Simbah Wa Sitole mampir

"Assalamu'alaikum, Mbah"

"Wa 'alakum salam le,
Ngopi' le"

"Nggih mbah cocok"

"Ngopi tiap waktu yo cocok to le"

"Lha nek tonggo omahe mati arep ngopi yo ra penak to mbah"

"Modelmu"

Mereka bercengkerama lagi. Itung-itung Sitole dan Simbah ini lagi di rumah lama yang menurutnya megah dan mencoba ditempatinya kembali. Ia merasa tempat ini lebih nyaman untuk digunakan bercengkerama perihal suluk. Sebab rumah ini oleh tuannya juga sering digunakan ngobrol dunia suluk.

Kini tuannya berencana menempati kembali ruangan ini namun lebih pada pengalaman pribadi.

"Tapi menulis itu kalau diatur-atur atau kita membatasi harus begini dan harus begini itu kok malah ngga' mengalir ya mbah. Padahal kalau kita tidak mengalir yang terjadi tulisan kita tidak orisinil"

"Kalau begitu mengalir saja ya le"

"Nggih Mbah, niki kulo ajeng mengumumkan bilih wonten ingkang bade nyimak obrolan Simbah dan Sitole saget mampir teng Warung Sufi nggih ngopi rokok an : http://kimojoonline.wordpress.com

"Nggih niku leres monggo ngopi roso atine dewe-dewe"

"Ngrasakno kito niki dalam beragama Islam"

"Wa'alaikum Salam Warohmatullahi wabarokatuhu"


Curhatan di Serambi Masjid, Determinasi Memasuki Islam Secara Total.

Esai : 18
Cerita Islami, Esai, 4 Januari 2018
Oleh : Marzuki Ibn Tarzmudzi


Sesungguhnya Nabi Muhammad Saw, bersabda :
 ما بال أقوام يشرفون المترفين ويستخفون بالعابدين ويعملون بالقرأن ما وافق أهواءهم وما خالف أهواءهم تركوه[1]
Bagaimana orang-orang itu menganggap sukses orang yang hidup bermewah-mewah, lalu menyepelekan orang-orang yang beribadah, dan mengamalkan Al-Qur’an yang cocok dengan hawa nafsunya dan meninggalkan ayat yang tidak cocok dengan hawa nafsunya.


Ngopi dan Ngaji : Berguru kepada Sang Nabi

 “Kulo kok kadang ningali fenomena-fenomena teng masyarakat meniko kedah ngguyu piyambak Pakde”

“Masalah nopo Kang?”

“Menopo to tiang-tiang ingkang lahire katingal mewah-mewah meniko kok dados standar kesuksesan, padahal kito meniko gesang wonten ing masyarakat mayoritas muslim”

“Sejatose punopo ingkang dados penggalih panjenengan meniko sampun dipun gumunaken kalian Nabi, Kang”

Pakde Waringin dan Kang Riyadi tampak ngobrol-ngobrol di serambi Masjid ba`da Isya`. Kelihatannya mereka terpaksa ngobrol di serambi itu lantaran terjebak hujan sebab biasanya, setelah Isya` mereka langsung pulang.


Fakta di masyarakat, seseorang lebih di anggap sukses kalau hidupnya mewah. “Eh, lihat tu artis, sukses banget dia, rumahnya gede bertingkat,  mobilnya berderet, pakaiannya bermerek, aksesoris badannya elit, harga tasnya se-M, minum kopinya ke negara tetangga, ngerayain Ultah aja live di tv, belanjanya ke Jepang, menu makanannya asing, wisatanya ke negeri jauh, ada kasus sepele aja nyewa pengacara kondang. Begitulah fakta masyarakat yang terjadi. Seseorang dianggap sukses barometernya adalah kemewahan. Kenapa alat ukur sukses itu bukan dedikasinya, moralnya, uletnya, pantang menyerahnya.

Di lain sisi, ada sarjana yang bertahun-tahun hanya jadi sales panci, hidup pas-pasan, berbakti kepada orang tua, anak-anaknya sholeh, dan di rumah punya jiwa sosial tinggi, orang tidak menganggapnya sukses. Bahkan ada yang berceloteh : “Orang itu dulu ketika kuliah salah ngambil jurusan”. Aneh, jadi orang seperti itu dituduh salah jurusan. Komentarnya seakan lebih tahu tentang hidupnya.

“Dados wonten zaman Nabi, fenomena mekaten njih kedadosan?”, pitakene Kang Riyadi.

“Malahan keheranane Nabi taksih wonten lintune, menopo to tiang-tiang ingkang tekun ngibadahe dumateng Allah Swt, justru dipun remehaken”

Ada orang yang tekun beribadah di masjid, ia bilang : “Pengangguran, tidak punya daya kreatif, kolot, bukan jaman now, ngga’ mecing,  dan bla.. bla.. bla.. bla. Disepelekan, ada orang tekun ibadah disepelekan. Ada teman sekantor yang kelihatan khusu` bercetus : “Lho itu kenapa sih? Udah ngerasa deket mati ya?”. Padahal orang yang ngejek itu, anaknya juga disuruh mengajai lo, dan marah besar kalo anaknya ngg` berangkat mengaji. Ada teman sekampus yang mau jum’atan ia katakan: “lagi galau ya?”. Pigimane sih, ada orang berbuat baik dikatakan lagi sedih.

“Nopo taksih wonten lintune?”, pitakene Kang Riyadi

“Menopoto tiang-tiang meniko ngamalaken Al-Qur’an, hananging dipun pilihi ayat-ayat ingkang cocok kalian hawa nepsune”

Sabda Nabi ini sangat relevan dalam kehidupan dimasyarakat. Dan pastinya, ini adalah pukulan bagi kita saya terutama. Jelas-jelas melihat lawan jenis dengan memandang itu dilarang tapi mengapa masih dilakukan. Mengapa merokok yang jelas-jelas itu tidak baik untuk kesehatan tapi masih dijalankan. Bukankah syarat sesuatu boleh dikonsumsi harus halal dan toyyib, “kuluu mimma fi al-ardli halalan toyyiban,[2]  bagus untuk kesehatan dan lain-lain.

