CATATAN
MALAM SEBAGAI DONGENG SEBELUM TIDUR DAN AH.. KITA KAN KETEMU BILA SAMPAINYA
WAKTU:
Wacana
Marzuki: cerita cinta 2. Malam dingin
menemani peraduanku. Semua fasilitas kamar; Personal Computer, Aneka Pemutar
Musik, TV, Guitar, buku-buku sastra-hukum-sejarah-filsafat-psikologi-pemikiran
agama-novel sudah putus asa menghiburku. Bahkan, pena dan kertas my
soulmate seakan bosan mendekatiku. Sungguh benar malam yang mencuri
hatiku untuk merindukan juteknya gadis tepi bengawan solo.
Ia
bukan gadis paling cantik yang kukenal. Tepatnya gadis sombong yang kutemui.
Namun semua penilaianku pada gadis itu kenyataannya: Salah Besar. Realitasnya
gadis itu adalah superstar, dan semua temanku menjadikan obyek perhatian utama
diorganisasi itu. Tiada diskusi paling menarik selain tema tentang dirinya.
9
Agustus 2005 ku kenal namanya: Allison, nama paling indah dari segala hal yang
ada di Indonesia. Dinding Dhalem kasepuhan Ma’had Putri menjadi memory card
pertemuanku. Organisasi yang sebenarnya mengenalkan aku tentang dunia
social-mendupak egoisme-menjunjung pluralisme, juga tempat menumbuh kembangkan
benih cinta yang terpahat at first meet.
Mencekamnya
malam ini hatiku terecovery oleh juteknya gadis itu. Lelaki yang belum
tersystem syaraf otaknya akan bisa keder menghadapiya apalagi menggodanya.
Kupaksakan malam itu telfon dhalem untuk berbicaa penting dengannya tentang LPJ
(Laporan Pertanggung Jawaban) organisasi besok pagi. Melalui temanku, Fatimah
sebagai kabel untuk bisa disambungkan. Segalanya serba rumit bila disangkut
pautkan dhalem dalam urusan santri putra VS santri putri. Telfon berhasil
disambungkan aku berbicara dengannya:
“Assalamu’alaikum,
nie Marzuki”
“Wa’alaikum
salam, heh…lo ngga’ tahu ya ini telfon ndalem disadap tau. Orang dhalem itu
kenal banget ama aku. Glek. Thut. Thut.”
Respon
yang menyakitkan saat itu, namun tak lama kemudian datang sepucuk surat darinya
atas permintaan maaf. Hati mengembang dan bumi meluas .
Terlalu
sering gadis itu jutek di hadapaku.
Namun sama sekali aku tidak pernah berkecil hati. Kiriman salam darimu
tersampaikan selalu untukmu dan itu obat atas sikap jutekmu. Juga sabarku
menghadapi karaktermu.
Aku
bertanya pada malam
Dimana
kau sembunyikan wajah kasihku?
Malam
menjawab:
“Kekasihmu
akan datang setelah kau serahkan jiwamu padaku”
(Sajak
Arwan)
Seandainya
Allison tahu,
jiwaku telah kuserahkan padamu
sejak dulu. Bahkan volume semangatku menurun saat dirinya meninggalkan Ma’had.
Namun apa jawabmu:
“Ah,
gombal”
Aku
tahu Intan kamu bukan lawan debatku. Aku tidak perlu memberikan
rayuan-argumen-opini dari yang logis sampai yang absurd. Aku hanya cukup menatapmu
dengan pandangan sayang
dan itu
membuatmu sadar. Akulah lelaki yang bisa membahagiakanmu.
Aku
bertanya pada bintang
Dimana
bias kujumpai kasihku malam ini?
Bintang
menjawab:
“kau
akan jumpai dalam teropongku saat bermimpi”
(Sajak
Arwan)
Bila
untuk sekarang aku harus bermimpi untuk bertemu denganmu, aku akan tidur
sekarang juga untuk memberikan pelangi dalam mimpimu. Dan bila diizinkan aku
akan tetap memberikan warna dalam hidupmu setelah kubuka mataku dari tidurku.
