Semoga Tenang Kawanku, An-Nahdli



Bismillah. Wacana Marzuki. Tiba-tiba saja saya tadi sore selepas pulang kerja berkeinginan membuka facebook dan saya bergidik sekali membaca tulisan teman sekaligus guru saya, Mas Lukman Hakim, teman dari ibtida'iyyah Bahrul Ulum Tambakberas Jombang. Lebih bergidik dan "mbrebes mili", menitikkan air mata ketika kudapati informasi teman saya Said An-Nahdli, teman sekelas juga di Ibtida'iyyah, telah berpulang ke sisi Allah Subhanahu Wa ta'ala. Dan, hingga tengah malam ini saya masih flash back mengingat masa lalu. Mengingat kebersamaan belajar di diniyyah (ilmu-ilmu agama) ketika masih sekelas dulu. 


Saya mengenal Said anak yang santun kepada sesama teman. Dia teman yang baik tapi saya jarang bertemu sebab berbeda asrama dan jauh, maka saya tidak bisa menulis hal-hal banyak perihal Said An-Nahdli. Terpenting do'aku: Ya Allah, ampunillah dosa Said dan masukkanlah ia dalam golongan orang-orang yang soleh.

Dan ini saya lampirkan tulisan Said yang kutemukan di Independent Phamplet:

HIDUP MERUPAKAN SEBUAH PILIHAN dan PERJUANGAN

"Pohon Pir datang ke dunia ini sebagai pohon pir, dan tidak pernah meninggalkan dunia ini sebagai Pohon Labu. Badak tidak pernah menjadi Monyet atau Tikus. Tetapi, Manusia datang ke alam ini sebagai potensi yang luar biasa untuk -bukan saja tumbuh dan berkembang, tetapi juga menyimpang, mengalami degradasi dan deformasi." Jalaluddin Raahmat

Mungkin akan cukup membingungkan  bagi kita yang tanpa terasa, sering disusul paham Jabbariyah. Sering kita jumpai  dalam percakapan sehari-hari. Saat kita telah mencapai batas akhir usaha, kita hanya berkata; "ah..sudahlah! Mungkin, sampai disini saja Tuhan mentaqdirkan usaha kita. "Atau,".....kita adalah manusia. Dan, ini manusiawi!" Ironis.


"Manusia adalahh satu-satunya makhluk eksistensialis - karena hanya makhluk ini yang bisa turun-naik derajatnya di sisi Tuhan. Meski manusia adalah ciptaan terbaik (ahsani taqwim/ Qs. Al-Thin: 4), tapi tidak mustahil akan turun derajat paling rendah (asfala safilin/ Qs. al-Thin:5), bahkan bisa rendah dari binatang (Qs. al-A'rof: 179). Ukuran kemulian di sisi Tuhan adalah prestasi dan kualitas tanpa membedakan etnik dan jenis kelamin (Qs. al Hujurat: 13)", rangkum Nasaruddin Umar, Dosen UIN Jakarta.

Kita -manusia, adalah stereotip makhluk yang ada tanpa sekedar menjadi ada. Manusia terkaruniai kemampuan untuk menjadi (potensi berbuat) baik dan benar, atau buruk dan salah. Hati manusia terbuka untuk berkeinginan berbuat benar-salah, baik buruk. Sebuah pilihan dan perjuangan. "Tak ada yang jatuh dari langit dengan cuma-cuma, semua (dengan) usaha dan doa", tulis Dhani Dewa 19. Akankah kita bisa whareg tanpa menelan sesuatu (makanan)?!


Manusia adalah makhluk mentah -belum final. Dalam hidup, diberi pilihan dan "minta" (Tuhan) untuk mewujudkan pilihan tersebut. Karena itulah, di hari akhir kita akan dimintai Laporan Pertanggungjawaban atas kredit hidup yang kita terima. Nahdli

Ya, itulah secangkir tulisan Mas Said An-Nahdli, yang bergizi. Dan saya menyimpan tulisan itu sudah lebih dari tujuh tahun. Dan Mas Said, kita akan bertemu nanti di surga. Amin.



TRAGEDI TAMRIN



Fakta dan Makna

Siapapun kamu! Jika yang kamu cari adalah ketamakan bukan kearifan maka tunggulah masa kehancuranmu.  

Saya menulis itu atas suara yang diucapkan oleh MH. Ainun Nadjib, disebuah video tentang tragedi Tamrin Kamis, 14 Januari 2016 itu. Saya sendiri ada makna lain ketika mendengar kalimat dari Cak Nun itu. Ya saya selalu menemukan perspektif lain ketika Cak Nun memahami sesuatu. Meskipun secara jelas ucapan Cak Nun itu tidak ditujukan pada tragedi Tamrin kemarin. Sebab saya hanya mengunduh sebuah video di youtube tentang detik-detik tragedi Tamrin itu dan ketika saya play ada soundtracnya lagu Cak Nun tentang zaman akhir itu.