Mengamalkan ayat-ayat Al-Qur`an sesuai dengan kehendak hawa nafsunya, itu seperti iman pada sebagian ayat dan kufur terhadap ayat yang lain.


Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: "Kami beriman kepada yang sebahagian dan Kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)", serta bermaksud (dengan Perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir),[3]

 “Lajeng, fenomena mekaten meniko sebabe nopo Pakde”, pitakenane Kang Riyadi
“Wahan”

Kegelisan Kang Riyadi melihat kondisi masyarakat muslim di Indonesia. Seakan barometer masyarakat dalam menjustice sesuatu bukan berdasar Al-Qur`an. Seperti ukuran kesuksesan ditinjau dari bergelimpangan harta. Jadi hafal Al-Qur`an kalau belum punya kelimpahan harta belum dikata sukses. Seharusnya, sebagai muslim tujuan akhir kesuksesan adalah di akhirat kelak. Dan ketika dunia barometernya adalah akhlaq yang luhur dan kemanfaatannya terhadap sesama.

“Wahan niku, kedonyan lan wedi mati”

Thus, istilah wahan dikenalkan oleh Nabi Muhammad Saw, yakni khubbu al-dunya wa karohiyatu al-mauti, adalah cinta dunia dan takut mati. Ketika virus wahan sudah mewabah ke seantero umat yang terjadi adalah fenomena-fenomena tadi.

Islam tidak mengkritik sikap muslim yang bergelimpangan harta. Tapi ini adalah pukulan bagi pecinta dunia. Emang beda? Bergelimpangan harta dan tidak mencintai dunia itu layaknya juru parkir yang dirinya dikelilingi kendaraan namun dirinya sama sekali tidak pecinta kendaraan, sebab ketika kendaraan tadi diambil oleh yang punya ia rileks aja.

“Obate virus niki nopo Pakde”

“Virus niki saget sitik-sitik ical, lamun kito purun ziaroh kubur lan gelem mikir-mikir bilih kito sedoyo bade sowan tumuju Allah Swt”[4]

Ziaroh kubur pada awalnya sempat dilarang oleh Nabi, sebab dikhawatirkan menjerumuskan keimanan para sahabat. Namun ketika Nabi melihat kondisi keimanan para sahabat semakin kuat, ziarah kubur diperbolehkan oleh Nabi. Ziarah kubur diharapkan Nabi supaya menjadi bahan renungan bagi muslim bahwa suatu waktu juga akan menyusul ke kuburan. Pergi ke kuburan jika bertujuan meminta pertolongan kepada yang dikubur adalah musyrik. Dan Allah tidak mengampuni dosa musyrik[5]. “Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”[6]

“Oo njih Pakde, kok akhir-akhir niki enten fatwa babagan keharaman merayakan tahun baru Masehi, mungguwing panjenengan pripun Pakde”

“Hukum haram lan halal meniko sampun jelas Kang, al-haromu bayyinun wal halalu bayyinun, ingkang haram niku babagan ingkang dipun larang kalian syariat. Misale miras, madon, maling lan lintu-lintune. Lajeng, yen babagan budaya selama mboten nabrak syariat Islam mboten haram”

Merayakan tahun baru masehi menurut Prof. Dr. Mahfud MD sama hal dengan menonton sepak bola, dimana didalamnya tidak ada ritual. Bermain sepak bola juga bukan dari qoum muslim, tapi itu diperbolehkan sebab didalamnya hanya perayaan suka-suka aja.

Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang berserah diri.[7]

Tagged
#Tahun baru 2018, # menjadi muslim kaffah, #Nabi pun heran








[1] Hadits ini saya cuplik dari Syarah Al-Hikam, hlm 7,
[2] QS. Al-Baqoroh [2]: 168
 يٰٓأَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا۟ مِمَّا فِى الْأَرْضِ حَلٰلًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا۟ خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِ ۚ إِنَّهُۥ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ :١٦٨

Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.
[3] QS. An-Nisa` [4]: 150
 إِنَّ الَّذِينَ يَكْفُرُونَ بِاللهِ وَرُسُلِهِۦ وَيُرِيدُونَ أَن يُفَرِّقُوا۟ بَيْنَ اللهِ وَرُسُلِهِۦ وَيَقُولُونَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ وَيُرِيدُونَ أَن يَتَّخِذُوا۟ بَيْنَ ذٰلِكَ سَبِيلًا :١٥۰

Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: "Kami beriman kepada yang sebahagian dan Kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)", serta bermaksud (dengan Perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir),

[4] Hadits : kafa al-mautu bil  al-mauidloh. Cukuplah mati menjadi petuah.
[5] QS. An-Nisa` [4]: 48
 إِنَّ اللهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِۦ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذٰلِكَ لِمَن يَشَآءُ ۚ وَمَن يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدِ افْتَرَىٰٓ إِثْمًا عَظِيمًا :٤٨
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.
[6] QS. Al-Furqon [25]: 70
 إِلَّا مَن تَابَ وَءَامَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صٰلِحًا فَأُو۟لٰٓئِكَ يُبَدِّلُ اللَّـهُ سَيِّـَٔاتِهِمْ حَسَنٰتٍ ۗ وَكَانَ اللَّـهُ غَفُورًا رَّحِيمًا ﴿الفرقان:٧۰
Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
[7] QS. Al-Ahqaf [46]: 15
وَوَصَّيْنَا الْإِنسٰنَ بِوٰلِدَيْهِ إِحْسٰنًا ۖ حَمَلَتْهُ أُمُّهُۥ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا ۖ وَحَمْلُهُۥ وَفِصٰلُهُۥ ثَلٰثُونَ شَهْرًا ۚ حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُۥ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِىٓ أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِىٓ أَنْعَمْتَ عَلَىَّ وَعَلَىٰ وٰلِدَىَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صٰلِحًا تَرْضَىٰهُ وَأَصْلِحْ لِى فِى ذُرِّيَّتِىٓ ۖ إِنِّى تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّى مِنَ الْمُسْلِمِينَ ﴿الأحقاف:١٥

Mimpi Siang Bolong Si Cewek Cantik, Menyambut tahun 2018, Mendamba Transformasi Masyarakat Yang Madani

