Oleh: Marzuki Bersemangat
Sempat aku terbawa diawal-awal film yang sudah berkali-kali kutonton itu. Sangking emosionalnya tanganku corat-coret kertas di tumpukan kamar. Judul catatan yang bertuan sampah ini bentuk kalimat pasif dari film “Perempuan Berkalung Sorban” yang digawangi Hanung Bramantyo. Konon yang baru kemunculannya sempat ada kontroversi. Aku tidak akan ngelantur perihal sengketa hasil kreatifitas anak bangsa itu. Bagitu art to art. Aku hanya ingin nostalgia pesantren yang penuh dengan cerita-cerita inspirasi. Ngomong ngalor-ngidul yang kadang secara tidak langsung menjawab problem masyarakat. Tak pelak gender (perihal : kelamin laki-laki dan perempuan) yang sedikit dipertunjukkan dalam film itu.
Kawan, ku kenalkan karibku, Budi. Sekarang membanting tulang menuntaskan S2 di Universitas Diponegoro Bandung (2008-2010). Posturnya tinggi, besar putih dan tampan; idaman kaum hawa yang bisa geregetan melihatnya. Secara aku pribadi, cerdas merupakan satu alasan untuk aku jadikan sahabat. Teman dalam silang pendapat - nyeduh teh kopi - no smoking - tentu juga berkelana mengitari Jombang tercinta saat-saat butuh intuisi, waktu dulu nyantri di Kyai Mojo Tambakrejo Jombang.
“Mas, yo opo tentang gender menurut sampean?” tanyaku pada Mas Budi saat kami sedang ngopi di Mak Ti warung belakang pesantren
Aku memanggilnya memang “Mas” sebagai sikap hormat. Terpaut empat tahun lebih tua Budi. Ia sangat respek dan penuh spirit dengan kehadiranku. Ciri khas budi kalau berpikir: mengerutkan dahi dan tegang, serta bola matanya minggir seakan melirik anjing menggonggong. Aku tahu banget Budi akan berkata serius, tandanya; memukul lantai dua kali dan memperbaiki posisi kopyah yang selalu melekat di kepalanya.
“Gender ta pli,......”
Budi memanggilku “Kipli”. Tak apalah!. Ia berkata dengan pelan, santai, bercerita tentang Kyai tauladan kami, Drs. KH. Imron Djamil yang penuh talenta dan banyak mengajarkan sisi-sisi lorong kehidupan dengan ilmu dan wawasan intelektualnya yang mengagumkan pada kami. Beliau pernah bercerita, bahwa suatu hari di negeri antaberantah pernah terjadi dua obrolan antara dua orang perempuan terpelajar; perempuan muslim dan non muslim. Dengan nada penuh sentimen perempuan non muslim itu berujar;
“saya heran melihat perempuan muslim ini, mengapa kok masih mempertahankan idealisme di tengah zaman yang HAM sangat di junjung tinggi ini”
“Maksud kamu bagaimana ?” tanya perempun muslim sembari tersenyum manis.
“Ya saya tidak terima dengan doktrin islam yang mengekang kaum perempuan, yang keluar rumah saja harus ditemani atas seizin suami. Berbeda dengan kami yang free-bebas, sangat dihargai haknya”
Perempuan muslim itu tenang. Tampak sangat dewasa. Menatap penuh sayang dengan perempuan yang berusaha memojokkan islam itu, kemudian berargumentasi:
“Oh. Begitu. Saudariku, islam itu sangat sekali memperhatikan hak-hak perempuan, lihatlah sikap Islam dalam memperlakukan perempuan, dalam berpakaian saja kami diatur sedemikian anggunnya, berjilbab. Cantik sekalikan . Apalagi untuk urusan keluar rumah, kami harus dikawal bak permaisuri. Hebat! Bukankah perempuan dalam islam adalah sangat-sangat dimuliakan”
Itulah metafornya Budi dari Kyai, KH. Imron Djamil. Kyai kami berupaya mengklarifikasi permasalahan gender yang marak dipersoalkan perempuan muda muslim, yang sebenarnya itu hanya cara pandang saja.
