5 JENJANG UNTUK MENGGAPAI KETAKWAAN YANG SEMPURNA

WACANAMARZUKI. Setiap Sholat Jum`at kita pasti mendengarkan Khotib menyampaikan tentang ajakan meningkatkan ketakwaan, tentu terkecuali bagi jama`ah yang tidak mendengarkan materi khutbah. Namun belum pasti setiap Jum`at kita mendengarkan khotib memberikan kiat-kiat tentang, bagaimanakah cara menggapai ketakwaan yang sempurna? Dalam tulisan saya kali ini saya akan memaparkan 5 fase dalam meniti derajat ketakwaan yang maksimal. Kiat-kiat ini saya adopsi dari Karya Syekh Muhammad Nawawi Ibnu Umar Al-Jawi, dalam kitabnya Nashoikhul `Ibad. Dalam tulisan saya ini, saya akan memperluas dengan konsep-konsep dari Al-Qur’an Al-Karim, sebagai referensi utama saya. Namun sebelum saya membahas tema itu secara lebih luas, terpenting lebih dulu saya akan membahas sedikit tentang takwa itu sendiri dari sudut pandang Al-Qur`an Al-Karim.

“Sidang Jum`ah rohimakumullah, mari kita tingkatkan iman dan takwa kita kepada Allah Subhanahu Wata`ala. Yaitu dengan menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-larangannya…”, begitulah kita mendengar definisi takwa dari para khotib Jum`ah itu. Secara etimologi takwa berasal dari  bahasa arab, dari kata kerja waqo-yaqi-wiqoyah, yang berarti memelihara. Yakni, memelihara diri kita dalam menjalani kehidupan ini supaya tetap berada di jalan kebenaran. Allah berfirman di dalam Al-Qur’an Al-Karim, suroh Al-An`am ayat 155;

“Dan Al-Qur`an itu adalah kitab yang kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat”,

Ayat ini memberikan pengertian kepada kita bahwa jalan ketakwaan adalah dengan mengikuti Al-Qur’an Al-Karim, lihat juga QS. Al-An`am[6]: 153, Al-Baqoroh[2]: 38, Al-Baqoroh[2]: 2, Ali Imron[3]: 138. Kenapa harus dengan Al-Qur`an? Sebab Al-Qur`an turun ke bumi ini selain sebagai petunjuk adalah juga berfungsi sebagai Furqon, pemisah antara baik dan buruk (lihat QS. Al-Baqoroh[2]: 185). Maka, dengan begitu kita akan mendapatkan apa yang dijanjikan Allah itu;

“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqoon dan menghapuskan segala kesalahan-kesalahanmu dan mengampuni (dosa-dosa) mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar” (QS. Al-Anfal[8]: 29).

(Ceramah Cak Nun di 40 hari Gus Dur, di Tebuireng Jombang. Baca)

Begitulah janji Allah Swt bagi orang-orang yang bertakwa. Nah, sesuai dengan tema diatas saya akan memaparkan tentang 5 jenjang untuk menggapai ketakwaan yang sempurna itu. Maka bagi muttaqin, atau orang yang bertakwa yang bertekad meningkatkan kapasitas takwanya hendaknya melampaui fase-fase ini;

1.     Memilih kesukaran atas kenikmatan.

Yaitu dengan cara memilih beban ibadah untuk meninggalkan segala sesuatu yang menyenangkan. Dalam khasanah Islam meninggalkan kesenangan demi ibadah biasanya disebut dengan zuhud. Diceritakan pada suatu hari datang seorang laki-laki datang kepada Nabi Muhammad Saw, kemudian laki-laki itu bertanya tentang amalan apa yang bisa membuat dirinya dicintai Allah Swt, dan dicintai manusia. Lantas, Sang Nabi pun menjawab bahwa amalan Zuhud terhadap dunia dapat dicintai Allah, dan  zuhud terhadap kepemilikan orang lain dapat dicintai manusia. 

(Uang kerap menyelimuti problematika manusia. Uang lagi-lagi uang. Baca)

Dalam wacana tasawuf, zuhud adalah meninggalkan sesuatu yang tidak ada manfaatnya kemudian memilih melakukan aktivitas yang bernilai ukhrowi. Zahid, yakni sebutan bagi pelaku zuhud. Zahid dalam setiap pekerjaannya dilakukan dengan niat hanya karena Allah Swt saja. Bagi zahid celaan manusia sudah dikesampingkan. Baginya, pujian ataupun celaan adalah sama saja.