Esai :  16

Cerita Islami, Esai Dakwah, Sabtu, 30 Desember 2017

Author : Marzuki Ibn Tarmudzi



Ngopi dan Ngaji : Berguru kepada Sang Nabi
Inna Ataa Bika tampak mondar-mondar di depan gedung fakultasnya seusai keluar kelas tadi. Siang yang cerah. Kampus masih terlihat lengang sehabis liburan. Teman-teman yang biasanya mengerubutinya juga pada belum masuk. Dari parkiran ia langsung memacu motornya keluar kampus melewati bawah KRL, sekitar satu kilo dari kampus ia memasuki Green Cafe` atau Kafe` Hijau. Sebuah Kafe yang seperti berada di tengah hutan. Di sana-sini suasananya dikondisikan laiknya di dalam hutan. Sesampai di depan Kafe`, ia begitu sumringah melihat kondisi Kafe` yang lengang. Sigap sekali ia sudah memesan minuman blueberry shake, dan kue penunda lapar  tiramisu delight, ditambah opera cake. Lalu memilih menghempaskan pantatnya di lesehan yang berada di pojok, lebih rileks sembari membuka laptopnya.


“Ni minumnya, Mbak. Kok lama nggak nongol?”, ujar waitress itu

Ina hanya tampak mengangguk dan tersenyum dengan pelayan Kafe` itu. Memang, sudah 2 bulan Ina tidak mengunjungi Kafe` itu, setelah hampir 1 bulan lebih 20 hari menikmati libur kuliahnya. Kemarin ia baru saja tiba di asrama dan hari ini adalah hari pertama masuk. Tak heran, ia masih mencium bau-bau kampung Kaligarung.

Begitu menatap laptop perempuan yang duduk di semester empat fakultas ekonomi UI, kampus Depok itu tampak lebih tenang. Cekatan mengkoneksikan laptopnya dengan wifi di Kafe` itu. Adalah sudah menjadi adatnya  ia menancapkan peralatan wireless mouse di laptopnya. Ia merasa kikuk jika mengoperasikan laptop tanpa mouse. Tangannya menggerak-gerakkan mouse dan membuka jaringan internet. Senyumnya terkembang laiknya layar terkembang di perahu yang tertempa angin. Ia membuka blog pribadinya dan mengclik create new dan jari jemarinya bergerak-gerak di atas keyboard memulai menulis :

Mengapa ya, beberapa manusia dari dulu hingga sekarang memikirkan tentang cita-cita membentuk masyarakat yang berkeadaban? Apakah itu bukti bahwa manusia adalah makhluk yang berakeadaban. Maka, akan dimarjinalkan oleh mayoritas masyarakat jika ada segelintir manusia yang berusaha membikin kisruh. Misalnya preman, freeman yakni manusia yang ngotot berjalan bebas tanpa mau mengikuti aturan masyarakat yang semestinya, dan muncullah sebutan sampah masyarakat.

Dalam sejarah pemikiran filsafat, impian pembentukan masyarakat yang berkeadaban ini juga telah digaungkan oleh Aristoteles, yang hidup kurun waktu 384-322 SM. Ia meneriakkan koinonia politike, menggambarkan masyarakat politis dan etis, yang warga negara berkedudukan sama di depan hukum. Cita-cita Aristoteles itu pun hingga hingga kini, saya rasa juga belum terwujud di negeri yang saya huni ini. Hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Kelihatan sederhana sekali cita-cita Aristoteles itu, namun hal itu adalah kunci utama terbentuknya masyarakat yang berkeadaban. Terlulu muluk memang,  memikirkan tentang swasembada pangan, menggalakkan pembangunan, mencerdaskan anak bangsa dan seterusnya, jika cita-cita Aristoteles yang kelihatan sederhana itu belum terwujud.

Pada abad 7 Masehi, di tanah Arab muncullah pemikir sekaligus penggerak yang memperjuangkan suatu masyarakat berkeadaban, yakni Nabi Muhammad Saw.  Maka, terbentuklah kota Madinah, yang dulunya kebun kurma yang luas lalu menjelma menjadi kota maju yang lebih beradab.

Pada Abad ke 17 Masehi, dalam era awal modern itu, cita-cita membentuk masyarakat yang berkeadaban juga tidak lelah diteriakkan oleh  John Locke. Di mana ia melihat berkembangnya dunia industri dan kapitalisme, ia pun berusaha melindungi kebebasan dan hak milik setiap warga negara.

Saya sebagai orang Islam lebih tertarik memahami masyarakat yang berkeadaban ditengok dari segi khazanah kekayaan Islam. Penyebutan kata ‘masyarakat” dalam bahasa arab mengacu pada beberapa istilah, yakni: ummah, qoum, syu’ub, kabilah, tha’ifah, dan jama’ah.

Khusus penyebutan ummah bagi kalangan Muslim, Al-Qur’an memberikan berbagai istilah, yaitu khoiro ummah, ummah wahidah, ummatan wasath, dan ummah muqtashidah.

Umat Islam disebut khoiro ummah atau sebaik-baik umat (QS. Ali Imron [3]: 110)[1] bilamana menjalankan beberapa fungsi sosial berupa ama ma`ruf nahi munkar. Menurut Kuntowijoyo, amar ma`ruf ini berarti melakukan gerakan transformasi Islam melalui humanisasi, dan emansipasi. Sedangkan nahi munkar bermakna liberasi atau pembebasan. Karena keduanya tak bisa dilepaskan dalam kerangka keimanan, maka tak bisa dipisahkan dari transendensi.

Penyebutan kata ummah wahidah yang berarti umat yang satu (Q.S. Al-Baqoroh [2]: 213)[2] bisa dimaknai sebagai asl-usul umat manusia. Asal-usul umat manusia ini semula adalah satu, lalu setelah terjadi perselisihan, maka Allah mengutus para Nabi sebagai pemberi kabar gembira bagi umat yang beriman dan peringatan bagi mereka yang ingkar. Dalam konteks umat Islam, indikasi ummah wahidah ini hendaknya dapat diimplementasikan pada persatuan dan kesatuan umat, suatu hal yang belakangan ini kian memudar.


