ILMU IKU KALAKONE KANTI LAKU



By: Marzuki Bersemangat
Pahit dan manis begitulah rasa coklat yang lebih di identikkan dengan cinta. Serupa dengan kopi yang disebut ni’mat merupakan akumulasi pahit dan manis. Dan, setiap manusia punya cinta-punya manis dan pahit. Tentu tak lepas aku: kepahitan dalam sebuah percintaan terletak bukan pada sebab obyek permasalahan besar dan kecil. Namun ego cinta itu sendiri: ingin memiliki sepenuhnya. –“Emang u tkut y… mobilX hlang, mnding g’ usah y.. ke rumhQ”- SMS itu menggetarkan semua hal yang ada di Masjid Darus Salam, tempat aku sedang membaca Al-Qur’an. Huruf-huruf hijaiyah itu membuatku lebih tegar untuk mengingat SMS dia (her) atas sebuah kesalah pahaman.
Mengapa dalam prolog tadi saya awali dengan pembicaraan cinta? Pertama, memasukkan anda untuk mengikuti tulisan saya. Cinta adalah problem yang sangat universal, begitu juga freedom yang sangat menarik untuk setiap orang menyimak. Kedua, untuk mendapatkan seorang perempuan saja, saya (mewakili manusia) memerlukan perjuangan, yang secara perbandingan “al-mar’atu wal-ilmu” lebih tinggi al-ilm (baca: ilmu)
Orang jawa mengatakan ilmu kalaku kanti laku atau ilmu iku kalakone kanti laku (pencapaian ilmu itu melalui proses belajar) laku atau proses itu bisa dalam hitungan bulan, tapi bisa juga dalam hitungan tahun. Substansi dari pesan itu adalah, tidak ada ilmu yang dapat dipetik begitu saja tanpa melalui proses.
Saya masih teringat dengan cerita Mbah saya di kampung saya, yang sampai akhir 1980-an masih mengenal tradisi meguru (mencari guru) yang dilakukan oleh anak-anak muda (laki-laki) yang menginjak dewasa. Setiap laki-laki setelah sunat (waktu itu sunat dilakukan pada usia antara 15-18 tahun) dan sebelum menikah, mereka mengisi jiwanya dengan berguru kepada seseorang yang dianggap mempunyai ilmu. Ilmu yang mereka cari bukan ilmu kekebalan tubuh, melainkan ilmu yang mereka anggap berguna untuk bekal hidup sebagai petani, seperti ilmu mengusir hama, mengusir bala, bencana, dan sejenisnya. Dalam proses pencarian ilmu itu, mereka melalui berbagai tahapan, seperti puasa senin-kamis selama tujuh kali, puasa mutih (tidak makan garam) dan ngrowot (hanya makan umbi-umbian, bukan nasi dan sayuran saja), masing-masing tiga hari, lalu hidup di hutan selama tujuh hari tujuh malam. Setelah itu baru katam (tamat), yang ditandai dengan selamatan. Sebelum katam, pada malam ketujuh setelah tidur di hutan itu, ilmu mereka dicoba dulu dengan cara mereka diminta membawa satu ikat kayu bakar yang cukup banyak, lalu setelah sampai dirumah disuruh meletakkan dengan cara dibanting, entah orang yang didalam rumah mendengar bantingan tersebut atau tidak. Bila mendengar, yang bersangkutan dinyatakan sudah katam dan esok paginya baru selamatan yang ditandai dengan nasi ingkung, yaitu nasi uduk dengan ayam kampung. Bagi yang belum katam, mereka diwajibkan mengulang lagi dari awal, bersama-sama dengan anak muda lain pada angkatan berikutnya (thank 4 Darmaningtyas).
Saya masih teringat pernah membaca tulisan Darmanintyas, di Kompas 2 Mei 2004, tentang jungkir baliknya mendapatkan gelar Doktor sungguhan (maksudnya bukan Doktor Honoris causa maupun lainnya). Mereka memerlukan waktu empat sampai delapan tahun dengan kerja keras siang dan malam. Dalam buku “Wong Jawa Timur Berpengaruh”, Bapak Soekarwo menceritakan sempat frustasi ketika menempuh program doktoral. Namun beruntung Istri beliau Hj. Nina Kirana, Dosen di Universitas dr Soetomo (UNITOMO) Surabaya, yang mampu menyulutkan semangatnya. Sang istri selalu meniupkan asa, agar dirinya tak mudah putus asa. Dan sang istrilah yang membantu menerjemahkan literature disertasinya yang mencapai 302 buku, untuk meraih ilmu hukum di UNDIP.
Belajar dari anak-anak muda di kampung saya yang secara tekun mau menjalani proses berguru itulah yang membuat saya terkesima, begitu pula para pencari gelag doctor sungguhan yang belajar siang-malam, berbulan-bulan, bertahun-tahun. Namun sungguh ironis, ketika melihat pelajar dan mahasiswa sekarang memperlakukan ilmu sebagai produk dan kurang menghargai proses. Berdasarkan informasi mahasiswa yang memiliki IP tinggi, rata-rata system pembelajarannya lebih terfokus pada mekanisme pembahasan soal-soal ujian tahun-tahun sebelumnya. Akibatnya, setelah lulus, meskipun IP tinggi, mereka bingung mencari pekerjaan atau tidak menguasai pengetahuan diluar yang mereka pelajari. Alias kuper. Dan, akan sakit para doktor sungguhan dengan adanya praktek jual-beli gelar doctor yang marak (diperbincangkan) beberapa tahun lalu. Mereka sakit lantaran kerja kerasnya bertahun-tahun disamakan dengan orang yang dapat membayar Rp. 1-25 juta. (24/02/2010)

Tentang penulis :

Marzuki Ibn Tarmudzi, pernah mencicipi sedikit segarnya lautan ilmu di Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang, Jawa Timur. Hobinya yang suka nyorat-nyoret kertas ini dimulai semenjak nyantri. Kini, hobinya itu dituangkan di berbagai media online, itung-itung sebagai aksi dari ; “بلغوا عني ولو أية “,” sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat ”.