KISAH CINTA MULTIDISIPLIN DI BAWAH GENTENG BOCOR

 

Di balik rerimbunan bambu dan suara ayam yang tak tahu waktu, berdiri sebuah pondok pesantren bernama Darul Lupa, tempat Kipli menimba ilmu dan menimbun utang kantin. Kipli bukan santri sembarangan. Ia adalah santri hybrid—rajin mengaji di madrasah diniyah, tapi alergi berat terhadap sekolah formal.

"Sekolah itu bikin pusing. Kurikulum berubah kayak status WhatsApp mantan. Madrasah lebih ajeg," ucapnya santai sambil menggambar karikatur gurunya di belakang buku sejarah.

Minat belajarnya pun aneh. Kalau hari ini dia cinta filsafat, maka ia akan membaca Al-Farabi sambil makan peyek. Besoknya, bisa tiba-tiba membaca sejarah Byzantium, sambil nyemil rengginang. Ia menyebut dirinya "santri multidisiplin rasa buffet."

Arlis, sang putri Kiai Mahfudz, adalah perwujudan mitologi santri. Tinggi, anggun, pintar, dan punya koleksi mukena warna-warni. Kipli jatuh cinta padanya seperti jatuh dari tangga masjid: keras dan tak terhindarkan.

Alih-alih menulis puisi atau surat cinta, Kipli malah menulis esai akademik: "Perempuan dalam Perspektif Historiografi Islamik: Studi Kasus Arlis binti Mahfudz."

"Bro, itu bukan cinta, itu skripsi," komentar Tohir sambil makan mi instan mentah.

"Aku ilmiah, bukan alay," balas Kipli dengan hidung kembang kempis.

Kipli aktif di organisasi santri. Gayanya dalam memimpin rapat seperti kombinasi Bung Karno dan tukang parkir. Pernah dalam satu sidang, dia berkata:

"Kawan-kawan, kalau Alexander Agung bisa menaklukkan Persia, kita pasti bisa menertibkan antrean mandi!"

Arlis duduk sebagai sekretaris, mencatat dengan anggun sambil sesekali menghela napas, antara kagum dan khilaf. Dari sini, benih cinta tumbuh seperti lumut di ember wudhu: pelan, tapi pasti.

Sebagai anggota redaksi buletin pondok, Kipli adalah penulis paling absurd. Ia menulis tajuk: "Dilema Tasawuf dan Cinta Tak Terbalas dalam Bingkai Peradaban Dinasti Abbasiyah."

Arlis, sebagai editor, nyaris menyerah.

"Kamu bisa nggak sih, nulis yang normal?"

"Cinta ini tidak normal, Lis."

"Cinta siapa?"

"Eh... maksudku cinta secara konseptual."

Ustadz Najib, guru antropologi, bilang, "Pesantren itu miniatur dunia."

Kipli mengangguk seolah paham, lalu membuat peta sosiologis pondok: Kamar A sebagai kaum borjuis karena punya dispenser, Kamar B sebagai proletar karena kipas anginnya rusak. Kamar Arlis? Ditandai sebagai "Wilayah Otoritas Khilafah Romantis."

"Kalau pondok ini perang saudara, aku sudah punya strategi geopolitik," gumamnya sambil menggambar bendera pemberontakan pakai pulpen warna pink.

Suatu hari, kabar buruk datang: Arlis dilamar alumni pondok yang kini jadi dosen sejarah dan kolektor batu akik.

Dunia Kipli runtuh. Ia duduk di depan buletin pondok, menatap puisinya yang belum naik cetak: "Cinta dalam Tafsir Ibn Khaldun dan Tahlilan Emosional."

"Bro," kata Tohir, "hidupmu kayak novel sejarah tragis."

"Mungkin Arlis bukan bab utama. Dia cuma glosarium yang cantik."

Tohir menepuk pundaknya seperti jenderal yang melepas pasukan cadangan ke perang yang sudah kalah.

Malam itu, Kipli membuka dua kitab: Al-Hikam dan sejarah dunia karya Toynbee. Ia membaca:

"Keinginan adalah awal penderitaan."

Ia menutup buku, tersenyum seperti orang yang gagal ujian tapi dapat nasi bungkus gratis. Di buku hariannya ia menulis:

"Cinta tak harus dimiliki, cukup dipelajari. Seperti sejarah. Atau kantin yang tutup pas jam istirahat."

Ia pun berjalan ke surau, melangkah dengan sarung bergoyang pelan, meninggalkan jejak santri yang patah hati dengan martabat dan teori sejarah yang tetap absurd.


TAMAT

 

Tentang penulis :

Marzuki Ibn Tarmudzi, pernah mencicipi sedikit segarnya lautan ilmu di Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang, Jawa Timur. Hobinya yang suka nyorat-nyoret kertas ini dimulai semenjak nyantri. Kini, hobinya itu dituangkan di berbagai media online, itung-itung sebagai aksi dari ; “بلغوا عني ولو أية “,” sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat ”.