Zuhud terhadap kepemilikan orang lain. Maksudnya adalah seseorang tiada sedikitpun terpetik untuk memiliki barang yang telah menjadi hak milik orang lain. Tentu saja tiada niat untuk memiliki dan juga tidak melakukan tindakan kriminal itu. Sebab kata Bang Napi, pencurian tidak hanya disebabkan oleh niat namun juga adanya kesempatan, maka seorang zahid meski ada kesempatan pun juga harus tidak melakukan tindakan kriminal. Bahkan seorang zahid harus bisa menjadi security terhadap orang lain. Zuhud merupakan implementasi dari ucapan,”Saya beriman”. Dan, orang yang beriman harus bisa  membuat orang-orang di sekelilingnya memiliki rasa aman.

 (Mengenang Sang Guru Bangsa, Gus Dur. Baca)

Zuhud merupakan wujud cinta seorang hamba terhadap Tuhan-Nya. Tentu, perilaku zuhud ini juga harus dalam koridor ajaran Islam. Sebab dalam berbagai kasus dimasyarakat ditemukan berbagai perilaku yang mengatas namakan ajaran Islam namun justru menyimpang dari ketentuan Al-Qur’an dan yang telah dicontohkan Nabi Muhammad Saw. Jika seorang Zahid menjalankan ibadah tanpa dasar Al-Qur’an dan Uswah Rosul, yang terjadi Zahid ini tidak bisa dikatakan melakukan zuhud. Justru yang terjadi ia hanya memperturutkan hawa nafsunya saja. Sebab wujud cinta kepada Allah adalah sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an:

Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah: “ta`atlah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir”. (QS. Ali-Imron[3]: 31)

2.     Memilih kesungguhan atas kebebasan.

Maksudnya kesungguhan dalam beribadah dengan cara meninggalkan kesenangan dunia. Kesungguhan beribadahnya diwujudkan dengan selalu meminta ampun kepada Allah Swt, dan selalu menghiasi hari-harinya dengan mengerjakan amal-amal sholeh. kelak di akhirat Allah akan mengampuni hamba itu, sebab Allah mengganti kejahatannya dengan kebajikan.

(yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina. Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Furqoon[25]: 69-70)

Seorang hamba yang sungguh-sungguh dalam menjalankan ibadahnya, ia akan bergegas dalam menjalankan amal-amal kebajikan. Dalam Al-Qur’an orang-orang yang bergegas dalam kebaikan dan mengajak orang lain untuk berbuat amal saleh merupakan termasuk orang-orang yang sholeh;

Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan mereka menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh (QS. Ali Imron[3]: 114).

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran (QS. Al- `Ashr[103]: 1-3)

Kesungguhan dalam beribadah bagi orang-orang sholeh juga diwujudkan dengan meninfaqkan dan mensedekahkan hartanya. Sebagaimana firman Allah di dalam Al-Qur’an;

Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang diantara kamu; lalu ia berkata: “Ya Tuhanku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?”

Lantas, apa balasan bagi orang-orang yang telah mengabdikan hidupnya untuk Allah itu?

Pertama, Allah telah menyediakan surga firdaus baginya (QS. Al-Kahfi[18]: 107-108). Kedua, Allah menjadikan kehidupan yang baik dan tentram bagi mereka (QS. An-Nahl[16]: 97). Ketiga, Allah memberikan ampunan dan pahala yang besar bagi mereka itu (QS. Al-Maidah[5]: 9). Keempat, Allah memberikan surga bagi mereka sehingga mereka penuh kegembiraan berada dalam taman surga (QS. Ar-Rum[30]: 15. Kelima, Allah menghapus kesalahan-kesalahannya dan diperbaiki keadaannya (QS. Muhammad[47]: 2). Keenam, Allah memberinya rezeki (QS. At-Tolaq[65]: 11). Ketujuh, iman dan amal saleh mendapatkan pahala yang tak terputuskan (QS. Al-Insyiqoq[84]: 25)

(Apa tujuan sebuah karya sastra? Baca)

3.     Memilih kelemahan atas keperkasaan.

Yaitu bersikap tawadhu`. Bersikap tawadhu` adalah salah satu ciri dari hamba-hamba Allah yang mendapatkan kemuliaan. Dalam Al-Qur’an Suroh Al-Furqon ada 10 sifat-sifat hamba yang mulia. Pertama, tawadhu` (sopan, rendah hati, tidak sombong)

Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang  yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik. (QS. Al-Furqoon[25]: 63)

Kedua, rajin melakukan sholat tahajud.

Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka. (QS. Al-Furqoon[25]: 64).

Ketiga, takut kepada Allah dan selalu berdo`a agar dijauhkan dari siksaan-Nya.

Dan orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, jauhkan azab jahannam dari kami, sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal”. (QS. Al-Furqoon[25]: 65).

Keempat, sederhana dalam membelanjakan hartanya.

Dan orang-orang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara demikian. (QS. Al-Furqoon[25]: 67).

(Sebuah contoh cerpen sastra yang mencerahkan heheh. Baca "Aku Vs Guruku)

Kelima, bebas dari perbuatan syirik, tidak melakukan perbuatan zina dan tidak terlibat dalam pembunuhan.

Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya), (QS. Al-Furqoon[25]: 68).

Keenam, bertaubat dan mengerjakan amal saleh.

(yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina. Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan orang yang bertaubat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya. (QS. Al-Furqoon[25]: 69-71).

(Cerita tentang geliat surau-surau di kampung saya. Baca)

Ketujuh, tidak berdusta dan tidak memberikan kesaksian palsu.

Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya. (QS. Al-Furqoon[25]: 72).

Kedelapan, siap menerima teguran, kritikan yang membangun. Terpenting, seorang hamba yang mulia harus kritis terhadap apapun. Bahkan, ketika mendengar ayat-ayat Allah Swt, ia juga mendengarkan dengan kritis berfikirnya, atau cermat.

Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Tuhan mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta. (QS. Al-Furqoon[25]: 73).

(Membangun Indonesia dari diri sendiri. Baca)

Kesembilan, selalu memohon kepada Allah untuk dijadikan Imam bagi orang-orang yang bertakwa.

Dan orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Furqoon[25]: 74).

(Prinsip-Prinsip membuat karya ilmiah. Baca)

Kesepuluh, dan hamba-hamba yang mulia dibalas oleh Allah martabat yang tinggi di Surga dengan disambut penghormatan yang mulia.

Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga) karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya, mereka kekal di dalamnya. Surga itu sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman. (QS. Al-Furqoon[25]: 75-76).

(Cara membuat skenario film. Baca)

4.     Memilih diam atas kelebihan bicara.

Yaitu meninggalkan ucapan yang di dalamnya tidak mengandung kebaikan. Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa sholat adalah tiang agama, sedangkan diam adalah ibadah yang lebih utama. Bersedekah mampu meredam murka Allah sedangkan diam itu merupakan ibadah yang lebih utama. Puasa merupakan perisai dari api neraka namun diam itu ibadah yang lebih utama. Jihad adalah puncaknya agama sedangkan diam itu ibadah yang lebih utama. 

(Mari belajar menulis. Baca)

“Diam adalah perhiasan bagi orang yang berilmu dan penutup bagi orang yang bodoh”. “Diam adalah akhlak yang paling mulia”. “Diam adalah perkara yang banyak manfaatnya tetapi sedikit sekali orang yang mau melakukannya”. “Barang siapa beriman kepada Allah Swt dan hari akhir maka lebih baik berkatalah dengan kebaikan atau (jika tidak bisa) diamlah”. “Jagalah lidahmu kecuali untuk berbuat (berkata) kebaikan, sesungguhnya dengan menjaganya kamu telah mengalahkan syaithan”. 

(Cara Menjadi Pemenang. Baca)

Dalam riwayat lain mengatakan: “Barang siapa banyak bicaranya maka banyaklah kesalahannya, dan orang yang banyak salahnya berarti banyak dosanya sehingga nerakalah sebaik-baik tempat bagi mereka”. Ini menjelaskan, bahwa banyak bicara bisa memunculkan kesalahan-kesalahan yang tanpa kita sadari. Berbicara itu baik namun semua akan buruk bila dilakukan dengan berlebihan. Sebab, diam dalam pembahasan ini bukan berarti meninggalkan aktivitas bicara. Bicara adalah salah satu bentuk komunikasi utama. Betapa banyak kejadian-kejadian yang  tidak diharapkan malah terjadi, dalam banyak kasus itu karena kurang atau sama sekali tidak ada komunikasi yang baik. Maka, bicara itu baik, namun alangkah lebih baik meninggalkan bicara yang tidak bermanfaat.

Wujud pembicaraan yang tidak bermanfaat misalnya adalah ucapan yang kotor, mengadu domba antar sesama, membuat kebohongan-kebohongan dengan beraneka tujuan, membicarakan kebusukan orang lain, mencela, dan lain sebagainya. Ucapan-ucapan yang tiada guna itu biasanya karena kita yang tidak bisa mengendalikan diri, ini bisa melegitimasi sebuah ungkapkan itu, “Lidah memang tidak bertulang”. Lidah yang tidak bertulang ini hebat, ia mampu memutar balikkan fakta. Sebuah kejadian yang tidak terlalu diminati bisa menjadi menarik dengan berbagai bumbu yang disajikan oleh lidah ini. Bahkan 10 fakta yang tidak ada korelasinya, akan diolah seru oleh lidah ini, sehingga 10 fakta bisa menjadi terhubung dan membuat opini tersendiri dan bila menyebar bisa menjadi propaganda yang meresahkan masyarakat. Itulah, pekerjaan ahli propaganda dengan besarnya potensi lidah.

Bagi orang mu`min hendaknya ia harus sadar bahwa setiap ucapan yang keluar dari bibirnya selalu ada malaikat pengawas yang selalu hadir. “Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melaikan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir” (QS. Qoof[50]: 18).

