PROF. AGUS SUNYOTO : HANYA NU YANG MEWARISI TRADISI NUSANTARA : MENELISIK ISLAM NUSANTARA : (SUKSES MUKTAMAR NU KE-33)


WACANA MARZUKI ONLINE. Istilah Islam Nusantara ini makin booming ketika NU dalam muktamarnya yang ke-33 ini mengangkat tema berjudul Teguhkan Islam Nusantara. Di sisi lain Ketua umum PBNU dalam berbagai forum sering mengkampanyekan tentang peran pengawalan Nahdlatul Ulama` dalam memperjuangkan dan mengawal model Islam Nusantara, diantaranya disampaikan saat pembukaan acara Istighosah menyambut Ramadhan dan pembukaan munas alim ulama NU, minggu (14/06/2015) di Masjid Istiqlal, Jakarta.
Lantas apa maksud dan tujuan menggunakan istilah Islam Nusantara ini dan apa hubungan dengan Nahdlatul Ulama`?
Dalam sebuah forum, KH. Musthofa Bisri, yang lebih akrab dengan sapaan Gus Mus  menjelaskan bahwa Islam Nusantara adalah Islam yang ada di Indonesia dari dulu hingga sekarang yang diajarkan oleh Wali songo. Sekilas mendengar istilah Islam Nusantara ini memang menimbulkan polemik. Especially, bagi kawan-kawan saya yang diluar NU. Argumentasi mereka biasanya adalah, bahwa dalam Al-Qur`an Islam itu hanya satu. Islam itu Mufrod bukan jamak. Jadi, tidak ada Islam NU, Muhammadiyah, Persis, MTA dan seabrek lainnya, apalagi ada Islam Nusantara. Sebenarnya ini perdebatan santri-santri baru. Dulu, ketika saya masih di Pesantren teman saya dalam diskusi membantah argumentasi itu begini : Ya, memang Islam itu mufrod. Layaknya pelangi itu juga mufrod namun dalam pelangi itu kan ada merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, tapi pelangi itu tetap mufrod. Begitu pula halnya dengan Islam itu juga mufrod namun didalamnya ada NU, Muhammadiyah, dan lain-lainnya.
Dalam diskusi yang diselenggarakan NU dalam rangka Miladnya yang ke 87, pada 15 Oktober 2013 di kantor PBNU Jakarta kemarin Prof. Agus Sunyoto, seorang penulis buku Atlas Wali Songo menyampaikan bahwa Nahdlatul Ulama itu mewarisi tradisi dari Mataram kuno, Kediri, Singoshari, Majapahit sampai Demak dan seterusnya. Karena itu NU itu bisa dikatakan Jama`ah atau Jam`iyyah Pribumi. Kenapa? Karena perjalanannya adalah proses pribumi. Ada peneliti dari negara asing yang bekerjasama dengan UIN Malang yang meneliti tentang Pesantren. Para peneliti mengatakan: Bagaimana bisa di era global sekarang ini Pesantren kok  tidak berubah? Jadi, peneliti asing ini dibikin bingung  dengan budaya pesantren. Dilain sisi mereka melihat proses globalisasi sudah mengubah semuanya. Lha, ini ada unsur lokal tidak mau berubah. Pengajian tafsir Al-Qur`an di Pesantren, Kyai mengajar memakai bahasa Jawa padahal sekolah-sekolah internasional sudah bahasa Inggris. Pesantren di Jawa Barat memakai bahasa Sunda. Madura bahasa Madura. Itu kan bikin bingung skenario global. Ini fakta. Ini memang resistensi. Ini warisan Wali Songo. Lha, sekarang ini NU mau direbut kelompok-kelompok yang ingin mengubah itu karena globalisasi harus menyingkirkan yang lokal-lokal itu.