Namun lepas dari itu semua, adalah sebuah keniscayaan ketika saya atau kita mengingkari kalimat pembuka tadi. Diperlukan kearifan untuk tetap memelihara alam ini. Sebab ketika manusia sudah mempertahankan egonya masing-masing tentu akan membuat semuanya menjadi tidak sehat.

MEMAHAMI MAKNA JIHAD

"Jihadlah dijalan Allah bukan di jalan Tamrin"  bukan ayat.
Saya sebagai alumni pesantren juga pernah diajarkan tentang bagaimana jihad di jalan Allah. Sayangnya saya lupa namun saya sendiri sebagai pecinta Al-Qur'an memahami jihad adalah kesungguhan dalam mengabdi kepada Allah Swt. 


Tentunya kesungguhan itu adalah dalam kebaikan bukan bertentangan dengan nilai-nilai kebaikan. Sementara itu kita dihadapkan dengan pemahaman jihad seperti bom bunuh diri di Tamrin, ini kan bertentangan dengan nilai-nilai keharmonisan. Apakah Allah suka dengan cara itu? Mari berpikir. Saya memahami Islam itu indah. Saya pengagum muslim-muslim yang mencintai keharmonisan bukan kekerasan. Seperti halnya tokoh pemikir muslim Indonesia, yakni Gus Dur, Nur Cholis Madjid, Cak Nun dan lain-lain. Mereka adalah pemikir-pemikir hebat yang karya tulisnya mencerminkan keharmonisan kehidupan manusia. Mereka adalah pengubah dunia dengan tulisan.

BENARKAH MEREKA TERORIS?

Ini mengingatkan saya tentang beberapa tahun yang lalu ketika saya masih di pesantren sempat membaca buku tulisan Imam Samudra, yang berjudul AKU BUKAN TERORIS. Tentu buku itu adalah pembelaan dirinya atas perilakunya tragedi Bom yang pernah dilakukannya. Ia melegitimasi pembelaannya dengan mengutip ayat-ayat suci. Ia sendiripun juga mengklasifikasi antara ayat pedang dan ayat perdamaian. Saya sendiri juga mengapresiasi karyanya itu. Tulisannya sangat bagus dan menyentuh. Ia mampu membawa pembaca menuju alam pikirannya. Bahkan saya sempat meniru tentang kecerdasannya menulis. Misalnya ia akan menerangkan tentang ayat-ayat pedang, terlebih dahulu ia buka dengan kronologis yang sangat memukau. Dan tanpa sadar pembaca akan menikmati pemikirannya. Ini berbeda ketika saya membaca buku-buku pemikiran lainnya, saya sudah disuguhkan dengan pemikiran yang sulit.


Meskipun buku itu sudah saya baca dan menikmatinya. Saya sama sekali tidak terpengaruh dengan pemahamannya yang radikalisme itu. Pertama, saya sudah terbiasa dengan alam diskusi semenjak kecil. Buku hanyalah sebuah tafsir dan kita bisa menulis ide kita sendiri menjadi buku. Al-Hasil, membaca tanpa mendiskusikannya adalah celaka sebab anda telah dikuasai oleh penulis buku yang anda baca itu. Kedua, saya sudah terbiasa dengan wacana agama sebab saya hidup di pesantren yang menjujung nilai-nilai kemarmonisan. 

Sebelum tulisan ini saya akhiri, bahwa Islam mengajarkan berperang adalah ketika kita diperangi. Dan itu bisa diteliti di ayat-ayat Al-Qur'an dan juga melalui sejarah kehidupan Nabi Muhammad Saw. Ide khilafah yang mereka usung pun juga masih perlu dikaji. Mungkin, mereka yang menyeru perang perlu diganti pedangnya, bomnya yakni diganti dengan budaya pemikiran yang bagus. Al-hasil, jadilah perang kata bukan perang senjata. Marzuki/Ahad/21:40/17 Januari 2016.



Tentang penulis :

Marzuki Ibn Tarmudzi, pernah mencicipi sedikit segarnya lautan ilmu di Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang, Jawa Timur. Hobinya yang suka nyorat-nyoret kertas ini dimulai semenjak nyantri. Kini, hobinya itu dituangkan di berbagai media online, itung-itung sebagai aksi dari ; “بلغوا عني ولو أية “,” sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat ”.