Al-hasil, berangkat dari firman Allah itu, yakni QS. Qoof[50]: 18, jika kita memang gemar, atau berbakat berbicara maka alangkah baiknya kita salurkan bakat kita. Yakni dengan berbicara namun didalamnya kita selipkan sebuah misi suci yakni mengajak orang untuk berbuat kebaikan. Jika kita mampu beralih ke format seperti itu, maka kita akan memasuki sebuah formulasi umat atau golongan yang berpredikat “sebaik-baiknya ummat atau golongan”.

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”. (QS. Ali-Imron[3]: 104)

Mengajak orang menuju kebaikan dengan berbicara yang baik juga adalah perintah Allah Swt, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan tutur kata yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapatkan petunjuk” (QS. An-Nahl[16]: 125).

5.     Memilih maut atas kehidupan.

Menurut pandangan orang-orang shufi, kematian mengekang keinginan nafsu. Barangsiapa keinginan nafsunya mati, maka dia hidup. Maut terbagi empat bagian:

1.     Maut merah, yaitu menentang ajakan hawa nafsu.

2.     Kematian putih, yaitu lapar, karena lapar dapat menerangi batin dan memutihkan hati nurani; barangsiapa tidak pernah kenyang, maka hiduplah kecerdasannya.

3.     Kematian hijau, yaitu memakai pakaian usang penuh tambalan yang telah afkir dan tidak berharga, demi memenuhi sikap zuhud dan qonaah.

4.     Kematian hitam, yaitu memikul penderitaan dari perbuatan orang lain yang disebut Fanaa billah (merasa lenyap dirinya, karena tenggelam kepada Allah), yaitu menyadari penderitaan itu pada hakikatnya berasal dari Allah Swt, sebab melihat lenyapnya semua perbuatan tenggelam dalam perbuatan yang sangat dicintainya.

Menurut pandangan Al-Qur’an Al-Karim kematian itu juga ada empat;

1.     Mati biasa, kena bencana, kecelakaan.

Katakanlah: “Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ke tempat mereka terbunuh” (QS. Ali-Imron[3]: 154. Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki. (QS. Ali-Imron[3]: 169). Dan Kami telah menolongnya dari kaum yang telah mendustakan ayat-ayat Kami, Sesungguhnya mereka adalah kaum yang jahat, maka Kami tenggelamkan mereka semuanya. (QS. Al-Anbiya`[21]: 77). Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, (QS. Al-Maidah[5]: 3).

2.     Mati terbunuh atau dibunuh.

Dan tidak layak bagi seorang mu`min  membunuh seorang mu`min (yang lain). Kecuali karena tersalah (tidak disengaja), barang siapa membunuh seorang mu`min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si pembunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si pembunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mu`min. maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba-sahaya yang mu`min. Dan jika ia (si pembunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barang siapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara taubat kepada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan barangsiapa yang membunuh seorang mu`min dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia didalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya. (QS. An-Nisa`[4]: 92-93).

3.     Mati karena hukuman.

Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kakimereka dengan bertimbal balik atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang benar. (QS. Al-Maidah[5]: 33).

4.     Mati bunuh diri.

Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al-Baqoroh[2]: 195)

Setiap manusia akan menemui kematian. “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebesar-besarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (QS. Al-Anbiya`[21]: 35). Ayat ini tentu saja akan lebih menyentuh seorang mu`min, sebab ayat ini menepuk pipi kita dan menyadarkan dari kelalaian, bahwa kehidupan ini hanya sementara. Cepat atau lambat kematian akan menghampiri kita.

Merenungkan Al-Qur`an ayat ke 35 dari suroh Al-Anbiya` itu memang kita seharusnya termotivasi untuk banyak beramal saleh. Sebab Malaikat penjabut nyawa tidak pernah berdiskusi terlebih dulu dengan pasiennya. Manusia tidak pernah tahu kapan dan dimana kematian akan menjemput.

Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Luqman[31]: 34).

Kapan dan dimana seseorang akan mati tidak akan bisa terdeteksi, bahkan dengan komputer tercanggihpun. Yang bisa dilakukan manusia hanya banyak beramal saleh, gemar membelanjakan harta di jalan Allah sebelum ajal datang.

Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi persahabatan yang akrab dan tidak ada lagi syafa`at. Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim. (QS. Al-Baqoroh[2]: 254).

Tentang penulis :

Marzuki Ibn Tarmudzi, pernah mencicipi sedikit segarnya lautan ilmu di Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang, Jawa Timur. Hobinya yang suka nyorat-nyoret kertas ini dimulai semenjak nyantri. Kini, hobinya itu dituangkan di berbagai media online, itung-itung sebagai aksi dari ; “بلغوا عني ولو أية “,” sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat ”.