Nah, menelisik tentang warisan tradisi nusantara ke NU itu sebenarnya  bisa ditengok tentang bagaimana awal mula masuknya Islam ke Nusantara ini. Yang mana, ada apa dengan penyebaran Islam sebelum era Wali Songo, sehingga Islam belum bisa diterima secara massive? Padahal, menurut catatan sejarah Dinasti Tang China, Islam sudah masuk ke Nusantara pada tahun 670 M. Yakni, saudagar dari Arab yang datang ke kerajaan Kalingga, itu kira-kira masa pergantian kholifah dari Ali bin Abu Tolib ke Umayyah. Jadi semenjak awal Islam sudah masuk ke Nusantara. Tetapi sampai ratusan tahun kemudian Islam tidak berkembang secara massive. Islam hanya diikuti oleh orang-orang asing. Misalnya, kalau Dinasti Tang mencatat tahun 670 itu sudah ada saudagar Islam datang ke Jawa.  Tahun 1292, yang artinya 600 tahun kemudian, Marcopolo datang dari Cina lewat lautan ke teluk Persia ia singgah ke tempat namanya Perlak. Ia menyebutkan dalam catatannya: ada tiga kelompok masyarakat pertama, Cina yang semuanya beragama Islam. Kedua, orang-orang barat yaitu Arab dan Persia mereka juga beragama Islam. Ketiga penduduk pribumi, yang mana menyembah batu-batu, kayu-kayu dan ruh. Bahkan menurut catatan Marcopolo pula, penduduk pedalaman masih kanibal.  100 tahun kemudian, 1405 ketika Laksamana Cheng Ho datang ke Jawa, Rajanya masih Wikramawardana, dicatat oleh juru tulis Cheng Ho ketika singgah di Tuban mereka menemukan 1000 keluarga China semuanya muslim. Kemudian singgah lagi ketempat namanya Gresik, yang juga menemukan 1000 keluarga China semuanya muslim. Dan pula di Surabaya 1000 keluarga China semuanya muslim. Nah, ini menunjukkan kalau Islam belum dianut secara masal. Bahkan ketika Cheng Ho datang terakhir ke Indonesia  pada tahun 1433, dia mengajak juru tulisnya namanya Mahwan. Ia mencatat penduduk pulau jawa disepanjang pantai utara itu terdiri dari 3 kelompok masyarakat: Pertama Cina yang semuanya muslim, kedua orang-orang barat yaitu Persia dan Arab mereka juga muslim, ketiga penduduk pribumi yang rata-rata masih kafir. Jadi tahun 670 s.d 1433 Islam sudah datang ke Nusantara. Wal-hasil, ada 800 tahun Islam tidak diterima di bumi nusantara secara massive. Ini fakta sejarah.
Lantas, 7 tahun kemudian dari campa (sekarang Vietnam) datanglah rombongan sunan ampel. Ini adalah awal sekali wali songo datang. Sunan Ampel datang ke Majapahit, kemudian diangkat Majapahit menjadi Imam Besar di Ampel Surabaya. Putra-putra Sunan Ampel: Sunan Bonang, Sunan Drajat, menantunya itu raden Patah dan Sunan Giri dan lainnya berdakwah dengan membentuk Wali Songo kira-kira tahun 1470. Itu terjadi saat putra-putra Sunan Ampel sudah besar. Kalau dakwah wali songo terjadi mulai tahun 1970 an yang metodenya bersifat kultural kepada masyarakat. Kira-kira setelah wali songo lahir yakni tahun 1515. Seorang portugis bernama Tomy Pires, datang ke Jawa, itu masih ada sunan Kali Jogo, Sunan Giri 2. Sepanjang pantura pulau jawa penguasanya adalah adipati-adipati muslim. Ada kerajaan Jawa kafir dipedalaman nama rajanya Wijaya, yakni Majapahit. Jadi, setelah ada Wali Songo penguasa pantura adalah muslim semua. Artinya, dakwah itu dilakukan Wali Songo karena sebelum itu tidak ada. 1522 datang Antonio Pigapeta, dia masih melihat orang majapahit.
Beberapa hal yang menyebabkan Islam sebelum era Wali Songo tidak bisa diterima secara massive. Ketika awal Islam, Rosulullah pernah berkirim ke Raja Persia untuk memeluk Islam tetapi raja Persia menolak. Bahkan dengan marah-marah merobek surat itu sembari mengatakan,”Kita ini bangsa beradab yang sudah maju, bagaimana disuruh mengikuti orang-orang dari padang pasir”. Ketika Rosul berkirim surat lagi ke Romawi Heraklius, ia menerima surat itu namun juga menolak untuk masuk Islam karena merasa Romawi bangsa yang maju. Maju teknologi dan ilmu pengetahuannya.
Ternyata kasus diatas juga terjadi di Indonesia. Ketika saudagar-saudagar Islam mengenalkan Islam ke Indonesia. sebab Indonesia waktu itu sudah maju, teknologinya sudah maju. Contoh, pada abad ke-3, yakni tahun 270, ada seorang pegawai Bea Cukai namanya Whang Sen, dia menulis bahwa kapal datang dari selatan, dari Jawa berdagang ke Cina ukurannya 3 kali ukuran kapal Cina. Bisa dinaiki 700 orang awak kapal dan mampu memuat 10.000 ton barang. Ini abad ke-3 Masehi sudah seperti itu. Cina saja belum bisa. Belum lagi kemampuan-kemampuan masyarakat nusantara waktu itu seperti membikin bangunan-bangunan besar, candi-candi besar. Bahkan semenjak tahun 648 sudah memiliki KUHP. Namanya : Kalingga Darma Sastra. Itu disusun raja kalingga : Kartisea Shima. Yang istrinya sangat terkenanl yakni Ratu Shima. Kitab itu terdiri dari 119 pasal. Tahun 648 itu sama dengan masa kholifah Usman bin Affan. Jadi, nusantara sudah cukup maju.
