Syahwat-syahwat Politik

Oleh: Lukman Hakim Husnan, Mahasiswa Ushuluddin IAIN Raden Fattah Palembang


PENTAS perpolitikan nasional semakin riuh. Setelah beleid (baca; kebijakan) bail out Bank Century dipersoalkan dan kemudian sebuah Panitia Khusus (Pansus) Angket di bentuk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono yang baru saja berumur seratus hari pada tanggal 28 Januari 2010, “digoyang” oleh banyak pihak. Belakangan, partai koalisi pendukung pemerintah pun terancam retak. Api century me-rambat ke mana-mana. Inikah akibatnya, ketika sebuah kasus hukum dipaksakan menjadi rentetan isu politik?


Setidaknya terdapat dua kategori kelompok besar yang sempat dijamah oleh percik-percik api Century. Kelompok pertama, sebutlah kelompok elite, yang terdiri dari para anggota DPR ûtergabung dalam Pansus atau tidak, elite Pemerintah dan Elite Partai Politik. Kelompok ini secara kasar dapat dibagi menjadi dua faksi; (1) Kubu pendukung Bail Out Bank Century, dan (2) Kubu yang kritis terhadap penalangan dana kepada Bank yang sekarang beralih nama menjadi Bank Mutiara itu.

Kelompok kedua bisa disebut sebagai kelompok nonelite. Mereka terdiri dari antara lain gerakan mahasiswa, gabungan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan intelektual, kaum buruh, dan lain sebagainya. Pada umumnya mereka yang menjadikan demonstrasi sebagai “alat pukul” ini menolak dan menuntut penuntasan skandal di balik bail out Century. Meskipun begitu dan walaupun dalam jumlah yang lebih kecil, sebetulnya ada kubu nonelite yang kedua, yakni mereka yang mendukung upaya penalangan dana untuk Bank Century.


Di tingkat elite, bola panas Century berkembang semakin besar dan kian liar. Mula-mula, beberapa anggota Pansus yang baru mulai bekerja itu menuntut agar dua orang penentu kebijakan bail out, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Mantan Gubernur Bank Indonesia yang juga Wakil Presiden Boediono, dinonaktifkan dari jabatannya. Kedua orang ini dianggap paling bertanggung jawab atas dugaan “pembobolan” besar-besaran uang negara. Isu yang berkembang pada saat itu, pembengkakan nilai duit talangan menjadi 6,7 triliun adalah untuk pendanaan kampanye partai yang kini menjadi pemenang pemilu. Tetapi, oleh karena dasar hukumnya dirasa kurang mumpuni, wacana penonaktifan pun surut.


Dua bulan sudah Pansus angket Century bekerja. Puluhan saksi dan ahli terkait telah diperiksa. Lepas dari berbagai pembicaraan miring tentang perilaku beberapa anggota Pansus yang kurang “senonoh” di tengah reality show persidangan, sampai saat tulisan ini digubah Pansus belum sama sekali merilis hasil kerjanya. Rencananya, kesimpulan sementara akan diumumkan pada Selasa (26/01). Akan tetapi, karena beberapa alasan yang tak dijelaskan, kehebohan yang diduga akan muncul pada malam itu pun tidak pernah terjadi. Publik sempat kecewa dan untuk kesekian kalinya dipaksa percaya bahwa tidak pernah terjadi apa-apa di atas sana, di kalangan elite itu, kecuali kompromisme dan tawar menawar kepentingan antar fraksi. Konformitas dianggap perlu karena bagaimanapun, kesimpulan Pansus Century ini berimbas besar pada keutuhan komposisi Pemerintahan SBY-Boediono.


Kesimpulan negatif bisa melahirkan pemakzulan terhadap wakil presiden atau setidaknya pencopotan Sri Mulyani dari jabatan menteri keuangan, meski isu ini terus berusaha dipinggirkan dengan alasan-alasan konstitusional. Pemakzulan bukan sesuatu yang tidak mungkin, walau prosesnya agak lama dan sedikit berbelit. Akan tetapi, ah, Rakyat kini diwajibkan menanti sebuah hasil dari konformitas.


