SAYA MENULIS MAKA SAYA ADA



Wacana Marzuki. Mengingat masa kecil adalah hal yang sering terlintas bagi mayoritas orang-orang dewasa. Pun juga saya, ketika ku ingat teman-teman saya di Sekolah Dasar sering bermain sepak bola waktu jam kosong, saya malahan lebih memilih di perpustakaan. Saya suka membaca cerita-cerita heroik macam Jets Star. Saya yang mempunyai kebiasaan yang berbeda dengan teman-teman lainnya bukan tanpa himpitan. Saya kerap diejek teman-teman karena hal itu. Di Sekolah Dasar saya kerap menjadi ledekan teman-teman dan saya hanya diam saja. Diamku bukan berarti menerima dengan lapang dada atas ledekan itu. Diam-diam saya menyimpan dendam dan itu yang menurutku mempengaruhi kejiwaanku diperjalanan selanjutnya, yakni tak mau kalah dengan teman-teman : SENGGOL SIKAT. 


Tamat dari SD, saya mendaftar di SLTP Tambakberas Jombang. Setahun saja saya bertahan di SLTP itu lantas berpindah di MI-PK yang juga masih satu yayasan juga. Di kelas itulah saya menemukan teman-teman yang luar biasa, yakni rivalitas intelektual yang hebat meski teman-teman saya itu bergaya preman. 

Dua tahun kami menempuh MI-PK kemudian melanjutkan ke jenjang selanjutnya, Madrasah Muallimin yang juga masih satu yayasan. Nah, di Muallimin ini kegilaan saya terhadap buku meningkat sebab fasilitas buku-buku perpustakaan yang 100 kali lipat banyaknya ketika saya masih di SD. Dan di Muallimin pula kutemukan banyak teman-teman yang kutu buku sehingga banyak teman bisa diajak diskusi tentang buku.

Suatu hari saya membaca sebuah phamplet yang diterbitkan oleh teman-teman seangkatan saya. Phamplet itu menarik sebab, pimpinannya adalah rival saya Lukman Hakim. Kedua, dalam phamplet itu teman saya menukil dawuh KH. Abdul Jalil Tulungagung, yang kurang lebih seingat saya bahwa kelemahan santri adalah dalam bidang administrasi dan jurnalistik (mohon dibetulkan). Dan phamplet itu seingat saya yang membuat saya teguh ingin berlatih menulis. 

Sebuah keinginan apapun itu kerap tidak bisa bertahan lama manakala tidak mempunyai ambisi. Dan ambisi saya waktu itu adalah ingin menguasai dunia dengan menulis. Ya saya harus mengakuinya.  Lucu memang, namun begitulah ambisi saya ketika masih ABG. Menguasai dunia bukan berarti saya menjadi raja di dunia namun saya sebagai santri yang telah ditanamkan nilai-nilai keislaman tentunya saya berkeinginan menyebarkan nilai-nilai Islam melalui media tulisan. Di pesantren yang setiap hari dibacakan buku-buku karya ulama' masa lalu juga menjadi inspirasi tersendiri bahwa menjadi santri harus berkarya juga dengan tulisan. Bagiku, pesantren adalah tempat penggodokan intelektual. Sebab di pesantren juga diajarkan bagaimana berfikir harus berdasarkan konsep. Belum lagi berbicara tentang ilmu-ilmu bahasa yang diajarkannya meliputi nahwu, shorof, yang mendidik otak untuk cerdas. 


Semenjak awal saya sudah sadar bahwa menjadi penulis bukan bertujuan mengumpulkan uang. Saya semenjak awal sudah membenahi niat saya bahwa menulis adalah untuk menyebarkan nilai-nilai keluhuran Islam. Demi membangun usaha saya untuk terus bisa menulis saya rela kiriman uang saya untuk kursus komputer di Rona Dua. Kan sudah tak zamannya menulis artikel, essai by pena. Dan, terima kasih Master Adji, salam super Pak Kepala Sekolah. Sudah lama sekali saya tidak silaturohim ke rumah Bapak Aji, di desa apa ya saya lupa. Rutenya adalah utaranya Gg. 5 Tambakrejo Jombang tapi yang gang ke Barat. Diam-diam beliau adalah pembimbing saya. Begitu juga dalam selera rokok : GRENDEL UTAMA. Oh ya, beliau ini juga bagus karya tulisya. Saya pernah ditunjukkan karyanya tentang tutorial belajar microsoft office. Bagus. Bahkan beliau pernah titip tulisan yang diselipkan di ruang phamplet saya sewaktu saya menerbitkan phamplet Bunklon yang terbit hanya sekali, dan tulisan beliau menyentuh hati. 

