Aku Vs Guruku, Pak Huda



By: Marzuki Bersemangat
Di Jombang, setiap hari aku diracuni ilmu meski aku tak ubahnya pelayan Indomaret yang tertuntut ramah pada setiap konsumen. MAWH Tambakberas ini menawarkan padaku sebuah petualangan intelektualitas dengan kemungkinan-kemungkinan yang amat luas. Aku mengagumi guru-guru yang belum kutemui sebelumnya. Aku menemukan guru yang memberikan kesempatan besar bagi murid untuk berkreativitas. Bagiku itu sebuah batu granit yang mencerahkan walaupun aku hanya batu nisan yang diam diantara rumput ilalang yang bergoyang.
Siang itu Rabu 7 Oktober 2009 kepalaku seperti batu karang yang dihantam ombak. Argumentasi yang emosional dilontarkan guru yang bagiku ia adalah senior intepretor. Dengan santainya ia menyampaikan di depan kelas:
“Negara Indonesia miskin dikarenakan sistemnya yang bobrok”.
Aku diam. Kugerakkan otakku sedikit untuk memahami opini Sang Guru. Otakku yang tidak cerdas ini terasa cenut-cenut bila diajak berfikir berat. Namun aku harus memaksa dan otak memang harus dipaksa.
Aku sangat gandrung dengan ide-ide Pak Huda. Berulang kali kuamati setiap beliau mengajar. Melihat kumisnya saja aku bergetar-getar. Gaya bicaranya yang lantang nan merdu dalam mengajar jantung ini hampir copot. Syamsul Huda nama lengkap beliau, nama yang mengandung karakter keras dan itu termanifestasikan dalam opini-opini beliau.
“Yang tidak setuju dengan pendapatku acungkan tangan”
kata Pak Huda dengan mengacung tangan pada para siswa yang menahan kantuk.
Hening,gemetar, dan mencekam, itulah suasana kelas. Di MA-WH Tambakberas ini siswa memang dituntut aktif. Siswa bukanlah gelas yang bisa terus diisi. Guru bukanlah Tuhan yang mendikte sekehendaknya. Guru bagaikan penjual yang menawarkan berbagai menu dan siswa sebagai pembeli dituntut memilih dan memilah sesuai kadar kapasitas.
Sejak kecil darahku mengalir sebagai manusia yang tidak mudah untuk bisa menerima. Begitu pula saat Pak Huda memberikan kesempatan untuk berpendapat, tanganku tanpa terasa sudah mengacung secara reflek.
“kemiskinan di Indonesia disebabkan oleh pendidikannya bukan politik ataupun sistem”
“Lalu, mengapa banyak pelaku pendidikan yang hidup diawah garis kemiskinan” Sahut Pak Huda.
Aku seperti kena skak dalam permainan catur. Aku hanya bisa mereply ulang pendapatku dan memahami kembali. Aku membentuk diskusi kecil dalam otakku. Tubuhku seakan membelah menjadi dua: aku sebagai perwakilan dari egosentris dan Marzuki duta dari otak yang berisi bermacam data atas pertimbangan hati kecil. Maka peserta doiskusi kecil itu aku dan Marzuki.
“Hai Marzuki, kenapa banyak pelaku pendidikan yang hidup miskin.”
“Ooo..... itu karena pendidikan di Indonesia bobrok. Masak kamu lupa, Gus Dur pernah bilang bahwa pendidikan di Indonesia itu bobrok.”
“Oooo....gitu ya..”
“Bobrok. Bobrok!!! korupsi terjadi dalam semua lini" tegas Marzuki.”

Diskusi kecil itu tiba-tiba buyar. Pak Huda memandang aku degan tajam. Pandangan yang sinis dan pandangan sayang. Perlahan tapi pasti aku bermetamorfosis menjadi penganut pendapat Guru itu. Aku mulai memahami yang entah benat ataupun salah. System Indonesia yang bobrok menjadikan negara Indonesia miskin. Dr. Antonio dalam salah satu seminar pernah mengatakan bahwa untuk menjadikan negara Indonesia ini baik hanya cukup 3 menit, Yakni para isteri cukup bilang pada suaminya: “Sayang, jangan bawa uang haram kerumah ini.”
Http://www.wacanamarzuki.blogspot.com
E-mail: marzuqqi@yahoo.co.id

Tentang penulis :

Marzuki Ibn Tarmudzi, pernah mencicipi sedikit segarnya lautan ilmu di Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang, Jawa Timur. Hobinya yang suka nyorat-nyoret kertas ini dimulai semenjak nyantri. Kini, hobinya itu dituangkan di berbagai media online, itung-itung sebagai aksi dari ; “بلغوا عني ولو أية “,” sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat ”.