WACANAMARZUKI. Setiap Sholat Jum`at kita pasti
mendengarkan Khotib menyampaikan tentang ajakan meningkatkan ketakwaan, tentu
terkecuali bagi jama`ah yang tidak mendengarkan materi khutbah. Namun belum pasti
setiap Jum`at kita mendengarkan khotib memberikan kiat-kiat tentang, bagaimanakah
cara menggapai ketakwaan yang sempurna? Dalam tulisan saya kali ini saya akan
memaparkan 5 fase dalam meniti derajat ketakwaan yang maksimal. Kiat-kiat ini
saya adopsi dari Karya Syekh Muhammad Nawawi Ibnu Umar Al-Jawi, dalam kitabnya
Nashoikhul `Ibad. Dalam tulisan saya ini, saya akan memperluas dengan
konsep-konsep dari Al-Qur’an Al-Karim, sebagai referensi utama saya. Namun
sebelum saya membahas tema itu secara lebih luas, terpenting lebih dulu saya
akan membahas sedikit tentang takwa itu sendiri dari sudut pandang Al-Qur`an
Al-Karim.
“Sidang
Jum`ah rohimakumullah, mari kita
tingkatkan iman dan takwa kita kepada Allah Subhanahu
Wata`ala. Yaitu dengan menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi semua
larangan-larangannya…”, begitulah kita mendengar definisi takwa dari para
khotib Jum`ah itu. Secara etimologi takwa berasal dari bahasa arab, dari kata kerja waqo-yaqi-wiqoyah,
yang berarti memelihara. Yakni, memelihara diri kita dalam menjalani
kehidupan ini supaya tetap berada di jalan kebenaran. Allah berfirman di dalam
Al-Qur’an Al-Karim, suroh Al-An`am ayat 155;
“Dan Al-Qur`an itu adalah kitab yang
kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu
diberi rahmat”,
Ayat
ini memberikan pengertian kepada kita bahwa jalan ketakwaan adalah dengan
mengikuti Al-Qur’an Al-Karim, lihat juga QS. Al-An`am[6]: 153, Al-Baqoroh[2]:
38, Al-Baqoroh[2]: 2, Ali Imron[3]: 138. Kenapa harus dengan Al-Qur`an? Sebab
Al-Qur`an turun ke bumi ini selain sebagai petunjuk adalah juga berfungsi
sebagai Furqon, pemisah antara baik dan buruk (lihat QS. Al-Baqoroh[2]: 185).
Maka, dengan begitu kita akan mendapatkan apa yang dijanjikan Allah itu;
“Hai orang-orang yang beriman, jika
kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqoon dan
menghapuskan segala kesalahan-kesalahanmu dan mengampuni (dosa-dosa) mu. Dan
Allah mempunyai karunia yang besar” (QS.
Al-Anfal[8]: 29).
(Ceramah Cak Nun di 40 hari Gus Dur, di Tebuireng Jombang. Baca)
Begitulah
janji Allah Swt bagi orang-orang yang bertakwa. Nah, sesuai dengan tema diatas
saya akan memaparkan tentang 5 jenjang untuk menggapai ketakwaan yang sempurna
itu. Maka bagi muttaqin, atau orang
yang bertakwa yang bertekad meningkatkan kapasitas takwanya hendaknya melampaui
fase-fase ini;
1.
Memilih kesukaran atas kenikmatan.
Yaitu
dengan cara memilih beban ibadah untuk meninggalkan segala sesuatu yang
menyenangkan. Dalam khasanah Islam meninggalkan kesenangan demi ibadah biasanya
disebut dengan zuhud. Diceritakan pada suatu hari datang seorang laki-laki
datang kepada Nabi Muhammad Saw, kemudian laki-laki itu bertanya tentang amalan
apa yang bisa membuat dirinya dicintai Allah Swt, dan dicintai manusia. Lantas,
Sang Nabi pun menjawab bahwa amalan Zuhud terhadap dunia dapat dicintai Allah,
dan zuhud terhadap kepemilikan orang
lain dapat dicintai manusia.
(Uang kerap menyelimuti problematika manusia. Uang lagi-lagi uang. Baca)
Dalam
wacana tasawuf, zuhud adalah meninggalkan sesuatu yang tidak ada manfaatnya
kemudian memilih melakukan aktivitas yang bernilai ukhrowi. Zahid, yakni
sebutan bagi pelaku zuhud. Zahid dalam setiap pekerjaannya dilakukan dengan
niat hanya karena Allah Swt saja. Bagi zahid celaan manusia sudah
dikesampingkan. Baginya, pujian ataupun celaan adalah sama saja.