Saya terus berjalan menapaki dunia tulis menulis. Momen apapun berusaha saya tulis demi melatih keluwesan dalam kalimat. Dalam hal menulis saya banyak belajar dari Pak Dahlan Iskan. Dulu sewaktu saya di Pesantren kebiasaan saya adalah membaca koran  Jawa Pos pada jam-jam istirahat. Pesantren kami berlangganan Jawa Pos yang biasanya dipasang di pinggir halaman. Korannya di pasang dalam bingkai kaca seperti halnya mading. Di Jawa Pos itulah saya menemukan tulisan seseorang yang bagus, detil, penuh ilmu, dan perlu untuk ditiru, yakni tulisannya Pak Dahlan Iskan, yang ternyata adalah CEO Jawa Pos itu sendiri. DAN pada tahun 2008 atau 2009, saya baru di izinkan Allah Swt untuk membeli buku Dahlan Iskan GANTI HATI, yang padahal sudah ku tunggu-tunggu sejak tahun 2007. 


Sebagaimana halnya kalimat yang pernah ditulis Pak Dahlan : "Agar tidak kecewa, janganlah menaruh harapan terlalu tinggi  untuk apapun dan kepada siapapun." Saya juga tidak terlalu berharap banyak terhadap kecintaan saya dalam menulis ketika usia saya sudah mendekati 30 tahun ini. Sekarang saya hanya manusia biasa yang tetap bersyukur kepada Allah yang tak henti-hetinya memberikan rizqi kepadaku. Itu adalah nikmat yang besar sekali. Uang cukup, kesehatan terjaga, cinta di mana-mana, keluarga lengkap dan masih banyak sekali rizqi yang diberikan kepadaku yang aku tak sanggup menghitungnya. 

Meskipun saya bukan orang "besar" namun saya tetap bersemangat dalam menulis sebab menulis adalah cintaku. Saya tidak pernah menyesal terhadap kesalahan masa lalu, misalnya : saya rela tidak masuk sekolah hanya demi menghadiri seminar Jurnalistik di SMA  timur GOR Madiun, yang padahal saya sekolah di Jombang. Dan masih banyak lagi sekolah saya yang kukorbankan hanya karena saya cinta menulis. Saya tidak menyesal karena saya yakin itu semua ada hikmahnya. Dan hingga hari ini saya berusaha untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan masa lalu,"Ya Allah, tolonglah aku untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan masa laluku. 

Alasan saya tetap bertahan untuk menulis adalah sebagai wujud syukur saya karena diberi anugerah oleh Allah Swt bisa menulis, sebab tidak semua orang bisa menulis. Dan, sayup-sayup jelas ketika saya menulis ini mendengar alunan membaca sholawat dengan diiringi hadroh  yang menggetarkan hatiku. "Allahumma sholli 'ala sayyidina Muhammad wa 'ala ali sayyidina Muhammad". 


 Menulis adalah berkarya. Setiap hasil karya kerap diasumsikan untuk mencari uang dan itu tidak salah sebab nilai asumsi terletak pada siapa yang berasumsi. Pun, ketika sekarang saya mempunyai tablet yang bisa ku gunakan untuk mengetik secara bebas waktu, yang berbeda dengan komputer yang sudah lama saya miliki namun harus tergantung listrik, saya mulai berpikir ingin mendulang uang dengan tekun menulis. Ya ambisi untuk mendulang pundi-pundi dolar kerap menghantui. Bagiku, terpenting adalah niat. Berkarya saja karena Allah. Maka, Allah sudah memberikan rezqi kepada saya. 

