Adrenalin ini rasa-rasanya tersulut-sulut lantas berkobar-kobar api motivasi ingin menjadi revolusioner sejati saat-saat mendengar putri Indonesia, yakni RA Kartini. Remaja perempuan yang tergugah jiwanya melihat lingkungan sekitar yang serba terdominasi oleh lelaki, lelaki dan lelaki. Pria, pria dan sekali lagi pria. Aturan-aturan yang tersusun sopan dari nenek moyang kemudian mengakar kuat dan seakan-akan menanggung dosa besar bila berani mengacuh, dimana perempuan hanya boleh bermimpi untuk hidup dinamis, akademis layaknya perempuan-perempuan eropa masa itu. Budaya lelaki yang seenaknya saja menikahi perempuan lebih dari satu merupakan barang yang sangat lumrah dimata Kartini, namun bukan sekali ramah di hati Kartini. Keinginan gerak kaki perempuan untuk melangkah kejenjang pendidikan tinggi, hanya memunculkan rasa iri saja, dimana laki-laki bebas menentukan arah kompas masa depannya. Adat yang memingit perempuan saat umur 14 tahun merupakan masa-masa betapa perempuan tersiksa, dimana melihat teman-teman lelakinya bisa bebas berkelana. Usai dari pingitan adalah ketika ada pria yang melamarnya dan membawanya pulang kerumah suaminya, dan bagaimanakah perasaan perempuan yang harus menikah dengan manusia yang sama sekali tak pernah dikenalnya?, dimana perempuan dituntut “sendiko dawuh” (patuh) dengan sabda-sabda suaminya. Ya, pemandangan inilah yang menggerak-gerakkan urat Kartini belia untuk mengangkat hak, kedudukan dan derajat kaumnya yang secara social dipandangnya rendah. Benih-benih yang tertanam kuat dalam jiwa kartini inipun tumbuh berkembang hingga mendirikan sekolah spesialis perempuan di tanah kelahirannya, Jepara. Walaupun duri-duri tajam bertebaran merintangi gadis manis ini, idealismenya dalam mendidik kaumnya sedikitpun tak tergoyahkan, bahkan sampai beliau menikah. Beliau ahli pikir, pemikirannya yang kritis dan menggugah pembaca ini sebagian terdokumentasi secara rapi dalam buku Dooe Duisternis Tot Licht, habis gelap terbitlah terang, berupa surat-surat kepada sahabat-sahabatnya di Belanda. Sekali lagi, Kartini merupakan pemikir, motivator, sekaligus pelopor emansipasi wanita yang dimanifestasikan dalam kegiatan sehari-harinya yang sama sekali tak pernah lepas dari perjungan; membantu rakyat kecil, meneliti problema-problema social, dan tentu saja mengejar atau mendidik putra-putri pertiwi.
Kini Indonesia berada ditahun 2010, millennium ketiga, bukan sekali menginjak tanah-tanah adat tahun 1890-an. Sekarang perempuan-perempuan telah hidup bebas terbang dengan sayap-sayap hak asasi manusia. Mereka kini telah dimanjakan dengan rupa-rupa pendidikan di universitas-universitas tinggi, perempuan karir menjamur dimana-mana dalam berbagai sub-sub pekerjaan, dan argumentasi mereka dalam memilih-memilah laki-laki sebagai pendampinya sungguh-sungguh dihargai. Dan Kartini-Kartini baru selalu muncul dan tak pernah lelah-lelahnya mereka mempermasalahkan-menimbang-memperjuangkan kesetaraan hak, kedudukan dan derajat wanita. Ya, sampai-sampai negeri loh jinawi ini telah mengizinkan dipimpin presiden perempuan, yakni ibu megawati Soekarno Putri.
Namun kartini-kartini baru ini seolah-olah ada yang lupa menekan-nekan rem pengendali batas-batas kebebasan, kalau sungguh-sungguh menentang diklaim kebablasan. Ya, betapa banyak perempuan-perempuan perkasa yang kokoh mempertahankan gengsinya hidup di ketiak suami lantas bekerja keras dan lupa walaupun hanya menyeduh secangkir teh atau kopi untuk suaminya, apalagi peduli dalam urusan-urusan seni pengelolaan “Home” dan House. (Catatan; dalam bahasa inggris memang terdapat dua kata pembahasaan rumah,”home” dan “house”. Rumah tangga biasa memakai “home”, dalam rumah, makanya lantas sering mendengar “broken home”, keretakan rumah tangga. Sedangkan “house” biasa digunakan untuk menunjukkan bentuk fisik bangunan rumah).