Zuhud
terhadap kepemilikan orang lain. Maksudnya adalah seseorang tiada sedikitpun
terpetik untuk memiliki barang yang telah menjadi hak milik orang lain. Tentu saja
tiada niat untuk memiliki dan juga tidak melakukan tindakan kriminal itu. Sebab
kata Bang Napi, pencurian tidak hanya disebabkan oleh niat namun juga adanya
kesempatan, maka seorang zahid meski ada kesempatan pun juga harus tidak
melakukan tindakan kriminal. Bahkan seorang zahid harus bisa menjadi security terhadap orang lain. Zuhud
merupakan implementasi dari ucapan,”Saya beriman”. Dan, orang yang beriman
harus bisa membuat orang-orang di
sekelilingnya memiliki rasa aman.
(Mengenang Sang Guru Bangsa, Gus Dur. Baca)
Zuhud
merupakan wujud cinta seorang hamba terhadap Tuhan-Nya. Tentu, perilaku zuhud
ini juga harus dalam koridor ajaran Islam. Sebab dalam berbagai kasus
dimasyarakat ditemukan berbagai perilaku yang mengatas namakan ajaran Islam
namun justru menyimpang dari ketentuan Al-Qur’an dan yang telah dicontohkan
Nabi Muhammad Saw. Jika seorang Zahid menjalankan ibadah tanpa dasar Al-Qur’an
dan Uswah Rosul, yang terjadi Zahid ini tidak bisa dikatakan melakukan zuhud. Justru
yang terjadi ia hanya memperturutkan hawa nafsunya saja. Sebab wujud cinta
kepada Allah adalah sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an:
Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar)
mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni
dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah: “ta`atlah
Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang kafir”. (QS. Ali-Imron[3]: 31)
2.
Memilih kesungguhan atas kebebasan.
Maksudnya
kesungguhan dalam beribadah dengan cara meninggalkan kesenangan dunia. Kesungguhan
beribadahnya diwujudkan dengan selalu meminta ampun kepada Allah Swt, dan
selalu menghiasi hari-harinya dengan mengerjakan amal-amal sholeh. kelak di
akhirat Allah akan mengampuni hamba itu, sebab Allah mengganti kejahatannya
dengan kebajikan.
(yakni) akan dilipat gandakan azab
untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan
terhina. Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh; maka
kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Furqoon[25]: 69-70)
Seorang
hamba yang sungguh-sungguh dalam menjalankan ibadahnya, ia akan bergegas dalam
menjalankan amal-amal kebajikan. Dalam Al-Qur’an orang-orang yang bergegas
dalam kebaikan dan mengajak orang lain untuk berbuat amal saleh merupakan
termasuk orang-orang yang sholeh;
Mereka beriman kepada Allah dan hari
penghabisan mereka menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar
dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk
orang-orang yang saleh (QS. Ali Imron[3]: 114).
Demi masa. Sesungguhnya manusia itu
berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati
supaya menetapi kesabaran (QS. Al- `Ashr[103]: 1-3)
Kesungguhan
dalam beribadah bagi orang-orang sholeh juga diwujudkan dengan meninfaqkan dan
mensedekahkan hartanya. Sebagaimana firman Allah di dalam Al-Qur’an;
Dan belanjakanlah sebagian dari apa
yang telah kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang
diantara kamu; lalu ia berkata: “Ya Tuhanku, mengapa Engkau tidak menangguhkan
(kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan
aku termasuk orang-orang yang saleh?”
Lantas,
apa balasan bagi orang-orang yang telah mengabdikan hidupnya untuk Allah itu?
Pertama,
Allah telah menyediakan surga firdaus baginya (QS. Al-Kahfi[18]: 107-108). Kedua,
Allah menjadikan kehidupan yang baik dan tentram bagi mereka (QS. An-Nahl[16]:
97). Ketiga, Allah memberikan ampunan dan pahala yang besar bagi mereka itu
(QS. Al-Maidah[5]: 9). Keempat, Allah memberikan surga bagi mereka sehingga
mereka penuh kegembiraan berada dalam taman surga (QS. Ar-Rum[30]: 15. Kelima,
Allah menghapus kesalahan-kesalahannya dan diperbaiki keadaannya (QS.
