Aku pernah jatuh cinta. Bukan cinta yang megah, bukan cinta dengan kembang api dan parade bunga. Tapi cinta yang sunyi—yang tumbuh diam-diam di lorong kantor, di balik layar monitor, di sela suara mesin fotokopi dan notifikasi rapat.
Dia satu kantor denganku. Tapi aku tak pernah benar-benar menatap wajahnya. Aku takut. Sekali kutatap, malam-malamku berantakan. Aku mimpi. Berkali-kali. Seolah semesta sedang memainkan ulang wajahnya yang manis di layar dalam kepalaku.
Lalu aku mulai belajar berdamai. Aku mencoba menghapus warna dari kenangan. Meyakinkan diriku bahwa dia biasa saja. Bahwa kecantikan yang kulihat hanyalah ilusi dari hatiku yang kesepian.
Tiga bulan. Aku menahan diri. Menjauh. Menunduk. Dan saat aku merasa telah sembuh, aku bertemu matanya lagi.
Dan sekali lagi, aku kalah.
Mungkin Tuhan tahu bahwa aku terlalu rapuh untuk terus diuji. Maka, Dia ambil dia dariku. Dipindahkan. Hilang dari ruang kerja. Dan anehnya, kursi kosong tempat dia biasa duduk terasa lebih ramai dari kantor yang penuh tawa.
Katanya dia kini bekerja sebagai sales minuman bergizi. Aku tidak mencarinya. Tapi hidup ini lucu—kadang tak perlu kau cari, yang kau rindukan justru berdiri di tikungan jalan.
Aku melihatnya. Ia melihatku. Tapi tak ada senyum. Hanya tatap singkat, lalu pergi. Seperti angin yang tak punya waktu untuk berhenti.
Beberapa hari kemudian, kami bertemu lagi. Kali ini di lampu merah. Tapi entah dia tahu aku ada di sana atau tidak. Dan aku pun terlalu pengecut untuk memberi tanda.
Kerinduan ini menjadi puisi yang tak pernah selesai kutulis.
Dalam bayanganku, dia seperti lukisan yang tak pernah selesai. Begitu indah... namun tak pernah bisa kugenggam.
Tapi aku sadar—dia bukan wanita yang tumbuh dari melankolia. Mungkin dia menilai pria dari tinggi kariernya, kilau sepatunya, luas jaringannya. Sedang aku… aku cuma lelaki yang berdiri di pinggir mimpi, berharap diperhatikan oleh dunia yang terlalu sibuk.
Cinta ini bukan untuk dimenangkan. Cinta ini adalah doa yang tak pernah diaminkan.
Bagaimana aku bisa melupakanmu, kalau setiap hari aku masih melewati rumahmu?
Bagaimana aku bisa lepas, kalau teman-temanku tanpa sadar memajang fotomu di grup WA, lengkap dengan caption ringan yang justru menusuk?
Bagaimana aku bisa berhenti mengingatmu, kalau wajahmu—mirip penyanyi yang sering muncul di linimasa—terus mengingatkanku padamu?
Bagaimana aku bisa tidak rindu, kalau senyummu masih terlalu manis untuk dibuang dari kepalaku?
Kadang aku membayangkan, entah kapan, entah di mana… kita bertemu lagi. Di tempat yang sepi, di antara angin dan suara burung. Tidak ada siapa-siapa. Hanya kau dan aku.
Dan di situ… izinkan aku bicara.
Aku ingin minta maaf. Maaf karena dulu aku selalu diam. Selalu menunduk. Aku tahu kamu pasti menganggapku sombong. Tapi bukan karena aku tak peduli—justru karena aku terlalu peduli hingga tak tahu harus berbuat apa.
Kamu harus tahu... hampir satu tahun, kamu datang di setiap mimpiku. Bahkan saat aku sudah berdoa agar tidak. Tapi kamu tetap datang. Muncul dengan wajah yang tak bisa kuhapus.
Maafkan aku. Karena aku tidak cukup kuat untuk berteman denganmu, apalagi mencintaimu dengan terang.
Cinta ini kutanam dalam diam. Dalam tanah sunyi yang hanya aku tahu.
#macho #catatankehidupan