Allah tidak melarang mencari uang selama itu dengan jalan halal. Namun, kalau menulis untuk mencari uang  ya tidak masalah sih he he. Menulis itu kan alat atau sarana. Jadi, terserah kamunya bagaimana. Cangkul bisa saja kamu gunakan untuk mencari uang namun bisa juga kamu gunakan untuk memelihara lingkungan karena panggilan hati. Bagiku juga begitu, menulis adalah alat atau pedang sebab tulisan mampu memotong bahkan menghancurkan. Atau dalam bahasa yang ekstrim pena adalah keris yang disegani. Apa jadinya dunia tanpa pena. Peradaban dunia dibangun dengan pena semenjak dulu hingga sekarang. Bagaimana Plato mendidik athena dengan tulisan-tulisannya. Bagaimana Karl Mark mempengaruhi masyarakat dengan ide-ide komunismenya menggunakan penanya, Das Capaital Karl Mark. 

Saya berpikir menulis harus dengan keikhlasan sebab begitulah Islam mengajarkan. Berkarya saja maka dunia akan mengikutimu. Itu juga ada hubungannya tentang kegelisahan saya beberapa hari kemarin mengenai bisnis apa yang sebaiknya saya jalankan. Sebab saya sekarang bekerja ada ikatan formal dan saya pengen bisnis sendiri atau usaha berdikari tanpa mempunyai ikatan formal, yang tentunya itu bisa menjadi cadangan sewaktu-waktu kita berhenti dari ikatan itu. Hingga kamis kemarin sewaktu saya curhat pada teman saya di desa Cepoko Panekan Magetan, dimana ia telah sukses dengan usaha percetakannya ia berkata,"wes to, berkarya yang banyak dan bagus lalu tinggal berpikir bagaimana memasarkannya".


Menulis bagi orang-orang jebolan pesantren seperti saya adalah sebagai wujud amal saleh. Dalam sebuah tulisan juga disebutkan bahwa orang yang menulis dengan niat menyebarkan ayat-ayat Tuhan adalah setara dengan seseorang yang beramal jariyah (Ibnul Jauzi).  

Beramal saleh merupakan perintah Allah "عمل الصالحات  ", kita sering menemukan bacaan itu ketika membaca Al-Qur'an. Kata sholeh disitu berbentuk jama' atau plural yang tentunya menulis juga bisa masuk dalam kategori beramal saleh, yang tentu menulis karena menyebarkan ayat-ayat Allah. Apa itu ayat-ayat Allah? Dalam Al-Qur'an ayat-ayat Allah lebih banyak diartikan sebagai tanda-tanda kebesaran Allah. Semisal ayat: 

ومن آياته أن خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا إليها وجعل بينكم مودة ورحمة إن في ذلك لآ يات لقوم يتفكرون

Dan di antara tanda-tanda kekusaan Nya adalah Ia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung  dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS. Ar-Rum [30]:21).

Itulah juga yang dilakukan oleh para ilmuan-ilmuan Islam yang hidup jauh dari kita semisal Imam Al-Ghazali, yang hidup sebelum abad 10 Masehi namun hingga kini tetap terdengar pemikiran-pemikirannya sebab banyak sekali karya-karya tulisnya. 

Kita sebagai generasi penerus tentunya juga harus meniru jejak mereka yakni menulis. Menulis yang berkualitas dan ikhlas karena Allah dan itulah yang membuat karya-karya ulama' kita bisa langgeng dan tetap dibaca.  

Sebelum saya mengakhiri tulisan ini, saya mengajak pembaca untuk menulis tentang ajakan kepada kebaikan, atau mari sebarkan informasi yang orisinil dilingkunganmu. Kita bisa menjadi produsen berita tanpa ada tekanan dari Abu Rizal Bakri atau Surya Paloh hehe.

Semoga Tenang Kawanku, An-Nahdli



Bismillah. Wacana Marzuki. Tiba-tiba saja saya tadi sore selepas pulang kerja berkeinginan membuka facebook dan saya bergidik sekali membaca tulisan teman sekaligus guru saya, Mas Lukman Hakim, teman dari ibtida'iyyah Bahrul Ulum Tambakberas Jombang. Lebih bergidik dan "mbrebes mili", menitikkan air mata ketika kudapati informasi teman saya Said An-Nahdli, teman sekelas juga di Ibtida'iyyah, telah berpulang ke sisi Allah Subhanahu Wa ta'ala. Dan, hingga tengah malam ini saya masih flash back mengingat masa lalu. Mengingat kebersamaan belajar di diniyyah (ilmu-ilmu agama) ketika masih sekelas dulu. 


