KATARSIS


Oleh: Marzuki
Di sekolah, setiap hari otak aku diracuni oleh senyum-senyum manis Allison meski aku tak ubahnya wisatawan yang berbunga hati hanya dengan memandang saja. Allison ini sekonyong-konyong menawarkan padaku seutas tali cinta yang dilempar-lemparnya melalui gaya-gaya bicara dan gaya –gaya sikapnya. Sebagai laki-laki yang normal aku dihadapkan untuk memilih satu dari dua opsi yang rumit. Antara ketekunan belajar dan menangkap saja cinta Allison. Opsi kedua merupakan sarat risiko bagiku, karena itulah menyangkut perasaan. Bukankah perasaan menuntut peran sangat dominan dalam tapak-tapak langkah manusia? Bukankah prioritas sekolah adalah belajar dengan tekun? Namun, bukankah pacaran mampu menjadi tiang-tiang kokoh pembangkit spiritualitas belajar? Ah, otak ku selalu berkecamuk perang argumentasi yang bertendensi pada Allison.
Hari senin ini aku bangun pagi benar. Senyum Allison terus saja bergelayut di batok kepalaku meski baru bangun tidur. Seusai solat subuh rutinitasku membaca buku atau Koran sembari menunggu sampainya waktu berangkat sekolah. Namun hari ini aku parah berat. Aku hanya duduk termenung di depan rumah dan otak ini makin bereksplorasi ria data-data tentang Allison; rindu senyum manisnya, rindu merdu suaranya saat-saat bercengkerama dengan teman-temannya, rindu gaya cerdasnya mengeluarkan pendapat saat-saat diskusi kelas. Sungguh 90% bagian otak ini tersita untuk Allison.
Aku berteriak lirih pada benda-benda di sekelilingku,”Apakah ini yang namanya cinta?”
Semuanya diam. Tampak dicuekin, mukaku merah. Aku pandangi dalam-dalam rumput di depanku. Dan, rumput itu entah, entah kenapa tampak mengusirku: Hei, orang gila, pergi kau!
Aku mundur tiga langkah. Mengalah. Dan berbisik keras pada rumput menjengkelkan itu.
“Brow, apakah kau tahu, yang kurasakan ini benar-benar cinta?”
Aku terkejut. Rumput di depanku itu bergoyang-goyang, seolah-olah mau mengajak berbicara dengan bahasa tubuhnya itu.
“hai James,…”
Aku makin tercengang dengan sapaan itu.
“Cinta itu hanyalah ketegangan perasaanmu saja. Katarsis!”
Aku memperhatikan rumput itu tanpa sama sekali berkedip. Diam. Namun aku tak sependapat dengan argumen rumput itu. Bukan. Cinta bukanlah katarsis.
“James, asal kamu tahu ya, cinta yang kau alami itu melibatkan hormon-hormon seksual,……”
Rumput itu tahu kalau saya tak sependapat dengannya. Maka terus saja nyerocos meguatkan argumennya.
“Tahukah kau? Hormon testoteronnya Tejo dan hormon progesterone Surti, itu bergejolak menggerakkan aliran darah mereka berdua saat-saat bertemu”
Bingung. Sama sekali aku tak sependapat dengan argument makkhluk itu. Namun argument apa untuk menguatkan pendapatku. Aku mengerutkan dahi tanda berpikir keras. Belum aku menemukan argumen, rumput itu menggertakku dengan mengibaskan daunnya ke arahku.
“Heh! Ngapain kamu hanya bengong. Maukah kau kusebut manusia bodoh?”
“Tidak!”
Akhirnya aku berani mengeluarkan suara meski hanya satu kata saja bentuk penyangkalan. Aku tidak mau kau anggap bodoh. Kamu hanyalah rumput. Namun…
Rumput itu berbisik keras,”Dan perlu kau ingat-ingat! Ketegangan gejolak gerakan-gerakan aliran darah mereka, antara Surti dan Tejo, itu bias saja mencapai titik puncak, yakni kebosanan. Katarsis! Itulah cinta yang kau alami, hei orang bodoh!”