Penamaan ummah wasath yang berarti umat pertengahan atau moderat, atau umat yang adil dan pilihan, agar menjadi saksi atas perbuatan manusia, dan agar Rasul (Muhammad saw.) menjadi saksi atas perbuatan kalian (Q.S. Al-Baqoroh [2]: 143)[3]. Menurut Kuntowijoyo, posisi tengah umat Islam ini dapat dilihat pada tingkat geografis dan historis, dimana secara geografis umat Islam lahir di Timur Tengah yang terletak ditengah-tengah antara peradaban Barat (Romawi) dan timur (Persia). Secara historis, sejarah klasik Islam terbukti berhasil menaklukan jajahan Romawi dan Persia, sehingga Islam bisa membentang dari Spanyol sampai India. Posisi tengah umat Islam juga tampak dari tikat budaya, dimana Islam mengambil yang terbaik dari unsur duniawi dan ukhrowi, sebagaimana hal ini tercermin dalam do’a kita sehari-hari “Robbana atina fi al-dunya hasanah wa fi al-akhiroti hasanah”.[4] Ini berbeda dengan sebagian ideologi yang secara timpang memandang sesuatu hanya dari dimensi duniawi saja, misalnya kaum materialis dan ateis, atau ukhrowi saja seperti kaum spiritualis dan idealis. Posisi keseimbangan ini masih bisa dikembangkan lebih lanjut, misalnya keseimbangan antara ilmu dan amal, jasmani dan rohani, agama dan umum, material dan spiritual, dan sebagainya. Menurut Rasyid Ridla, jika posisi tengah tersebut dijalankan oleh umat Islam maka mereka pantas menjadi saksi atas perbuatan manusia umumnya.

Tidak jauh beda dengan itu, kata ummah muqtashidah berarti umat yang lurus,sedang, pertengahan, sederhana, bertujuan, dan tidak terjebak pada titik ekstrim. Akan tetapi, rujukan um mah muqtashidah ini dalam Q.S. Al-Maidah [5]: 66 dinisbatkan kepada sub-komunitas Yahudi dan Nashrani yang memiliki Kitab Suci Taurat dan Injil. Bila diperhatikan dari segi makna kata ummah muqtashidah yang tidak jauh beda dengan ummah wasath, maka istilah tersebut dapat dipakai bagi umat Islam.

Masih ada dua lagi kata yang menunjukkan sekumpulan manusia atau masyarakat, yakni tha’ifah dan jama’ah. Tha’ifah, merupakan representasi dari kelas masyarakat, faksi atau partai tertentu yang menganut ideologi yang sama.[5] Tha’ifah bisa juga diartikan sekumpulan orang atau golongan (firqoh) yang dipersatukan oleh aliran, madzhab, ideologi atau sekte.[6] Dan jama’ah berarti kolektif atau sekumpulan orang atau sejumlah besar orang yang dipersatukan oleh kesamaan tujuan.

Lantas, bagaimana kondisi bangsa Indonesia kini supaya lebih berkeadaban? Konsep masyarakat berkeadaban dalam khazanah Islam, mungkin tidak jauh beda dengan yang diucap Dato Seri Anwar Ibrahim pada 26 september 1995  silam di Masjid Istiqlal Jakarta, tentang masyarakat madani. Beliau mendamba sistem sosial yang subur yang diasaskan pada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat.

Perihal penamaan masyarakat madani ini, saya pernah bertanya kepada Pakde Waringin. Namun beliau malah menjawab layaknya pelawak.

“Masyarakat madani atau madhani? Kalau masyarakat madani, berarti masyarakat yang suka mengejek. Tapi kalau masyarakat madhani, itu madhani masyarakat yang mana?”

Dalam bahasa jawa madani artinya memang menjuluki. Sedangkan madhani artinya menyamai. Namun jawaban Pakde Waringin itu, bagi saya seperti sekam dalam api yang terus bergelora dalam pikiran. Iya sih? Masyarakat madani itu madhani yang mana?

Tentu saja kata “madani” akan meloncatkan pikiran saya ke suatu kota yang terletak di negeri yang banyak ditemui padang pasir, Arab Saudi sana, kota Madinah. Sebuah daerah yang awalnya bernama Yatsrib, kemudian yang ditransformasi oleh Nabi Muhammad Saw, menjadi kota yang adiluhung, kota yang bersinar bak lampu yang memancarkan cahaya dimalam hari : Madinah Al-Munawwaroh.

Thus, suatu negeri yang memimpikan masyarakat yang madani harus memotret Madinah. Yakni suatu negeri yang damai, aman, sejahtera. Secara fisik mempunyai pembangunan yang lebih tertata rapi dan berkeadaban. Penduduknya punya semangat keagamaan dan mempererat ukhuwah islamiyah. Dan yang terakhir seperti yang diimpikan Aritoteles yakni penegakan supremasi hukum.

Apakah negara Indonesia sudah layak dijuluki suatu masyarakat yang madani? Menurut saya Indonesia sedang berproses menuju masyarakat yang madani. Atau mungkin, masyarakat seperti itu hanyalah masyarakat dalam idealisme saja? Ah, saya memang tengah dilanda pesimisme akhir-akhir ini. Maksud saya mungkin, tak ada gading yang tak retak, tidak ada suatu negeri yang sempurna tanpa kritik.

Maka, berproses menuju masyarakat yang idealisme itu memang dibutuhkan beberapa pilar: Lembaga swadaya Masyarakat yang berfungsi memperjuangkan aspirasi masyarakat dan empowering, pemberdayaan terhadap masyarakat. Kedua pers, sebagai social control yang dapat menganalisa dan mempublikasi kebijakan pemerintah. Ketiga adalah peran civitas akademika dalam mengeluarkan kritik dan saran terhadap kemajuan negeri. Keempat, ketundukan setiap warga negara terhadap aturan negara. Kelima, keberadaan partai politik sebagai kendaraan menyalurkan aspirasi.

“Hey Mbak Ina, kapan datang?”

Sekonyong-konyong Ina dikagetkan sapaan. Ia menoleh dan membalas sapaan itu. Mereka berdua bercakap sebentar lalu cewek yang kelihatan temannya itu berpamitan mau pesan makanan dulu. Tampak cewek teman Ina itu beranjak dan Ina dalam lirih berujar: Untung tulisanku udah bisa dibilang klimaks. Uh!

