Jagat
Pramudita. Status-status facebook kian hari makin beraneka saja yang mengusik
pola pikir saya sebagai kaum bersarung (santri) yang menembus
beranda, inbox saya meski tiada pertalian pertemanan. Memang
reaksi-reaksi pro dan kontra merupakan hal yang sangat wajar. Namun berpolemik
yang jauh dari nilai-nilai intelektual menurut saya tidak layak untuk
dibudayakan. Sebab sangat jauh dari nuansa mencerahkan.
Syahdan,
ada status yang layaknya pengkhutbah, berdiri sombong mengacung-acungkan
tangan mengakronimkan para aswaja dengan, maaf, sekali lagi maaf, -asli warisan
jawa- dan mengkutuk para aswaja sebagai Ahlul Bid’ah. Anehnya, pengkutuk itu
sendiri sama sekali tidak sadar betapa facebook yang dia gunakan juga
bisa dikatakan bid’ah, sebab facebook juga tidak ada pada zaman Nabi Muhammad
SAW.
Ohoi,namun
kutahu doipun tampaknya juga fans berat Imam Syafi’I kaya saya. sampai-sampai
pendapatnya mendompleng Imam ketiga dari empat mazhab menurut urutan kelahiran
itu. Mereka katakan Imam Syafi’I itu benci bertahlil pada orang mati. Mas/mbak
brow…..,bolehlah sekali-kali membuka Manaqib Al-Syafi’I, juz 1, hal. 430. Imam
Syafi’i ra, menyatakan: “sesungguhnya Allah Swt telah memerintahkan
hamba-hamba Nya untuk berdo’a kepada Nya, bahkan juga memerintahkan kepada
Rosul Nya”.
Dalam
Al-Qur`an suroh 47:19 ;
Oleh
itu, maka tetapkanlah pengetahuanmu dan keyakinanmu (wahai Muhammad) bahwa
sesungguhnya tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah, dan mintalah
ampun kepadaNya bagi salah sikap yang engkau lakukan, dan bagi dosa-dosa
orang-orang yang beriman- lelaki dan perempuan dan (ingatlah) Allah mengetaahui
akan keadaan gerak-gerik kamu (di dunia) dan keadaan penetapan kamu (di
akhirat).
Titik
pokoknya adalah Allah memerintahkan hamba-hamba Nya untuk mendo’akan sesama
mu’min baik laki maupun perempuan. Tentu ini untuk mu’min dan mu’minat
baik yang masih hidup maupun untuk yang telah meninggal.
Mengenai
tradisi, mas/mbak brow : Islam bukanlah agama tradisi namun juga bukan anti
tradisi. Namun islam hadir berusaha mengislamisasi. Kalaupun tidak bisa
diislamisasi baru memberikan solusi.
Mas/mbak brow …….
Marilah
kita belajar bersama-sama mencotoh bagaimana tokoh-tokoh intelektual negeri ini
berpolemik yang sopan dan santun. Polemik itu antara lain, Ialah polemik
Soekarno dengan M. Natsir tentang hubungan Islam dan negara. Polemik tentang
Islam dan sosialisme antara Tjokroaminoto dengan Semaun, dan polemik kebudayaan
Timur dan barat antara Sutan Takdir Ali Sjahbana dengan Armijn Pane. Demikian
pula tulisan-tulisan bernada polemis yang dibuat oleh Muhammad Hatta, Sutan
Sjahrir, Sumitro Djojo Hadikusumo dan Sjafruddin Prawiranegara dan lain-lain
dibidang pembangunan politik dan ekonomi. Polemik intelektual tentang Islam dan
sekularisme, yang terjadi antara M. Rasjidi dengan Nurcholis Madjid, sangatlah
menarik untuk dibaca. Demikian pula polemik M. Roem dengan Rosihan Anwar yang
berkaitan dengan sejarah politik di tanah air era tahun 1950-an. Kalau kita
menelaah dengan seksama polemik mereka sungguh sportif, ksatria, argumentatif
dan tidak menyerang pribadi seseorang, yang tidak ada hubungannya dengan materi
yang diperdebatkan. Mereka juga menggunakan kata-kata yang sopan, sehingga
nampak suasana saling hormat-menghormati, walaupun perbedaan pendapat diantara
mereka demikian tajam.
Saya
sungguh ingin menjauhkan diri dari kegiatan yang bernuansa agitasi, propaganda
dan perang urat syaraf. Wallahu a’lamu bissowab. Marzuki ibn Tarmudzi.