Realitas Politik

Dalam konteks seperti inilah dinamika internal partai-partai sekutu pemerintah dapat dibaca. Anggota Pansus yang dulunya sangat kritis menanggapi kebijakan bail out Century, kehilangan kegarangannya oleh sebab partainya masuk dalam golongan koalisi. Partai-partai koalisi dihantui oleh dilema sekaligus kenyataan bahwa beberapa kadernya berada di lingkaran kekuasaan. Jika tidak ingin melihat mereka diusik (baca: reshuffle), mereka harus lebih banyak diam dan patuh. Sebaliknya, apabila partai telah memutuskan untuk minggat dari koalisi, maka kader-kader partai yang dititipkan di dalam Pansus pun berani bicara buka-bukaan serta tetap meneguhi kritisismenya. Walau kita tahu semua itu sebetulnya sudah mereka “hitung” secara politis.


Realitas politik di tingkat elite inilah yang semestinya dilihat dengan lebih teliti oleh kelompok nonelite.. Ini karena terdapat semacam aspirasi umum di level demonstran, bahwa “asal SBY-Boediono turun”; sebuah isu yang sudah berbeda dan atau bergeser dari tuntutan-tuntutan sebelumnya yang sebagian besar berbunyi tuntutan untuk segera menuntaskan skandal Century. Sebaliknya, pendukung pemerintahan SBY-Boediono juga tak kalah getol. Mereka inilah yang sebelumnya mendukung bail out Century. Hanya saja sangat disayangkan, karena justeru reaksi massa yang berlebihan, serta buta peta politik di tingkat elite, macam inilah yang dikhawatirkan akan ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan politis tertentu dari tingkat elite “atau memang sudah ada invisible hand sebelumnya? Tetapi toh, Jikapun salah satu aspirasi massa ini terbukti benar, mereka sendiri tidak akan pernah merasakan “nikmat” dari runtuhnya sebuah rezim bernama Kabinet Indonesia Bersatu itu. Teriakan massa, baik itu yang anti maupun yang pro SBY-Boediono ini akan dihitung sebagai elemen penting dalam hitung-hitungan politis para elite.


Sudah sangat terang, berbagai bentuk “pertikaian” yang menyelimuti kasus Century ini telah dipolitisasi sedemikian jauh. Sebagai Panitia Khusus yang bertugas mengadakan penyelidikan, kerja Pansus sudah tidak terjamin produktif lagi. Tidak akan pernah jelas siapa yang benar dan siapa yang salah, dan rakyat pun sekali lagi harus menangguk kekecewaan. Kita boleh sangsi atas kesimpulan Pansus yang akan diumumkan dan yang akan direkomendasikan pada rapat paripurna DPR nanti. Sejauhmana ia tidak bias akibat tercemar oleh kompromi dan deal-deal politik di tingkat elite? Terkontaminasi oleh syahwat-syahwat politik kaum elite? Karena itu ada baiknya, sebelum lebih terlambat, kasus ini segera dilimpahkan kepada pihak yang berwenang, kepada KPK umpamanya. Yang disebut terakhir ini sedikit lebih bisa dipertanggungjawabkan. Pada saatnya nanti, dan lebih baik lagi jika KPK mampu bertindak cepat, kita bisa membandingkan hasilnya. Rasionalitas masyarakat kembali diuji. Manakah yang akan mereka pilih apabila kesimpulan Pansus DPR terbukti bertentangan dengan versi KPK?

Tentang penulis :

Marzuki Ibn Tarmudzi, pernah mencicipi sedikit segarnya lautan ilmu di Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang, Jawa Timur. Hobinya yang suka nyorat-nyoret kertas ini dimulai semenjak nyantri. Kini, hobinya itu dituangkan di berbagai media online, itung-itung sebagai aksi dari ; “بلغوا عني ولو أية “,” sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat ”.