(Ya Allah Ya Gusti, jadikanlah hambamu ini sebagai hamba yang saleh)

Tag:
Masyarakat madani, masyarakat beradab, Indonesia baru,




[1] QS. Ali Imron [3]: 110
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّـهِ ۗ وَلَوْ ءَامَنَ أَهْلُ الْكِتٰبِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُم ۚ مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفٰسِقُونَ :١١۰

[2] Q.S. Al-Baqoroh [2]: 213
كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وٰحِدَةً فَبَعَثَ اللهُ النَّبِيِّۦنَ مُبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ وَأَنزَلَ مَعَهُمُ الْكِتٰبَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيمَا اخْتَلَفُوا۟ فِيهِ ۚ وَمَا اخْتَلَفَ فِيهِ إِلَّا الَّذِينَ أُوتُوهُ مِنۢ بَعْدِ مَا جَآءَتْهُمُ الْبَيِّنٰتُ بَغْيًۢا بَيْنَهُمْ ۖ فَهَدَى اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لِمَا اخْتَلَفُوا۟ فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِهِۦ ۗ وَاللهُ يَهْدِى مَن يَشَآءُ إِلَىٰ صِرٰطٍ مُّسْتَقِيمٍ :٢١٣

[3] Q.S. Al-Baqoroh [2]: 143
وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا۟ شُهَدَآءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا ۗ وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِى كُنتَ عَلَيْهَآ إِلَّا لِنَعْلَمَ مَن يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّن يَنقَلِبُ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ ۚ وَإِن كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللهُ ۗ وَمَا كَانَ اللهُ لِيُضِيعَ إِيمٰنَكُمْ ۚ إِنَّ اللهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَّحِيمٌ :١٤٣

[4] Q.S. Al-Baqoroh [2]: 201
وَمِنْهُم مَّن يَقُولُ رَبَّنَآ ءَاتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى الْءَاخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ :٢۰١

[5] Lihat Q.S. Ali Imron [3]: 69
وَدَّت طَّآئِفَةٌ مِّنْ أَهْلِ الْكِتٰبِ لَوْ يُضِلُّونَكُمْ وَمَا يُضِلُّونَ إِلَّآ أَنفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ :٦٩

[6] Lihat Q.S. Al-Hujarot [49]: 9.
وَإِن طَآئِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا۟ فَأَصْلِحُوا۟ بَيْنَهُمَا ۖ فَإِنۢ بَغَتْ إِحْدَىٰهُمَا عَلَى الْأُخْرَىٰ فَقٰتِلُوا۟ الَّتِى تَبْغِى حَتَّىٰ تَفِىٓءَ إِلَىٰٓ أَمْرِ اللَّـهِ ۚ فَإِن فَآءَتْ فَأَصْلِحُوا۟ بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوٓا۟ ۖ إِنَّ اللَّـهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ ﴿الحجرات:٩

Munajat Si Satpam Ganteng, Formulasi Kemesraan dengan Allah Ta’ala, antara Do’a dan Ijabah.

Esai 16
Cerita Islami, Esai Dakwah, Sabtu, 30 Desember 2017
Author : Marzuki Ibn Tarmudzi

لا يكن تأخر أمد العطاء مع الالحاح في الدعاء موجبا ليأسك ؛ فهو ضمن لك الاجابة فيما يختاره لك لا فيما تختار لنفسك ؛ وفي الوقت الذي تريد
“Janganlah karena keterlambatan datangnya pemberian-Nya kepadamu, saat engkau telah bersungguh-sungguh dalam berdo`a, menyebabkan engkau berputus asa; sebab Dia telah menjamin bagimu suatu ijabah (pengabulan do`a) dalam apa-apa yang Dia pilihkan bagimu, bukan dalam apa-apa yang engkau pilih untuk dirimu; dan pada waktu yang Dia kehendaki, bukan pada waktu yang engkau kehendaki.” (Al-Hikam Pasal 6) 




Ngopi dan Ngaji : Berguru kepada Sang Nabi
Seorang satpam ganteng gagah sedang berjaga di pos depan milik Bank besar di negeri ini : Bank Qothan. Dengan wajah yang mecucu[1] laiknya emak-emak sehabis kecopetan di angkot. Matanya melotot mengawasi kendaraan masuk keluar dari halaman Bank itu.

Meski fokus  berjaga ia masih sempatkan sering-sering menatapkan wajahnya pada rumah sederhana di depan tempat dinasnya, di seberang jalan itu. Entah, apa yang dipikirkan. Rumah sederhana itu memang nampak suwung[2] lama sekali. Terlihat dari kaca-kacanya yang berdebu, halamannya yang berserakan daun-daun mangga karena ada pohonnya di depan rumah itu.

Sore hari ia pulang menempati asrama dengan luas kamar 4x3 M, sempit dan sederhana yang di tempati bersama istrinya. Tukang becak di depan Bank itu mengisahkan, bahwa satpam itu baru tiga bulan menikah dan menempati asrama itu.

Baca Artikel Lain:

Keesokan harinya, si satpam itu nampak sekali senyumnya terkembang. Berbeda dengan hari kemarin yang suram. Dan masih si satpam itu sering-sering memperhatikan rumah di depan itu. Namun, memang ada yang beda dengan rumah itu. Hari ini rumah di depan itu bertuliskan : RUMAH INI DI JUAL HUBUNGI SUDIRMAN. TELP : 0812319992XX.  Mungkin, memang itulah penyebab munculnya senyuman itu. Nampak sekali senyuman itu penuh tafsir bagi yang memperhatikannya : senyuman itu senyum penuh harap rumah itu bisa di belinya. Pandangan girang itu menandakan berharap ia dan istrinya bisa menempati rumah itu.