Kawan, argumentasi yang negatif sangat sulit mengalahkan manusia yang mempunyai pola pikir positif. Dan hemat kami, percaturan diantara kubu-kubu Islam merupakan dampak misskomunikasi dan kurang saling keterbukaan. Wa Allahu A’lamu Bissowabi (10.49/02/02/2010)
Sempat aku terbawa diawal-awal film yang sudah berkali-kali kutonton itu. Sangking emosionalnya tanganku corat-coret kertas di tumpukan kamar. Judul catatan yang bertuan sampah ini bentuk kalimat pasif dari film “Perempuan Berkalung Sorban” yang digawangi Hanung Bramantyo. Konon yang baru kemunculannya sempat ada kontroversi. Aku tidak akan ngelantur perihal sengketa hasil kreatifitas anak bangsa itu. Bagitu art to art. Aku hanya ingin nostalgia pesantren yang penuh dengan cerita-cerita inspirasi. Ngomong ngalor-ngidul yang kadang secara tidak langsung menjawab problem masyarakat. Tak pelak gender (perihal : kelamin laki-laki dan perempuan) yang sedikit dipertunjukkan dalam film itu.
Kawan, ku kenalkan karibku, Budi. Sekarang membanting tulang menuntaskan S2 di Universitas Diponegoro Bandung (2008-2010). Posturnya tinggi, besar putih dan tampan; idaman kaum hawa yang bisa geregetan melihatnya. Secara aku pribadi, cerdas merupakan satu alasan untuk aku jadikan sahabat. Teman dalam silang pendapat - nyeduh teh kopi - no smoking - tentu juga berkelana mengitari Jombang tercinta saat-saat butuh intuisi, waktu dulu nyantri di Kyai Mojo Tambakrejo Jombang.
“Mas, yo opo tentang gender menurut sampean?” tanyaku pada Mas Budi saat kami sedang ngopi di Mak Ti warung belakang pesantren
Aku memanggilnya memang “Mas” sebagai sikap hormat. Terpaut empat tahun lebih tua Budi. Ia sangat respek dan penuh spirit dengan kehadiranku. Ciri khas budi kalau berpikir: mengerutkan dahi dan tegang, serta bola matanya minggir seakan melirik anjing menggonggong. Aku tahu banget Budi akan berkata serius, tandanya; memukul lantai dua kali dan memperbaiki posisi kopyah yang selalu melekat di kepalanya.
“Gender ta pli,......”
Budi memanggilku “Kipli”. Tak apalah!. Ia berkata dengan pelan, santai, bercerita tentang Kyai tauladan kami, Drs. KH. Imron Djamil yang penuh talenta dan banyak mengajarkan sisi-sisi lorong kehidupan dengan ilmu dan wawasan intelektualnya yang mengagumkan pada kami. Beliau pernah bercerita, bahwa suatu hari di negeri antaberantah pernah terjadi dua obrolan antara dua orang perempuan terpelajar; perempuan muslim dan non muslim. Dengan nada penuh sentimen perempuan non muslim itu berujar;
“saya heran melihat perempuan muslim ini, mengapa kok masih mempertahankan idealisme di tengah zaman yang HAM sangat di junjung tinggi ini”
“Maksud kamu bagaimana ?” tanya perempun muslim sembari tersenyum manis.
“Ya saya tidak terima dengan doktrin islam yang mengekang kaum perempuan, yang keluar rumah saja harus ditemani atas seizin suami. Berbeda dengan kami yang free-bebas, sangat dihargai haknya”
Perempuan muslim itu tenang. Tampak sangat dewasa. Menatap penuh sayang dengan perempuan yang berusaha memojokkan islam itu, kemudian berargumentasi:
“Oh. Begitu. Saudariku, islam itu sangat sekali memperhatikan hak-hak perempuan, lihatlah sikap Islam dalam memperlakukan perempuan, dalam berpakaian saja kami diatur sedemikian anggunnya, berjilbab. Cantik sekalikan . Apalagi untuk urusan keluar rumah, kami harus dikawal bak permaisuri. Hebat! Bukankah perempuan dalam islam adalah sangat-sangat dimuliakan”
Itulah metafornya Budi dari Kyai, KH. Imron Djamil. Kyai kami berupaya mengklarifikasi permasalahan gender yang marak dipersoalkan perempuan muda muslim, yang sebenarnya itu hanya cara pandang saja.
Kawan, argumentasi yang negatif sangat sulit mengalahkan manusia yang mempunyai pola pikir positif. Dan hemat kami, percaturan diantara kubu-kubu Islam merupakan dampak misskomunikasi dan kurang saling keterbukaan. Wa Allahu A’lamu Bissowabi (10.49/02/02/2010)