Saya mengenal Said anak yang santun kepada sesama teman. Dia teman yang baik tapi saya jarang bertemu sebab berbeda asrama dan jauh, maka saya tidak bisa menulis hal-hal banyak perihal Said An-Nahdli. Terpenting do'aku: Ya Allah, ampunillah dosa Said dan masukkanlah ia dalam golongan orang-orang yang soleh.

Dan ini saya lampirkan tulisan Said yang kutemukan di Independent Phamplet:

HIDUP MERUPAKAN SEBUAH PILIHAN dan PERJUANGAN

"Pohon Pir datang ke dunia ini sebagai pohon pir, dan tidak pernah meninggalkan dunia ini sebagai Pohon Labu. Badak tidak pernah menjadi Monyet atau Tikus. Tetapi, Manusia datang ke alam ini sebagai potensi yang luar biasa untuk -bukan saja tumbuh dan berkembang, tetapi juga menyimpang, mengalami degradasi dan deformasi." Jalaluddin Raahmat

Mungkin akan cukup membingungkan  bagi kita yang tanpa terasa, sering disusul paham Jabbariyah. Sering kita jumpai  dalam percakapan sehari-hari. Saat kita telah mencapai batas akhir usaha, kita hanya berkata; "ah..sudahlah! Mungkin, sampai disini saja Tuhan mentaqdirkan usaha kita. "Atau,".....kita adalah manusia. Dan, ini manusiawi!" Ironis.


"Manusia adalahh satu-satunya makhluk eksistensialis - karena hanya makhluk ini yang bisa turun-naik derajatnya di sisi Tuhan. Meski manusia adalah ciptaan terbaik (ahsani taqwim/ Qs. Al-Thin: 4), tapi tidak mustahil akan turun derajat paling rendah (asfala safilin/ Qs. al-Thin:5), bahkan bisa rendah dari binatang (Qs. al-A'rof: 179). Ukuran kemulian di sisi Tuhan adalah prestasi dan kualitas tanpa membedakan etnik dan jenis kelamin (Qs. al Hujurat: 13)", rangkum Nasaruddin Umar, Dosen UIN Jakarta.

Kita -manusia, adalah stereotip makhluk yang ada tanpa sekedar menjadi ada. Manusia terkaruniai kemampuan untuk menjadi (potensi berbuat) baik dan benar, atau buruk dan salah. Hati manusia terbuka untuk berkeinginan berbuat benar-salah, baik buruk. Sebuah pilihan dan perjuangan. "Tak ada yang jatuh dari langit dengan cuma-cuma, semua (dengan) usaha dan doa", tulis Dhani Dewa 19. Akankah kita bisa whareg tanpa menelan sesuatu (makanan)?!


Manusia adalah makhluk mentah -belum final. Dalam hidup, diberi pilihan dan "minta" (Tuhan) untuk mewujudkan pilihan tersebut. Karena itulah, di hari akhir kita akan dimintai Laporan Pertanggungjawaban atas kredit hidup yang kita terima. Nahdli

Ya, itulah secangkir tulisan Mas Said An-Nahdli, yang bergizi. Dan saya menyimpan tulisan itu sudah lebih dari tujuh tahun. Dan Mas Said, kita akan bertemu nanti di surga. Amin.



TRAGEDI TAMRIN



Fakta dan Makna

Siapapun kamu! Jika yang kamu cari adalah ketamakan bukan kearifan maka tunggulah masa kehancuranmu.  

Saya menulis itu atas suara yang diucapkan oleh MH. Ainun Nadjib, disebuah video tentang tragedi Tamrin Kamis, 14 Januari 2016 itu. Saya sendiri ada makna lain ketika mendengar kalimat dari Cak Nun itu. Ya saya selalu menemukan perspektif lain ketika Cak Nun memahami sesuatu. Meskipun secara jelas ucapan Cak Nun itu tidak ditujukan pada tragedi Tamrin kemarin. Sebab saya hanya mengunduh sebuah video di youtube tentang detik-detik tragedi Tamrin itu dan ketika saya play ada soundtracnya lagu Cak Nun tentang zaman akhir itu.