Matahari pelan namun pasti  naik dan mulai condong ke barat. Si satpam itu terkesiap mendengar suara adzan dhuhur. Melihat kondisi pengunjung sepi. Ia pun sholat dhuhur di mushola kecil di sebelah posnya itu. Seusai sholat si satpam itu berjalan gagah laiknya tentara yang mengokang senapan laras panjang. Berhenti di tengah halaman. Berdiri mengangkang laiknya petinju Muhammad Ali berdiri di tengah ring menunggu lawannya muncul dari balik tirai. Celingak-celinguk melihat pengunjung masih sepi ia datengin  rumah sederhana di depan tempat dinasnya itu, laiknya perjaka yang menyamperi prawan di ujung jalan yang duduk sendirian. Si satpam itu berdiri di depan rumah sederhana itu dengan senyuman santun sembari menengadah tangannya dan sayup-sayup terdengar dari bibirnya : “Ya Allah Ya Gusti, dengan kuasa Mu dan izin Mu saya bermohon semoga rumah yang ada di depanku ini bisa saya beli. Amin”

Si satpam itu bertolak menuju posnya. Senyuman itu masih terus terkembang, seperti memberitahukan kepada semua orang bahwa ia sudah meminta kepada Sang Raja Di Raja Alam Semesta, jika rumah itu sudah saya pesan.

Hari demi hari. Minggu berganti menjadi bulan dan terus berganti. Sudah 6 bulan hampir setiap hari si satpam itu memanjatkan do’a kepada Yang Maha Kuasa. Namun senyum si satpam itu makin hari mulai makin menciut. Optimisme untuk memiliki rumah tipe S3[3] itu makin tipis. Gaji bulanan rasa-rasanya hanya cukup untuk menutup lubang bulan kemarin. Sementara gaji bulanan hanyalah satu-satunya pemasukan.

Suatu hari di pekarangan rumah yang sangat sederhana sekali itu ada mobil honda jaz. Di sana tampak tiga orang lelaki: satu bersarung dan yang dua berpenampilan necis dengan kaos oblong. Hampir satu jam mereka hilir mudik di rumah itu. Dan mobil itu meninggalkan rumah itu, dan hanya lelaki bersarung itu yang tampak.

Di depan rumah itu, di seberang jalan tampak si satpam itu lari tergopoh-gopoh mendatangi lelaki bersarung itu. Ia ingin membuang rasa penasaran dan mengklarifikasi kejadian yang dia lihatnya. Lelaki bersarung itu tampak mempersilahkan duduk satpam itu dan mengatakan, bahwa dirinya adalah pemiliki rumah itu dan menjelaskan bahwa kedua orang tadi hendak membeli rumahnya. Namun karena tiada kecocokan harga akhirnya memutuskan tidak jadi membeli. Dirinya hanya menawarkan 450 Juta.

Tampak si satpam berpamitan untuk kembali ke pos. Ia berjalan dengan senyuman yang mulai mengembang lagi. Ia ingin menyampaikan kepada alam bahwa rumah itu pasti akan menjadi miliknya karena do’a-doa yang telah dipanjatkan setiap hari. Ia sangat yakin sebentar lagi rumah itu akan menjadi miliknya. Buktinya tawar menawar dua orang tadi tidak menemukan deal. Do’a itu pasti terkabul, ucapnya dalam senyuman[4]. Meskipun uang tabungan belum ada. Ia optimis mu`jizat itu ada. Ia yakin kalau Allah berkehendak maka tinggal : Kun fayakun[5].

Bulan berganti bulan. Tahun berganti tahun. Sudah tiga tahun semenjak dua orang itu gagal menawar rumah itu, dan rumah itu masih masih saja menjadi pemandangan gratis bagi si satpam itu. Fantastiknya, si satpam itu makin mengenal Tuhannya. Ia tetap tersenyum optimis do’anya itu tidak akan sia-sia. Dalam senyuman optimis itu, si satpam berbisik mesra kepada Tuhannya: “Ya Allah Ya Robb, dengan izin dan kuasamu berilah hamba ini kesabaran selalu menunggu jawaban dari do’a-do’a hamba”

Satu bulan kemudian, rumah sederhana di depan Bank itu akhirnya memiliki tuan baru. Pemilik baru itu bernama ternyata tetangga dari pemilik lama. Ia jenis orang kaya baru yang bekerja di perkapalan. Konon, orang itu tanpa berbelit menawar rumah itu dan cepat mencapai mufakat harga.

Pagi itu si satpam baru saja tiba di pos kerjanya. Ia masih belum memperhatikan kondisi rumah di depan itu. Tampak lincah sekali si satpam itu bersih-bersih pos dan mencabuti rumput liar di halaman. Hampir se jam ia hilir mudik bersih-bersih sembari mengawasi dan tersenyum ramah dengan pegawai bank itu. Di kursi panjang depan gerbang itu, ia hempaskan tubuhnya sebentar meluruskan tulang-tulangnya. Ia arahkan matanya pada rumah di depan itu. Dan matanya melotot kaget seperti kucing bersantai lalu melihat anjing lewat di depannya. Ia melihat rumah itu sudah bersih terawat dan di teras rumah itu tampak dua anak berlarian dan lelaki separuh baya duduk membaca koran sembari jari-jari tangan kanannya memain-mainkan sebatang rokok. Tukang becak yang nongkrong di depan bank itu mengabarkan bahwa orang itu pemilik baru rumah itu.

Baca Artikel Lain:

Si satpam itu menuju ke pos masih dengan semangat dan senyum yang terkembang. Di depan pos itu ia berdiri gagah mengawasi pengunjung yang berseliweran datang pergi bak lalat-lalat warung yang wira-wiri menghinggapi makanan. Dalam nada lirih si satpam berucap : “Ya Allah Ya Robbi, jikalau memang rumah itu bukan untukku. Aku sudah cukup senang bisa bermunajat intim dengan Engkau. Wujud kasih sayang Engkau pada hamba ini pastinya tidak seperti dugaan semut pada samudra. Ya Allah, sebenarnya Engkau mau memberikan rumah itu padaku atau tidak, itu tidak penting, Ya Allah,yang terpenting  bagiku adalah Engkau tidak marah bagiku. In lam takun ‘alaiyya ghodhobun fala ubali”

Setahun kemudian, satpam gagah itu sudah tidak terlihat lagi berdinas di Bank itu. Penuh teka-teki: Apakah satpam itu kini bunuh diri karena tidak tercapai mimpinya membeli rumah itu? Apakah si satpam itu pulang kampung saja dan menjadi kuli batu, daripada setiap hari sakit hati harus memandangi rumah itu dimiliki orang? Apakah si satpam itu dipecat dari tempat kerjanya karena makin senewen, kerjanya amburadul karena ambisinya yang tak kesampaian itu? Atau, jangan-jangan ia dijebloskan ke penjara gara-gara berbuat anarkis dengan pemiliki baru rumah itu? 

