Oleh: Marzuki
“Yah, Ayah, ini lo burung perkutut”
Ujar seorang anak delapan tahunan. Menarik perhatian ayahnya, sembari jari telunjuknya menunjuk wikipedia.com memamerkan kecanggihan teknologi internet. Ayahnya yang sangat-sangat hobi dan dekat dengan dunia perkutut itupun meluap-luap hatinya dan penasaran.
“lo, ini kan pemenang lomba burung perkutut di Riau kemarin”.
“ini Yah, diclick!”
“Yang mana, yang mana?”
Anak itu menunjukkan cara-cara memegang mouse pada ayahnya untuk memperdetilkan informasi yang dimuat. Hati-hati sekali oramg yang sudah berkepala empat itu memegang mouse.
Ayah yang amat lembut saat-saat memegang burung perkutut itu tampak kaku sekali memegang mouse.
“Haaa! Ini kan teman ayah, waktu di Riau kemarin?”
Ayah itu makin gembira saja saat melihat foto yang terpampang. Betapa internet juga memuat hal-hal yang berkenaan dengan burung perkutut, hebat sekali, pikir sang ayah yang tiba-tiba muncul begitu saja dipikiran setiap kali beraktivitas.
Rasa penasaran itu pada akhirnya menumbuhkan rasa cinta dengan internet. Dan, hari demi hari saat senggang ayah itu melulu minta diajari mengoperasikan internet oleh anaknya. Bermula dari ketertarikan lantas cinta. Bukan sama sekali paksaan. Belajar akan merasa menikmati sekali bila-bila didasari cinta. Ah, cinta. Bahkan, rasa-rasanya lelah sepulang kerja atau kantuk yang menghampiri bisa-bisa terbang seketika. Ya, itulah dasyatnya cinta. Betapa cinta mampu membangkitkan tiang-tiang ketamakan terhadap obyek yang dicintainya.
Makanya, kenapa Ibnu Abi Tholib, Karroma Allahu wajhah, dalam syairnya yang termuat di kitab Ta’limul Muta’alim menempatkan “khirshun” ketamakan, berada pada posisi nomor dua setelah “dhakaaau”, cerdas atau diterjemahkan “sur’atu fahmi”, cepatnya memahami, dalam kamus Al-Munawwir? Karena “khirshun” merupakan aplikasi dari potensi “dhakaau”. Yakni, betapa kecerdasan adalah bola lampu aktif yang akan bercahaya terang bila jatahnya dialiri penuh aleh ketamakan sifat energi listrik. Dan sungguh amat mengenaskan bila kecerdasan tanpa sama sekali diimbangi ketamakan dalam melahap ilmu.
Sekali lagi, belajar dengan berkendaraan kereta cinta mampu menembus tembok-tembok penghalang dalam belajar. Dan setiap manusia mempunyai perasaan cinta sendiri-sendiri, untuk darimana harus menginjakkan potensi cintanya dalam memulai belajar. Ah, terlalu muluk sekali.
Suplemen akhir, yang inilah gundahan hati dan semangat saya menulis ini. Bahwa belajar sebenar-benarnya hanyalah fase belaka. Siklusnya, menuntut ilmu kemudian menjadi menjadi manusia berilmu dan tugas akhir adalah mengamalkan ilmu. Dan, dalam bahasa yang sangat masyhur, ngelmu iku angele yen wes ketemu, ilmu itu sulitnya bila sudah didapatkan.
O, betapa banyaknya dinegeri kita setiap tahunnya menelurkan pakar-pakar hukum dari berbagai universitas. Namun sungguh ironi sikap mereka, laksana membawa bara api ditangannya. Berupa-rupa kebijakannya di lapangan sama sekali melenceng dari norma-norma hukum yang lurus. Ah, semoga saja ini hanyalah imajinasiku belaka. Bukan sama sekali realitas pakar-pakar atau aparat-aparat penegak hukum negeri loh jinawi ini. Wa Allahu A’lam Bissowab.
Bumi Robberriver