Raja hanya sebagai kepala negara. Raja ini yang membawahi para hakim, para jaksa. Yang mengatur pemerintahan itu namanya Maha Patih (eksekutif). Sistem demokrasi waktu itu, raja mempunyai kewenangan menerima laporan langsung dari rakyat. Jadi, raja mempunyai tempat di alon-alon untuk duduk. Rakyat bisa menyampaikan protes terhadap kebijakan-kebijakan Maha Patih kepada Raja di alon-alon itu. “rumah saya digusur tanpa ada ganti rugi”, misalnya. Di situ ada petugas pencatat yang nanti akan disampaikan dan dimintakan pertanggung jawaban oleh Raja pada Maha Patih. Semakin banyak yang protes berarti semakin tidak becus si Maha Patih mengurus pemerintahan. Disitulah kewenangan raja untuk mencopot jabatan Maha Patih. Jadi tidak ada demonstrasi sebab mekanismenya langsung melapor pada yang punya kekuasaan.
Aturan waktu raja maupun pejabat kerajaan harus dari kalangan ksatria. Dalam kitab nawakita: kitab tatanegara dan sosial. Disitu disebutkan bahwa kalangan ksatria itu adalah orang yang tidak memiliki kekayaan pribadi. Semua kekayaan miliki negara. Jadi tidak ada istilah korupsi karena tidak mempunyai kekayaan pribadi. Nanti kalau ada orang mempunyai kekayaan pribadi status sosialnya turun menjadi golongan petani: sudah punya sawah, ternak itu rendah. Kalau mempuyai kekayaan lebih banyak lagi status sosialnya turun lagi menjadi sudra. Siapa itu sudra? Adalah saudagar, rentenir, semakin besar kekayaannya maka semakin rendah status sosialnya. Itu aturan sampai zaman majapahit. Wal-hasil, kalau zaman dahulu dikatakan kaya raya itu dikatakan rendah.
Jadi semenjak zaman mataram kuno hingga majapahit penduduk pribumi tidak boleh bekerja sebagai pelayan. Karena status pribumi adalah berstatus orang mulia. Dan yang boleh jadi pelayan itu harus orang asing. Pribumi lebih tinggi. Karena itu ketika saudagar-saudagar Arab datang ke sini sudah memiliki dua kriteria : orang asing dan saudagar atau sudro. Orang nusantara tidak mau mengikuti orang sudra itu. Sewaktu Kertanegara menjadi raja di Singosari, Kubilai Khan dari Cina berkirim surat padanya. Yang isinya : kamu harus tunduk pada kaisar. Raja Kertanegara marah besar sampai utusannya dilukai sama Kertanegara. Lha wong orang-orang Cina di Nusantara menjadi pelayan kok malah Nusantara disuruh tunduk pada Cina.
Lha, ketika Wali Songo datang ke Nusantara ia bukan dari golongan saudagar tapi Brahmana. Apalagi mereka akhirnya menjadi bangsawan-bangsawan disini. Jadi, dakwah Wali Songo bisa diterima salah satu sebabnya karena ada struktur sosial. Proses ini baru mengalami perubahan pada 1 Mei 1848 ketika belanda membuat aturan: Bahwa Belanda adalah warga kelas satu. Timur asing: Cina, Arab, Afrika golongan kelas dua. Sedangkan pribumi warga kelas tiga. Jadi dibalik oleh Belanda. Oleh karena itulah orang-orang pesantren melakukan perlawanan. Itulah di kolonial arsip ditemukan selama tahun 1800 s.d 1900 terjadi 112 kali pemberontakan dipimpin guru tarekat dan orang-orang pesantren. Maka kita mendengar orang-orang  NU dulu selalu mengatakan “man tasyabbaha biqoumin fahuwa minhum”,”barang siapa menyerupai suatu kaum maka ia dihukumi seperti kaum itu. Adalah bentuk perlawanan terhadap orang-orang belanda. Tidak mau orang-orang pesantren direndahkan oleh aturan mereka.
Dalam rangka melancarkan program Belanda itu orang-orang belanda mengenalkan secara sitematis hegemoni pemikiran melalui pendidikan. Yakni sekolah. Jadi, sekolah itu sebenarnya proses kolonialisasi penundukan masyarakat untuk mengikuti aturannya kolonial. Pesantren tetap tidak mau. Karena itu tidak diakui pesantren. Lha, ketika Indonesia merdeka Pesantren tetap tidak diakui lembaga pendidikan. Karena itu pesantren salaf tidak akan dibantu. Kalau pesantren salaf kepengen dapat bantuan ya harus bikin sekolahan. Disitulah hegemoni pemikiran barat terhadap orang Indonesia.