Selidik punya selidik, tukang becak yang biasa ngetime di depan Bank itu mengisahkan setelah tujuh hari rumah di depan bank itu terjual, si satpam itu diangkat menjadi kepala satpam tingkat provinsi membawahi satpam-satpam seluruh jawa timur. Kini, ia bergaji tinggi ditambah tunjangan jabatan, belum lagi fasilitas perusahaan yang ia terima, rumah, mobil dan beasiswa untuk anak-anaknya. Tukang becak mengisahkan juga bahwa kenaikan jabatan yang ia terima itu karena prestasinya menggagalkan perampokan oleh sekelompok orang bersenjata. Satpam itu membekuk sendirian kawanan perampok itu dengan kesaktian yang ia pelajari ketika berguru di kampungnya dulu.

Di akhir kisah si satpam itu di simpulkan : “Janganlah karena keterlambatan datangnya pemberian-Nya kepadamu, saat engkau telah bersungguh-sungguh dalam berdo`a, menyebabkan engkau berputus asa; sebab Dia telah menjamin bagimu suatu ijabah (pengabulan do`a) dalam apa-apa yang Dia pilihkan bagimu, bukan dalam apa-apa yang engkau pilih untuk dirimu; dan pada waktu yang Dia kehendaki, bukan pada waktu yang engkau kehendaki.” (Al-Hikam Pasal 6) 

(Ya Allah Ya Robbi, berilah hambamu terangnya hati, ketetapan iman, selamat dunia dan akhirat)

Incoming  Search:
# Do’a dan terkabulnya do’a # kapan terkabulnya do’a # kenapa do’a tak kunjung terkabul # menunggu jawaban do’a




[1] Mecucu : lawan dari tersenyum
[2] Suwung : Tak berpenghuni
[3] Rumah tipe S3: Sangat Sederhana Sekali.
[4] Baca QS. Al-Baqoroh [2]: 186
 وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِى عَنِّى فَإِنِّى قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا۟ لِى وَلْيُؤْمِنُوا۟ بِى لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ :١٨٦

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.
[5] QS. Yasin[36]: 82
إِنَّمَآ أَمْرُهُۥٓ إِذَآ أَرَادَ شَيْـًٔا أَن يَقُولَ لَهُۥ كُن فَيَكُونُ ﴿يس:٨٢

Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" Maka terjadilah ia.


Buta Mata Hati, Renungan di kaki bukit Kendeng

Esai : 15

Esai Dakwah, Jum’at 29 Desember 2017

Author : Marzuki Ibn Tarmudzi

اجتهادك فيما ضمن لك، وتقصيرك فيما طلب منك، دليل على انطماس البصيرة منك
“Kesungguhanmu pada apa-apa yang telah Dia Ta’ala jamin bagimu, dan kelalaianmu pada apa-apa yang Dia Ta’ala tuntut darimu, merupakan bukti atas lenyapnya bashiroh[1] darimu!” (Al-Hikam Pasal 5)



Ngopi dan Ngaji : Berguru kepada Sang Nabi
Paklik Sumantri menambahkan bahwa  kemarin sore Pakde Waringin, yang datang kerumahnya itu mengeluhkan tentang Intimashil Bashiroh, yang marak di tengah-tengah riuh-rendahnya masyarakat.

Intimashil Bashiroh adalah mereka yang bangun pagi di perantauan untuk banting tulang mencari uang di suatu Perusahaan, yang rela lembur hingga tengah malam demi menafkasi keluarga dan menyekolahkan anaknya di PTN. Ia bersungguh-sungguh mengumpulkan rupiah demi rupiah. Ia kirim uang itu ke keluarganya dan sebagian ia tabung di bank demi masa depan keluarganya. Namun ia sembrono dalam menjalankan ibadah kepada Allah Swt. bahkan tak malu melanggar kewajiban dari Allah Ta’ala yang telah  memberinya jasmani, rohani. Tentu saja mereka-mereka yang proporsional dalam hidupnya adalah orang-orang sholeh.

Intimashil Bashiroh adalah mereka-mereka yang berdagang di pasar, yang melayani pembeli dengan senyum, sapa, santun. Yang harus memutar otak demi menjaga keuangan keluarga, yang bersabar jika pembeli rewel, yang memainkan retorika jika debtcolector mendatanginya, yang tidak sungkan-sungkan memainkan timbangan demi meraih untung yang lebih, yang harus teliti dengan barang dagangannya, yang harus sabar jika tidak mendapat pembeli, yang harus sabar menghadapi pengamen-pengamen pasar. Namun mereka lalai dalam menjalankan perintah Allah Swt. Tentu saja mereka-mereka yang proporsional dalam hidupnya adalah orang-orang sholeh.

Baca Esai Lain:
Esai 001 : Muslim Jaman Now, Bukan Meniru Setya Novanto
 Esai 002 : Hidung Pesek Dan Balancing
Esai 003 : Belajar Jurus Untuk Menjaga Diri Bukan Membela Diri


Intimashil Bashiroh  adalah mereka yang usaha keras  menjadi kepala desa. Ia jual sawahnya demi meraup suara. Yang rela blusukan ke gang-gang melihat kondisi penduduk. Ketika melihat pengangguran tiduran di gardu ia janjikan : Nanti kau garap sawah saya yang disana itu, tapi sukseskan saya. Ketika melihat penduduk yang kekurangan air ia tawarkan : Nanti saya belikan pompa air terbaru, tapi jangan lupa ya. Ketika melihat penduduk yang pembangunan rumahnya masih mangkrak ia tawarkan : Nanti ambil saja semen di rumah saya, tapi jadikan saya lurah ya. Ya, seperti memperjuangkan masyarakat, sekilas layaknya kholifah Umar bin Khotob yang fantastic dalam memperjuangkan grass root. Tapi, ia tak segan-segan ketika tidak terpilih menjadi lurah : Mereka berani membentak anak-anak yatim. Bahkan berani memakan harta anak yatim. Sementara ia tahu, itu adalah hal yang durjana. Tentu saja mereka-mereka yang proporsional dalam hidupnya adalah orang- orang sholeh.