Muhammad[47]: 2). Keenam, Allah memberinya rezeki (QS. At-Tolaq[65]: 11). Ketujuh,
iman dan amal saleh mendapatkan pahala yang tak terputuskan (QS.
Al-Insyiqoq[84]: 25)
(Apa tujuan sebuah karya sastra? Baca)
3.
Memilih kelemahan atas keperkasaan.
Yaitu
bersikap tawadhu`. Bersikap tawadhu` adalah salah satu ciri dari hamba-hamba
Allah yang mendapatkan kemuliaan. Dalam Al-Qur’an Suroh Al-Furqon ada 10
sifat-sifat hamba yang mulia. Pertama, tawadhu` (sopan, rendah hati, tidak
sombong)
Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha
Penyayang itu (ialah) orang-orang yang
berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa
mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik. (QS.
Al-Furqoon[25]: 63)
Kedua,
rajin melakukan sholat tahajud.
Dan orang yang melalui malam hari
dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka. (QS.
Al-Furqoon[25]: 64).
Ketiga,
takut kepada Allah dan selalu berdo`a agar dijauhkan dari siksaan-Nya.
Dan orang-orang yang berkata: “Ya
Tuhan kami, jauhkan azab jahannam dari kami, sesungguhnya azabnya itu adalah
kebinasaan yang kekal”. (QS. Al-Furqoon[25]: 65).
Keempat,
sederhana dalam membelanjakan hartanya.
Dan orang-orang apabila membelanjakan
(harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, adalah
(pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara demikian.
(QS. Al-Furqoon[25]: 67).
(Sebuah contoh cerpen sastra yang mencerahkan heheh. Baca "Aku Vs Guruku)
Kelima,
bebas dari perbuatan syirik, tidak melakukan perbuatan zina dan tidak terlibat
dalam pembunuhan.
Dan orang-orang yang tidak menyembah
tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina,
barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan)
dosa(nya), (QS. Al-Furqoon[25]: 68).
Keenam,
bertaubat dan mengerjakan amal saleh.
(yakni) akan dilipat gandakan azab
untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan
terhina. Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal
saleh; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah
Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. Dan orang yang bertaubat dan mengerjakan amal saleh, maka
sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya.
(QS. Al-Furqoon[25]: 69-71).
(Cerita tentang geliat surau-surau di kampung saya. Baca)
Ketujuh,
tidak berdusta dan tidak memberikan kesaksian palsu.
Dan orang-orang yang tidak memberikan
persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang
mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja)
dengan menjaga kehormatan dirinya. (QS. Al-Furqoon[25]: 72).
Kedelapan,
siap menerima teguran, kritikan yang membangun. Terpenting, seorang hamba yang
mulia harus kritis terhadap apapun. Bahkan, ketika mendengar ayat-ayat Allah Swt,
ia juga mendengarkan dengan kritis berfikirnya, atau cermat.
Dan orang-orang yang apabila diberi
peringatan dengan ayat-ayat Tuhan mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai
orang-orang yang tuli dan buta. (QS. Al-Furqoon[25]: 73).
(Membangun Indonesia dari diri sendiri. Baca)
Kesembilan,
selalu memohon kepada Allah untuk dijadikan Imam bagi orang-orang yang bertakwa.
Dan orang-orang yang berkata: “Ya
Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami
sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang
bertakwa. (QS. Al-Furqoon[25]: 74).
(Prinsip-Prinsip membuat karya ilmiah. Baca)
Kesepuluh,
dan hamba-hamba yang mulia dibalas oleh Allah martabat yang tinggi di Surga
dengan disambut penghormatan yang mulia.
Mereka itulah orang yang dibalasi
dengan martabat yang tinggi (dalam surga) karena kesabaran mereka dan mereka
disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya, mereka kekal di
dalamnya. Surga itu sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman. (QS.
Al-Furqoon[25]: 75-76).
(Cara membuat skenario film. Baca)
4.
Memilih diam atas kelebihan bicara.
Yaitu
meninggalkan ucapan yang di dalamnya tidak mengandung kebaikan. Dalam sebuah riwayat
dikatakan bahwa sholat adalah tiang agama, sedangkan diam adalah ibadah yang
lebih utama. Bersedekah mampu meredam murka Allah sedangkan diam itu merupakan
ibadah yang lebih utama. Puasa merupakan perisai dari api neraka namun diam itu
ibadah yang lebih utama. Jihad adalah puncaknya agama sedangkan diam itu ibadah
yang lebih utama.