Jadi, Islam tidak mungkin berkembang tanpa Wali Songo karena sejarawan dunia itu mengatakan setelah Wali Songo cuman mereka tidak tahu mengapa begitu cepat. Ada proses yang lebih cepat dari  Wali Songo? Dalam waktu 50 tahun mengislamkan se Indonesia. Pasti itu mereka orang-orang luar biasa karena ilmu-ilmu barat tidak bisa menjawab.
MENGENAL DAKWAH ALA WALI SONGO
Bagaimana Metode dakwah Wali Songo sehingga melahirkan Islam Nusantara yang mendapat simpati dari seluruh dunia. Dimana, Arab saudi yang katanya menjadi “kiblat” Islam faktanya kini kurang mendapat simpati masyarakat Islam sendiri. Pertama, Wali Songo menyebarkan Islam dengan ajakan yang sesuai dengan ajaran Rosulullah Saw. Allah berfirman dalam QS. An-Nahl [16]: 125,
Ud`u ila sabili robbika bi al-hikmati wa al-mau`idhoti al-hasanati wa jadilhum bi al-lati hiya ahsanu
Ajaklah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan berdebatlah dengan cara yang baik.
KH. Musthofa bisri waktu di Suluk Malemannya Habib Anis Ba`asyim , ketika menerangkan ayat ini mencontohkan bagaimana seorang calo terminal mengajak orang untuk naik bus yang ditawarkan. Calo terminal itu kalo mengajak orang biasanya dengan cara-cara yang halus. Atau mengiming-inging fasilitas bus yang nyaman. Tidak ada calo bus yang mengajak orang dengan cara-cara yang kasar. Lha, kalau orang Islam berdakwah atau mengajak orang pada jalan yang benar tapi menggunakan cara-cara yang keras tentunya kalah dengan calo bus itu.
Lebih lanjut Gus Mus menjelaskan bahwa harus dibedakan antara berdakwah dengan amar ma’ruf nahi munkar. Berdakwah itu ayatnya QS. An-Nahl [16]: 125 itu, maksudnya berdakwah itu mengajak dari orang yang belum masuk Islam menjadi Islam. Sedangkan amar ma`ruf nahi munkar itu mengingatkan pada orang-orang yang sudah masuk Islam tapi melenceng itu bisa dilihat di QS. Ali Imron [3]: 104. Sebab selama ini ada pemahaman yang rancu terhadap istilah-istilah itu.
Dakwah Wali Songo yang bersifat kultural itu tentunya juga meniru Nabi Muhammad Saw. Banyak contoh sebenarnya tentang budaya-budaya lokal yang tetap dipertahankan Nabi jika kita mau menggali sejarah. Namun contoh yang hebat adalah bagaimana Muhammad, meskipun seorang Nabi dan Rosul Allah, beliau tetap mempertahankan pakaian lokal Arab waktu itu. Nabi Muhammad Saw tetap menggunakan budaya Arab itu seperti sorban, jubah, jenggot itu yang padahal Nabi Muhammad bisa saja membuat pakaian baru khusus Islam. Jadi, model pakaian Nabi Muhammad Saw, itu juga dipakai oleh Abu Jahal, Abu Lahab dan masyarakat Arab saat itu. Nah, orang sekarang mengira jika jubah, jenggot, sorban itu adalah identitas Islam. Cuman bedanya Abu Lahab, Abu Jahal dengan Nabi Muhammad itu adalah raut muka. Kanjeng Nabi itu raut mukanya tersenyum sedangkan kalau Abu Jahal mukanya sangar. Jadi boleh memakai pakaian yang dikenakan Nabi Muhammad Saw, tapi mukanya harus tersenyum. Tidak hanya meniru pakaiannya saja.  
Wal-hasil, keberhasilan Nabi Muhammad dalam berdakwah selain karena hal lain seperti pecinta sastra seperti Umar yang masuk Islam karena keindahan sastra Al-Qur’an. Tapi banyak juga yang masuk karena pribadinya Nabi Muhammad Saw, yang mempunyai ruh al-dakwah. Dan, itu ditiru oleh Wali Songo.


Tentang penulis :

Marzuki Ibn Tarmudzi, pernah mencicipi sedikit segarnya lautan ilmu di Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang, Jawa Timur. Hobinya yang suka nyorat-nyoret kertas ini dimulai semenjak nyantri. Kini, hobinya itu dituangkan di berbagai media online, itung-itung sebagai aksi dari ; “بلغوا عني ولو أية “,” sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat ”.