantas memasuki surga-MU
Namun, aku tidak kuat bernada dalam neraka
………………………………………….
………………………………………..
Cak Nun mengajak hadirin untuk bersemangat menyainyikan syair yang katanya biasa dinyanyikan Abu Nuwas itu. Syair ini bukanlah politik untuk merayu Tuhan, namun syair ini adalah bentuk kejujuran seorang hamba pada Tuhan.
Dengan balutan busana serba putih, suami Novia S. Kolopaking ini juga menggembar-gemorkan “gitu aja kok repot” yang sering diucapkan Gus Dur. “memang orang Indonesia itu tidak mau ambil pusing, kenyataannnya disini banyak yang tertawa, tidak sadar kalau punya hutang “Kata Cak Nun disambut gelak tawa hadirin.
Tapaknya Cak Nun merombak cara pikir masyarakat tentang pemahaman Gus Dur. Cak Nun berupaya menempatkan Gus Dur sebagai manusia. Bahwa manusia bisa salah dan lupa. Upaya ini sebagai usaha Cak Nun untuk supaya tidak mengkultuskan Gus Dur.
Menapak tilasi Gus Dur yang utama adalah dari keikhlasan beliau. Gus Dur berjuang tanpa pamrih. “Gus Dur itu handphone bukan Cashing. Lha…. Pemimpin sekarang itu lebih menampakkan cashing sedangkan handphonenya mati” terang Cak Nun dengan bersemangat.
Hadirin sangat antusias medengarkan Cak Nun dengan gayanya yang ceplas-ceplos terkesan lebih mengena dan mudah untuk diterima. Maka ketika Cak Nun berbicara tentang pluralisme dan multikulturalisme, yang hadirin adalah masyarakat plural juga, Cak Nun pun tidak menjelaskan secara bertele-tele. “Plural iku yo macem-macem. Kalau orang arab mengenal “yasqutu” (jatuh) maka orang jawa ada; ceblok, rutuh, dlosor, jlungub, tibo.”
Sebelum menutup pidatonya, cak nun menyuruh santrinya membaca syair buatannya untuk Gus Dur. Sekaligus Cak Nun memberikan filosofinya. Acara do’a bersama itu ditutup do’a oleh KH. Maimun Zubair Sarang Jawa Tengah.
Acara selesai kami merungsek di tengah jejalan pezirah yang ramai untuk mendekati makam Gus Dur. Dengan sedikit diskusi dari teman-teman kami, akhirnya kami mendapatkan antrean lancar, namun memang belum bagian kami. Ternyata antrean itu hanya melewati. Kami belum puas. Misi kami adalah untuk dapar berdhikir didekat makam Gus Dur.
Sebelum tulisan ini kami tutup, maaf ya, kami mau bicara soal pluralisme sedikit saja. Perihal pluralisme, sering disinggung Cak Nun dalam berbagai pertemuan. Yang diketahui penulis, Cak Nun pernah menyampaikan bahwa sejak zaman kerajaan Mojopahit tidak pernah ada masalah dengan pluralisme.
“Sejak zaman nenek moyang, bangsa ini sudah plural dan bisa hidup rukun. Mungkin sekarang ada intervensi dari negara luar,” Ujar Cak Nun

Menurut Cak Nun, pluralisme bukan menganggap semua agama itu sama. Islam beda dengan kristen, dengan budha, dengan katolik, dengan hindu. “Tidak bisa disamakan, yang beda biar berbeda. Kita harus menghargai itu semua,” tutur budayawan intelektual itu.
Gambar di ambil dari http://surabaya.detik.com/images/content/2009/06/03/466/caknun-dalam.jpg
BUMI KALI GARUNG NGAwI
Selesai Ditulis 22.10/13/01/’10
Terimakasih kepada Bapak, Ibu, Nenek yang bisa memahami aku sedang jatuh cinta yang aku bisa menghabiskan semua waktuku bersamanya.

Tentang penulis :

Marzuki Ibn Tarmudzi, pernah mencicipi sedikit segarnya lautan ilmu di Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang, Jawa Timur. Hobinya yang suka nyorat-nyoret kertas ini dimulai semenjak nyantri. Kini, hobinya itu dituangkan di berbagai media online, itung-itung sebagai aksi dari ; “بلغوا عني ولو أية “,” sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat ”.