(Mari belajar menulis. Baca)
“Diam
adalah perhiasan bagi orang yang berilmu dan penutup bagi orang yang bodoh”. “Diam
adalah akhlak yang paling mulia”. “Diam adalah perkara yang banyak manfaatnya
tetapi sedikit sekali orang yang mau melakukannya”. “Barang siapa beriman
kepada Allah Swt dan hari akhir maka lebih baik berkatalah dengan kebaikan atau
(jika tidak bisa) diamlah”. “Jagalah lidahmu kecuali untuk berbuat (berkata)
kebaikan, sesungguhnya dengan menjaganya kamu telah mengalahkan syaithan”.
(Cara Menjadi Pemenang. Baca)
Dalam
riwayat lain mengatakan: “Barang siapa banyak bicaranya maka banyaklah
kesalahannya, dan orang yang banyak salahnya berarti banyak dosanya sehingga
nerakalah sebaik-baik tempat bagi mereka”. Ini menjelaskan, bahwa banyak bicara
bisa memunculkan kesalahan-kesalahan yang tanpa kita sadari. Berbicara itu baik
namun semua akan buruk bila dilakukan dengan berlebihan. Sebab, diam dalam
pembahasan ini bukan berarti meninggalkan aktivitas bicara. Bicara adalah salah
satu bentuk komunikasi utama. Betapa banyak kejadian-kejadian yang tidak diharapkan malah terjadi, dalam banyak
kasus itu karena kurang atau sama sekali tidak ada komunikasi yang baik. Maka,
bicara itu baik, namun alangkah lebih baik meninggalkan bicara yang tidak
bermanfaat.
Wujud
pembicaraan yang tidak bermanfaat misalnya adalah ucapan yang kotor, mengadu
domba antar sesama, membuat kebohongan-kebohongan dengan beraneka tujuan,
membicarakan kebusukan orang lain, mencela, dan lain sebagainya. Ucapan-ucapan
yang tiada guna itu biasanya karena kita yang tidak bisa mengendalikan diri,
ini bisa melegitimasi sebuah ungkapkan itu, “Lidah memang tidak bertulang”. Lidah
yang tidak bertulang ini hebat, ia mampu memutar balikkan fakta. Sebuah kejadian
yang tidak terlalu diminati bisa menjadi menarik dengan berbagai bumbu yang
disajikan oleh lidah ini. Bahkan 10 fakta yang tidak ada korelasinya, akan
diolah seru oleh lidah ini, sehingga 10 fakta bisa menjadi terhubung dan
membuat opini tersendiri dan bila menyebar bisa menjadi propaganda yang
meresahkan masyarakat. Itulah, pekerjaan ahli propaganda dengan besarnya
potensi lidah.
Bagi
orang mu`min hendaknya ia harus sadar bahwa setiap ucapan yang keluar dari
bibirnya selalu ada malaikat pengawas yang selalu hadir. “Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melaikan ada di dekatnya
malaikat pengawas yang selalu hadir” (QS. Qoof[50]: 18).
Al-hasil,
berangkat dari firman Allah itu, yakni QS. Qoof[50]: 18, jika kita memang
gemar, atau berbakat berbicara maka alangkah baiknya kita salurkan bakat kita.
Yakni dengan berbicara namun didalamnya kita selipkan sebuah misi suci yakni
mengajak orang untuk berbuat kebaikan. Jika kita mampu beralih ke format
seperti itu, maka kita akan memasuki sebuah formulasi umat atau golongan yang berpredikat
“sebaik-baiknya
ummat atau golongan”.
“Dan hendaklah ada di antara kamu
segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan
mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”. (QS.
Ali-Imron[3]: 104)
Mengajak
orang menuju kebaikan dengan berbicara yang baik juga adalah perintah Allah
Swt, “Serulah (manusia) kepada jalan
Tuhanmu dengan hikmah dan tutur kata yang baik dan bantahlah mereka dengan cara
yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapatkan petunjuk” (QS. An-Nahl[16]: 125).
5.
Memilih maut atas kehidupan.