Aku tersentak hebat dengan kata terakhir bisikan dari makanan lezat sapi itu. Aku berupaya keras menguras otak ingin sekali membantah argument itu. Semakin aku berpikir justru rumput itu makin bergoyang-goyang menertawakan ku: Bodohnya kau orang udik!
Kini sedikit-sedikit aku mulai mengagumi sosok rumput itu. Cerdas! Aku pun jadi samar-samar mengingat salah satu lagu Ebiet G Ade yang berjudul Berita kepada kawan yang sebagian liriknya ada yang berbunyi,” Atau alam mulai enggan Bersahabat dengan kita Coba kita bertanya pada Rumput yang bergoyang. O, betapa Tuhan menciptakan makhluk-NYA pastilah membawa manfaat dan sama sekali tak boleh diremehkan. Walau hanyalah seonggok rumput. Aku berusaha menggerak-gerakkan bibir ini untuk tersenyum manis pada rumput itu namun sepertinya ada suara-suara bising yang mengganggu kemesraanku.
“James, ayo berangkat!”, teriak keras John Kimsey dari seberang jalan yang suaranya diiringi dengan menggeber gas Harley Davidsonnya.
Brooooom…..bum! Bum…broooooom….
“jaaaaames”
Broooooooom
Aku diam. Aku tahu itu panggilan kawanku, John Kimsey. Namun rasa-rasanya berat sekali meninggalkan kemesraanku bersama rumput ini. Tapi, aku tetaplah harus berangkat sekolah. Aku amat rindu pada senyum Allison. Aku harus sekolah!
“Ooooooooe hooooooe ayooooo! James”
“Oke! Sebentar, John!”
Aku menjawab panggilan John lebih cepat dari geberan gas Harley Davidson itu. Aku sudah menyiapkan semua properti sekolahku sejak bangun tidur dan telah berseragam usai shubuh. O, aku tak lupa cium tangan orang tua sebelum berangkat sekolah.
Broooooom…….bum! Bum……..broooooom
Tampaknya John kelamaan menungguku. Aku berlari kecil kearah John. Opst! Muka John merah. Tak bersahabat. Aku harus menampakkan rendah hati dan meminta maaf.
“Sory banget, John”
“Yuuuuuk, cabut!”
Broooom….. bum! Broooooom…..
Jarak tempuh ke sekolah  7 km. jarak yang relative dekat. Lha wong Harley Davidson. John Kimsey amat konsentrasi bila berkendara motor. Bagi John, seni yang membuat seluruh panca indra bekerja adalah naik motor.
Aku merasa seperti bermain ayunan dibonceng motor ini. Segar. Begitu segarnya sampai otakku terbawa mengingat kembali pada forum liar dengan rumput tadi. Cinta itu katarsis, begitulah argument rumput tadi. Aku sama sekali tak sependapat. Bagiku, cinta adalah hasil yang dicapai akibat kecenderungan naluriah. Pendapatku karena teringat waktu dulu aku mengaji. Bahwa Al-Ghozali di dalam Ihya’ Ulum Ad-din mendefinisikan cinta sebagai kecenderungan naluri kepada sesuatu yang dirasa menyenangkan dan menentramkan jiwa. Cinta bukan sama sekali hanya kekalutan atau ketegangan perasaan semata, namun cinta mampu menumbuhkan ketentraman jiwa.
Kini aku sadar niat baik rumput, betapa ia sebenarnya berupaya menyadarkanku untuk jangan terlarut dengan perasaan ini. Aku adalah siswa yang harus tekun belajar. Aku masih duduk di bangku kelas dua SMA. Masa depanku masih panjang. Memang, cinta adalah kebutuhan, tepatnya kebutuhan naluriah. Namun belajar merupakan kewajiban bagi siswa. Akupun membuat keputusan, biarkan sajalah cinta ini mengalir apa adanya mengikuti alur-alur kehidupan. Prioritasku adalah belajar.
“Turun James!”
Aku kaget. Tanpa terasa telah sampai di sekolah. Dan John Kimsey memandangku.
“Wah! Mukamu tampak pucat pasi James, sakit ya? Bagaimana kalau aku antar kamu pulang? Nanti aku sajalah yang akan urus perizinan absen kelas. Oke!”, John bersemangat.