Namun lepas dari itu semua, adalah sebuah keniscayaan ketika saya atau kita mengingkari kalimat pembuka tadi. Diperlukan kearifan untuk tetap memelihara alam ini. Sebab ketika manusia sudah mempertahankan egonya masing-masing tentu akan membuat semuanya menjadi tidak sehat.

MEMAHAMI MAKNA JIHAD

"Jihadlah dijalan Allah bukan di jalan Tamrin"  bukan ayat.
Saya sebagai alumni pesantren juga pernah diajarkan tentang bagaimana jihad di jalan Allah. Sayangnya saya lupa namun saya sendiri sebagai pecinta Al-Qur'an memahami jihad adalah kesungguhan dalam mengabdi kepada Allah Swt. 


Tentunya kesungguhan itu adalah dalam kebaikan bukan bertentangan dengan nilai-nilai kebaikan. Sementara itu kita dihadapkan dengan pemahaman jihad seperti bom bunuh diri di Tamrin, ini kan bertentangan dengan nilai-nilai keharmonisan. Apakah Allah suka dengan cara itu? Mari berpikir. Saya memahami Islam itu indah. Saya pengagum muslim-muslim yang mencintai keharmonisan bukan kekerasan. Seperti halnya tokoh pemikir muslim Indonesia, yakni Gus Dur, Nur Cholis Madjid, Cak Nun dan lain-lain. Mereka adalah pemikir-pemikir hebat yang karya tulisnya mencerminkan keharmonisan kehidupan manusia. Mereka adalah pengubah dunia dengan tulisan.

BENARKAH MEREKA TERORIS?

Ini mengingatkan saya tentang beberapa tahun yang lalu ketika saya masih di pesantren sempat membaca buku tulisan Imam Samudra, yang berjudul AKU BUKAN TERORIS. Tentu buku itu adalah pembelaan dirinya atas perilakunya tragedi Bom yang pernah dilakukannya. Ia melegitimasi pembelaannya dengan mengutip ayat-ayat suci. Ia sendiripun juga mengklasifikasi antara ayat pedang dan ayat perdamaian. Saya sendiri juga mengapresiasi karyanya itu. Tulisannya sangat bagus dan menyentuh. Ia mampu membawa pembaca menuju alam pikirannya. Bahkan saya sempat meniru tentang kecerdasannya menulis. Misalnya ia akan menerangkan tentang ayat-ayat pedang, terlebih dahulu ia buka dengan kronologis yang sangat memukau. Dan tanpa sadar pembaca akan menikmati pemikirannya. Ini berbeda ketika saya membaca buku-buku pemikiran lainnya, saya sudah disuguhkan dengan pemikiran yang sulit.


Meskipun buku itu sudah saya baca dan menikmatinya. Saya sama sekali tidak terpengaruh dengan pemahamannya yang radikalisme itu. Pertama, saya sudah terbiasa dengan alam diskusi semenjak kecil. Buku hanyalah sebuah tafsir dan kita bisa menulis ide kita sendiri menjadi buku. Al-Hasil, membaca tanpa mendiskusikannya adalah celaka sebab anda telah dikuasai oleh penulis buku yang anda baca itu. Kedua, saya sudah terbiasa dengan wacana agama sebab saya hidup di pesantren yang menjujung nilai-nilai kemarmonisan. 

Sebelum tulisan ini saya akhiri, bahwa Islam mengajarkan berperang adalah ketika kita diperangi. Dan itu bisa diteliti di ayat-ayat Al-Qur'an dan juga melalui sejarah kehidupan Nabi Muhammad Saw. Ide khilafah yang mereka usung pun juga masih perlu dikaji. Mungkin, mereka yang menyeru perang perlu diganti pedangnya, bomnya yakni diganti dengan budaya pemikiran yang bagus. Al-hasil, jadilah perang kata bukan perang senjata. Marzuki/Ahad/21:40/17 Januari 2016.



Tentang penulis :

Marzuki Ibn Tarmudzi, pernah mencicipi sedikit segarnya lautan ilmu di Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang, Jawa Timur. Hobinya yang suka nyorat-nyoret kertas ini dimulai semenjak nyantri. Kini, hobinya itu dituangkan di berbagai media online, itung-itung sebagai aksi dari ; “بلغوا عني ولو أية “,” sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat ”.