Seluruh hidupku akan kudedikasikan untuk membahagiakanmu.
Namun,
aku mau nyata bukan mimpi. Aku mau, sewaktu dulu menyapamu di depan Ma’had:
“Allisooooooooon”
Kau
bingung mencari sumber suara. Tubuhmu yang jelita kau putar tiga kali. Kau
menemukan aku dan bibirmu melebar. Aku kembang kempis mengatur nafasku. Kau
berlari menjauh membelakangiku. Satu-dua-tiga kau menoleh manja membangkitkan hormonetestosteronku.
Lalu
aku bertanya pada peraduanku
Apakah
kau siap mengantarku berjumpa dengan kekasihku?
Peraduan
menjawab:
“setiap
nafasku adalah pengabdian untukmu”
(Sajak
Arwan)
Hatiku
gembira meluap-luap mendengar jawaban peraduan. Aku akan memberi predikat :
“Bravo” untuk peraduan. Jangan kerutkan dahi! Bravo merupakan gelar untuk
sesuatu yang super di Negara Cina. Jangan naikkan alis! Cina adalah Negara
adidaya untuk tempo sekarang.
Waktu
itu siang hari aku dan teman-temanku berkumpul di rumah teman mempersiapkan
acara sarasehan malamnya. Kami berempat duduk berderet menyamping arah utara
selatan di kursi memanjang. Aku duduk dipinggir paling utara dan sebelahku ada
temanku cewek-cowok-cewek. Tengah pergelutan musyawarah datang, Allison gadis cantik jelita dengan senyuman
merekah. Senyuman itu bukan kepadaku namun pada tiga temanku. Terbukti jabat
tangannya hanya mendarat ditiga temanku. Aku diam merunduk merenungi nasib.
Hidup seakan tak berarti. Aku seperti Soe Hiok Gie yang dimarginalkan dalam
pemerintahan Soekarno karena pemikiran- pemikirannya kiri. Terbuang, tidak
diperhitungkan. Aku ingin sekali berlari dan sama sekali tak kembali. Namun,
ditengah aku sedang menyingkirkan egosentrisku ada suara bersahut-sahutan
diluar diriku:
“Ehem..ehem..heeem”
Aku
menoleh keselatan, dan! Ada tangan indah yang menjulur menerobos melewati depan
tubuh tiga teman-temanku. Tangan itu sabar menanti sambutku. Sesabar aku
menanti senyummu yang berdampak sistemik dalam diriku saat kulihat wajahnu. Aku
ragu benarkah tangan indah dengan kuku-kuku yang terawatt itu menanti dekapan
jari-jari tanganku.
“Ehem..ehem”
Suara
teman-temanku yang tidak mempunyai standar “lafdun Mufidun Musnadu” itu sangat
memahamkan bagiku (lalu layakkah “Ehem” diklasifikasikan “kalam” dalam
sintaksis gramatika arab?). Suatu tanda untuk aku cepat menangkap jari-jari
putih, panjang, mempesona detik , itu juga. One-two-three dengan ackting
layaknya Tora Sudiro dalam film otomatis romantis yang lugu, polos sok tidak
tahu apa-apa, sok murah senyum akupun menyambut tangannya. Dan, terdengar suara
dari bibirnya yang mungil.
“Eh,
sepurone yo..”
“Okelah
kalow beg…beg..begituw”
Aku
terlelap aku hanya diam duduk di balai desa depan ruman Allison. Aku tahu kamu di kampus. Namun,
bukankah pecinta sudah cukup bahagia melihat apapun yang berhubungan dengan
orang yang dicintai, walaupun berupa puing-puing pasca bombardier tentara
Amerika yang tak berhati nurani.(16/02/2010)
Marzuki
In The Island of Kaligarung