“Memangnya aku kenapa? Wong aku sehat-sehat begini kok! uhuks..uhuks…He…..he….he….”, sembari aku berlagak layaknya lakom film popeye is sailor.
“lha begitu dong! Senyum! Cemberut saja dari tadi”
“Kawan! Sebentar ya…aku mau ada bisnis”
“loh James! Kemana?”, teriak John, tak rela kutinggal.
Aku berlari kecil ke Mushola sekolah yang berjarak 150 m dari tempat parkir. Aku mau solat dhuha dan berdo’a untuk menstabilkan gejolak hatiku. Aku tidak mau berlarut-larut otakku ter-instal oleh data-data tentang Allison. Aku ingin bangkit dari keterpurukanku. Aku rindu pada sosokku dulu yang tekun belajar. Sosok yang selalu membusungkan dada bila berjalan. Sosok yang mampu memberikan pencerahan pada teman-teman. Kini, rasa-rasanya untuk berdiri saja sulit. O, betapa cinta membuatku tak berdaya.
Aku langsung mengambil air wudhu di Mushola. Suasana mushola putra sungguh sepi. Entah, bagaimana suasana mushola putrid? Namun biasanya mushola putri lebih ramai. Ada atmosfer yang berbeda memasuki mushola ini. Hatiku lebih tenang. Gejolak cinta ini sangat pedih bila aku harus jauh dari Tuhan. Akupun sholat dhuha yang lantas aku berserah diri pada Allah Swt.
“Ya Allah, berikanlah rupa-rupa kebaikan dengan cintaku ini. Bila memang benar-benar Allison adalah jodohku, aturlah dengan system-sistem canggih-Mu. Dan bila memang bukan engkau ciptakan dari salah satu tulang rusukku, alangkah baiknya Engkau jauhkan saja perasaan cintaku pada Allison ini”
Seremonial ini sangat berarti bagiku. Bukan artinya cintaku pada Allison tenggelam. Bukan! Namun aku merasakan cintaku ini lebih membawa ketentraman jiwa.
Usai aku ritual ini suasana mushola masih tampak sepi. Aku sempatkan diri mengintip mushola putrid sebelum pergi ke kelas. Dan, tiba-tiba saja kaki ini seperti sama sekali tidak menyentuh tanah, tangan yang kugunakan menyibak kain penutup candela mushola putri ini tiba-tiba saja gemetar. Karena dua bola mataku menemukan sesosok perempuan yang begitu dekat dengan hati ini. Saat menoleh ke wajahku perempuan itu tampak terkejut sesaat lantas senyum simpul.
“Assalamu’alaikum, Allison”, ucap salamku mesra.
“Wa’alaikum salam, eh……James, ada apa? Memang kamu tidak bersiap-siap upacara?”
“Ya, masih kurang dua puluh menit kok”
“Ayo! Jangan-jangan mau sembunyi ya….tidak ikut upacara, he……he……”
“Eh, Allison itu cantik-cantik tapi suka memprovokasi ya”
Ah! Begitu saja marah. Hati-hati saja, cepat jadi kakek-kakek!”
“tidak apa-apalah, yang penting nenek-neneknya kamu! Ha….ha…ha…”
Sungguh pertemuanku dengan Allison ini menghamburkan segala kelu kesahku. Senyumnya menaklukkan kesombonganku sebagai lelaki. Aku tak mampu lagi untuk merapal konsep-konsep rayuanku. Aku lunglai. Aku menatap matanya dengan tatapan cinta. Dan saat dua bola mata Allison merespon tatapan dua bola mataku, benar-benar aku tak sadarkan diri.

Tentang penulis :

Marzuki Ibn Tarmudzi, pernah mencicipi sedikit segarnya lautan ilmu di Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang, Jawa Timur. Hobinya yang suka nyorat-nyoret kertas ini dimulai semenjak nyantri. Kini, hobinya itu dituangkan di berbagai media online, itung-itung sebagai aksi dari ; “بلغوا عني ولو أية “,” sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat ”.