Nah coba telongok, begitu bertebaran mahasiswi-mahasiswi muslim, aktivis kampus yang vokal dan giat mewacanakan gender (jenis kelamin) dalam pergumulan organisasinya, ironisnya mereka mengabaikan norma-norma agama dalam interaksinya, baik sosial ataupun vertical (catatan: hubungan dengan Tuhan). Lantas apakah mereka boleh dibilang tidak mengerti, bahwa sosok Kartini yang mereka teruskan perjuangannya adalah manusia religius, yakni memegang teguh hukum-hukum agama?
Harapan penulis untuk kartini-kartini baru ini hanyalah, waspadalah untuk tetap menempelkan kaki ini diatas rem-rem pengendali! Berupa, ya “flash back” kembali meski sebentas saja kemungkinan terbesit niat-niat membengkok awal tujuan memulai perjuangan, atau membuka-buka buku, mutho’laah lagi merenungi dalam-dalam, apa makna emansipasi?
Semangat untuk merenung inilah yang selama ini bergelayut di hati penulis, menggumpal, menggumpal lalu membuncah tak tertahan lagi dan duarr! Meletus mengalirkan tinta membentuk secuil tulisan yang amat dangkal, klise dan tentu saja sektoral-partikular ini. Meskipun demikian, bukankah gerakan kecil ini lebih baik daripada tidak melakukan sama sekali? (Marzuki Bersemangat)
Kini Indonesia berada ditahun 2010, millennium ketiga, bukan sekali menginjak tanah-tanah adat tahun 1890-an. Sekarang perempuan-perempuan telah hidup bebas terbang dengan sayap-sayap hak asasi manusia. Mereka kini telah dimanjakan dengan rupa-rupa pendidikan di universitas-universitas tinggi, perempuan karir menjamur dimana-mana dalam berbagai sub-sub pekerjaan, dan argumentasi mereka dalam memilih-memilah laki-laki sebagai pendampinya sungguh-sungguh dihargai. Dan Kartini-Kartini baru selalu muncul dan tak pernah lelah-lelahnya mereka mempermasalahkan-menimbang-memperjuangkan kesetaraan hak, kedudukan dan derajat wanita. Ya, sampai-sampai negeri loh jinawi ini telah mengizinkan dipimpin presiden perempuan, yakni ibu megawati Soekarno Putri.
Namun kartini-kartini baru ini seolah-olah ada yang lupa menekan-nekan rem pengendali batas-batas kebebasan, kalau sungguh-sungguh menentang diklaim kebablasan. Ya, betapa banyak perempuan-perempuan perkasa yang kokoh mempertahankan gengsinya hidup di ketiak suami lantas bekerja keras dan lupa walaupun hanya menyeduh secangkir teh atau kopi untuk suaminya, apalagi peduli dalam urusan-urusan seni pengelolaan “Home” dan House. (Catatan; dalam bahasa inggris memang terdapat dua kata pembahasaan rumah,”home” dan “house”. Rumah tangga biasa memakai “home”, dalam rumah, makanya lantas sering mendengar “broken home”, keretakan rumah tangga. Sedangkan “house” biasa digunakan untuk menunjukkan bentuk fisik bangunan rumah).
Nah coba telongok, begitu bertebaran mahasiswi-mahasiswi muslim, aktivis kampus yang vokal dan giat mewacanakan gender (jenis kelamin) dalam pergumulan organisasinya, ironisnya mereka mengabaikan norma-norma agama dalam interaksinya, baik sosial ataupun vertical (catatan: hubungan dengan Tuhan). Lantas apakah mereka boleh dibilang tidak mengerti, bahwa sosok Kartini yang mereka teruskan perjuangannya adalah manusia religius, yakni memegang teguh hukum-hukum agama?
Harapan penulis untuk kartini-kartini baru ini hanyalah, waspadalah untuk tetap menempelkan kaki ini diatas rem-rem pengendali! Berupa, ya “flash back” kembali meski sebentas saja kemungkinan terbesit niat-niat membengkok awal tujuan memulai perjuangan, atau membuka-buka buku, mutho’laah lagi merenungi dalam-dalam, apa makna emansipasi?
Semangat untuk merenung inilah yang selama ini bergelayut di hati penulis, menggumpal, menggumpal lalu membuncah tak tertahan lagi dan duarr! Meletus mengalirkan tinta membentuk secuil tulisan yang amat dangkal, klise dan tentu saja sektoral-partikular ini. Meskipun demikian, bukankah gerakan kecil ini lebih baik daripada tidak melakukan sama sekali? (Marzuki Bersemangat)