Intimashil Bashiroh adalam mereka-mereka yang bergerilya mencari aliran air demi kecukupan air di sawahnya supaya bisa bertanam. Ketika bibit-bibit padinya sudah menancap, ia tetap menatap jeli dari keong-keong yang siap memangkas tanamannya. Ketika tanaman padi sudah mulai kekuningan, petani  seharian bisa tidak pulang demi menjaga tanaman padinya di sawah dari serbuan burung emprit. Ia jaga tanaman itu supaya meraih panen yang melimpah. Sehabis makam malam pun, ia ikhlas berangkat lagi ke sawah menjaga kedaulatan sawahnya dari invasi tikus. Ia kitari sawahnya dengan siaga sembari membawa pentungan laiknya tentara yang berjaga di pulau darurat militer. Mereka-mereka memang pekerja keras namun lalai dari apa yang Allah Ta’ala perintahkan kepadanya. Tentu saja mereka-mereka yang proporsional dalam hidupnya adalah orang- orang sholeh.

Intimashil Bashiroh adalah mereka-mereka yang pengais berita yang melaksanakan tanggungjawabnya untuk demokrasi bangsa ini. Mereka ada yang ikhtiar keras bertugas di pelosok-pelosok daerah. Mengabarkan tentang fenomena masyarakat di tiap-tiap koridor daerah terpencil yang sulit dijangakau orang pusat. Bahkan, berani bertaruh nyawa mengontrol sosial seperti mengawasi pejabat tamak, mengawal kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat, menyampaikan ide-ide besar demi tumbuh kembangnya negeri dari master-master politik, dosen dll. Namun ikhtiar besar tidak tidak dibarengin fokus terhadap tuntutan Allah. Tentu saja mereka-mereka yang proporsional dalam hidupnya adalah orang- orang sholeh.

Intimashil Bashiroh adalah mereka-mereka yang bekerja keras syuting film untuk kejar tayang. Mereka dipaksa harus tersenyum di depan kamera padahal jasmani  sedang payah setelah beberapa hari belum istirahat cukup. Mereka yang memaksa dirinya tersedu-sedu di depan kamera demi keinginan tercipatanya senyum keluarga. Mereka yang tak tanggung-tanggung harus total beradegan suatu cultural gesture yang paradoks dengan pribadinya, yang tentu harus terjun dalam budaya itu. Mereka yang harus menampakkan santun di depan fans demi terciptanya kelancaran sebagai public figure. Mereka yang harus bersabar ketika di bully oleh haters. Ya mereka memang pekerja keras tapi lalai terhadap perintah Allah. Tentu saja mereka-mereka yang proporsional dalam hidupnya adalah orang-orang sholeh.

Baca Esai Lain :
Esai 004 : Indonesia dan Khilafah
Esai 005 : Fundamentalisme Badar
Esai 006 : Havana, ! Fuck you trump

Daripada harus menuliskan sampai tahun depan tentang penambahan Paklik Sumantri itu, mendingan mencatat kesimpulan dari Paklik Sumantri : Intimashil Bashiroh atawa buta mata hatinya adalah kesungguhan mencari duniawi yang dibarengi dengan kesembronooan dalam menjalankan perintah Allah Ta’ala. Padahal mafhum bagi semua orang: rejeki, jodoh, mati itu kuasa Allah Ta’ala.

Manusia boleh saja menolak perintah dari orang yang tak di kenalnya, semisal di terminal ada orang yang menyuruh mengangkatkan barang, boleh menolaknya dengan banyak alasan. Tapi perintah dari orang dikenal, Allah Pencipta alam semesta, kok berani ngeyel, nolak itu kan jelas telah buta mata hatinya.

Kerja keras itu perintah, tapi sholat dan perintah lain itu juga tuntutan: “ Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.  Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.  Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah: "Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan", dan Allah Sebaik-baik pemberi rezki.[2]

(Ya Allah, hamba berusaha menyampaikan ayat-ayat Mu, dengarkanlah do`a hamba)


Incoming Search:
# Menjadi Muslim Sholeh # Muslim Proporsional # Dunia dan Akhirat # Vertikal Horisontal


[1] Bashiroh adalah istilah teknis agama untuk “mata hati” yang memiliki fungsi spesifik.
[2] QS. Al-Jum’ah [62]: 9-11

يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا نُودِىَ لِلصَّلَوٰةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا۟ إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّـهِ وَذَرُوا۟ الْبَيْعَ ۚ ذٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ ﴿الجمعة:٩
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَوٰةُ فَانتَشِرُوا۟ فِى الْأَرْضِ وَابْتَغُوا۟ مِن فَضْلِ اللَّـهِ وَاذْكُرُوا۟ اللَّـهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ﴿الجمعة:١۰
وَإِذَا رَأَوْا۟ تِجٰرَةً أَوْ لَهْوًا انفَضُّوٓا۟ إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَآئِمًا ۚ قُلْ مَا عِندَ اللَّـهِ خَيْرٌ مِّنَ اللَّـهْوِ وَمِنَ التِّجٰرَةِ ۚ وَاللَّـهُ خَيْرُ الرّٰزِقِينَ ﴿الجمعة:١١
9. Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli[1]. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
10. Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.
11. Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah: "Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan", dan Allah Sebaik-baik pemberi rezki.

[1] Maksudnya: apabila imam telah naik mimbar dan muazzin telah azan di hari Jum'at, Maka kaum muslimin wajib bersegera memenuhi panggilan muazzin itu dan meninggalakan semua pekerjaannya.


Tentang penulis :

Marzuki Ibn Tarmudzi, pernah mencicipi sedikit segarnya lautan ilmu di Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang, Jawa Timur. Hobinya yang suka nyorat-nyoret kertas ini dimulai semenjak nyantri. Kini, hobinya itu dituangkan di berbagai media online, itung-itung sebagai aksi dari ; “بلغوا عني ولو أية “,” sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat ”.