Menurut
pandangan orang-orang shufi, kematian mengekang keinginan nafsu. Barangsiapa keinginan
nafsunya mati, maka dia hidup. Maut terbagi empat bagian:
1.
Maut merah, yaitu menentang ajakan
hawa nafsu.
2.
Kematian putih, yaitu lapar, karena
lapar dapat menerangi batin dan memutihkan hati nurani; barangsiapa tidak
pernah kenyang, maka hiduplah kecerdasannya.
3.
Kematian hijau, yaitu memakai pakaian
usang penuh tambalan yang telah afkir dan tidak berharga, demi memenuhi sikap
zuhud dan qonaah.
4.
Kematian hitam, yaitu memikul
penderitaan dari perbuatan orang lain yang disebut Fanaa billah (merasa lenyap dirinya, karena tenggelam kepada
Allah), yaitu menyadari penderitaan itu pada hakikatnya berasal dari Allah Swt,
sebab melihat lenyapnya semua perbuatan tenggelam dalam perbuatan yang sangat
dicintainya.
Menurut
pandangan Al-Qur’an Al-Karim kematian itu juga ada empat;
1.
Mati biasa, kena bencana, kecelakaan.
Katakanlah: “Sekiranya kamu berada di
rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu
keluar (juga) ke tempat mereka terbunuh” (QS.
Ali-Imron[3]: 154. Janganlah kamu mengira
bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup
di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki. (QS. Ali-Imron[3]: 169). Dan Kami telah menolongnya dari kaum yang
telah mendustakan ayat-ayat Kami, Sesungguhnya mereka adalah kaum yang jahat,
maka Kami tenggelamkan mereka semuanya. (QS. Al-Anbiya`[21]: 77). Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah,
daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang
tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang
buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, (QS. Al-Maidah[5]: 3).
2.
Mati terbunuh atau dibunuh.
Dan tidak layak bagi seorang
mu`min membunuh seorang mu`min (yang
lain). Kecuali karena tersalah (tidak disengaja), barang siapa membunuh seorang
mu`min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang
beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si pembunuh
itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si pembunuh)
dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mu`min. maka (hendaklah si pembunuh)
memerdekakan hamba-sahaya yang mu`min. Dan jika ia (si pembunuh) dari kaum (kafir)
yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si
pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta
memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barang siapa yang tidak memperolehnya,
maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara
taubat kepada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan barangsiapa
yang membunuh seorang mu`min dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam,
kekal ia didalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutuknya serta
menyediakan azab yang besar baginya. (QS.
An-Nisa`[4]: 92-93).
3.
Mati karena hukuman.
Sesungguhnya pembalasan terhadap
orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka
bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kakimereka
dengan bertimbal balik atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian
itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka
beroleh siksaan yang benar. (QS. Al-Maidah[5]: 33).
4.
Mati bunuh diri.
Dan belanjakanlah (harta bendamu) di
jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan,
dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berbuat baik. (QS. Al-Baqoroh[2]: 195)
Setiap
manusia akan menemui kematian. “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami
akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang
sebesar-besarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (QS.
Al-Anbiya`[21]: 35). Ayat ini tentu saja akan lebih menyentuh seorang mu`min,
sebab ayat ini menepuk pipi kita dan menyadarkan dari kelalaian, bahwa
kehidupan ini hanya sementara. Cepat atau lambat kematian akan menghampiri kita.
Merenungkan
Al-Qur`an ayat ke 35 dari suroh Al-Anbiya` itu memang kita seharusnya
termotivasi untuk banyak beramal saleh. Sebab Malaikat penjabut nyawa tidak
pernah berdiskusi terlebih dulu dengan pasiennya. Manusia tidak pernah tahu
kapan dan dimana kematian akan menjemput.
Sesungguhnya Allah, hanya pada
sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan
hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat
mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada
seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS.
Luqman[31]: 34).
Kapan
dan dimana seseorang akan mati tidak akan bisa terdeteksi, bahkan dengan
komputer tercanggihpun. Yang bisa dilakukan manusia hanya banyak beramal saleh,
gemar membelanjakan harta di jalan Allah sebelum ajal datang.
Hai orang-orang yang beriman,
belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezki yang telah Kami berikan
kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan
tidak ada lagi persahabatan yang akrab dan tidak ada lagi syafa`at. Dan orang-orang
kafir itulah orang-orang yang zalim. (QS.
Al-Baqoroh[2]: 254).