Sebuah Janji Membuat Buku, dan kini terwujud hehehehe
Saya tidak pernah punya cita-cita jadi ketua. Cita-cita saya waktu mondok itu sederhana: khatam Alfiyah, tidur cukup, dan punya lemari sendiri. Tapi begitulah, hidup di pesantren kadang seperti undian arisan emak-emak—kita bisa terpilih meski tidak pernah merasa ikut.
Hari itu, pengurus baru diumumkan. Semua santri ngumpul di aula. Suasana tegang. Saya duduk di barisan tengah, berharap nama saya tidak disebut. Karena kalau disebut, artinya saya harus kerja. Dan kalau saya kerja, siapa yang tidur untuk saya?
"Ketua Organisasi Santri: Gung Prasetya."
Saya refleks nengok ke belakang. Siapa tuh Gung Prasetya?
Ternyata saya.
Dan di situlah segalanya berubah. Termasuk frekuensi saya bertemu dengan Intan, si Wakil Ketua yang dari awal saya lihat sudah seperti pemeran utama FTV Ramadan. Cantik, tinggi, kulitnya putih semacam plastik baru. Kalau dia berdiri dekat kipas angin, saya yakin cahaya akan memantul dari wajahnya.
Sejak hari itu saya resmi jadi Ketua Organisasi Santri. Gelar yang lebih berat dari ijazah madrasah, lebih menegangkan dari ujian balaghah, dan lebih tidak saya inginkan ketimbang giliran piket kamar mandi.
Tugas pertama saya sebagai ketua? Rapat perdana.
Dan
siapa yang duduk di sebelah saya saat itu? Intan.
Wakil ketua.
Satu-satunya alasan saya tiba-tiba mencatat rapat dengan tulisan yang bisa
dibaca manusia.
“Mas Gung, nanti kita bagi-bagi divisi ya. Yang putra sama antum, yang putri saya urus,” katanya sambil membetulkan kerudung. Saya tidak tahu kenapa, tapi detik itu saya merasa ingin segera membagi divisi sebanyak mungkin. Bahkan kalau bisa, tiap sendok di dapur pun punya divisi sendiri.
Saya mengangguk cepat. Secepat itu pula hati saya merasakan getaran-getaran aneh. Bukan karena jatuh cinta, saya kira. Mungkin karena kipas angin rusak dan keringat mengalir deras.
Saya
ingat betul: setiap Intan berbicara, saya pura-pura memikirkan program kerja.
Padahal dalam hati saya sibuk menghitung berapa detik ia menatap saya.
Tiga detik penuh!
Itu lebih lama dari pandangan ustadz Tahfidz tiap kali saya ketahuan ngantuk.
Di
antara santriwati, Intan seperti malaikat yang hafal jadwal piket.
Dia cerdas, kalem, dan punya tulisan tangan yang kalau dijual bisa laku sebagai
font premium.
Dia anak orang kaya. Setiap hari tasnya ganti, seolah-olah pabrik Eiger itu
keluarganya sendiri.
Sementara saya? Sandal jepit saya sudah robek dan disambung dengan potongan
kabel tembaga.
Tapi saya bangga. Itu sandal limited edition—cuma saya yang punya, dan
hanya bisa dipakai jalan dua meter sebelum keseleo.
Dan jangan tanya soal baju. Baju koko saya adalah baju yang sama saya pakai sejak ospek, akrab dengan segala jenis pewangi masjid dan bekas tinta pulpen.
Saya tahu, antara saya dan Intan itu seperti antara kitab kuning dan whiteboard digital: satu klasik dan kucel, satu lagi bersih, futuristik, dan pakai stylus.
Saya
mulai menunjukkan gejala aneh.
Setiap mendengar namanya disebut, saya refleks menengok, padahal yang disebut
"Intan" itu program kerja, bukan orangnya.
Saya rela ikut rapat demi rapat, bahkan yang tak ada hubungannya dengan divisi
saya.
“Mas Gung, kenapa ikut rapat seksi dapur?”
“Sebagai ketua, saya harus mengawasi semua,” jawab saya sok tegas. Padahal
jelas, saya cuma ingin duduk dua kursi dari Intan.
Saya mulai menulis namanya di buku catatan, di antara poin-poin program kerja:
- Lomba adzan
- Gotong royong
- INTAN 😳
- Penanaman pohon
Saya
juga mulai sering berdoa:
“Ya Allah, kalau dia memang jodohku, dekatkan. Kalau bukan… ya Allah, jangan
langsung jauh-jauh amat…”
Suatu
hari, saya dan Intan harus mempersiapkan acara pondok. Berdua, di ruang
organisasi.
Dia duduk sambil menulis. Saya duduk sambil berusaha bernapas normal.
Dia tanya, “Mas Gung, menurut antum, acara ini lebih baik dibuka dengan hadrah atau pembacaan maulid?”
Saya
jawab, “Eh… bisa dua-duanya.”
Padahal dalam hati saya cuma teriak: “KAMU BISA NGGA GAK CAKEP DULU LAGI?”
Itu momen paling gugup dalam hidup saya, lebih gugup dari waktu pertama kali diminta jadi imam subuh pas ngantuk berat.
Saya tahu, saya bukan siapa-siapa. Tapi kadang, menjadi siapa-siapa itu dimulai dari duduk di sebelah seseorang yang bikin kita merasa ingin jadi lebih baik.
Dan meski dia tidak tahu betapa saya mengaguminya—atau pura-pura tidak tahu—saya merasa beruntung. Karena pernah mencintai diam-diam, dalam rapat-rapat sunyi, di antara proposal dan absen, yang ternyata lebih mendebarkan dari surat cinta mana pun.
Organisasi kami akhirnya dapat anggaran. Itu artinya: seragam baru.
Warna biru laut. Katanya supaya kelihatan sejuk dan profesional. Tapi buat saya, warna itu hanya punya satu arti: kesempatan untuk tampil keren di depan Intan.
Saya ambil ukuran paling pas. Saya setrika sendiri. Saya pakai parfum pinjaman dari teman kamar, yang aromanya antara wangi buah-buahan dan pengharum mobil.
Lalu saya berdiri di depan kaca lemari asrama, dengan ekspresi penuh harapan.
“Ya Allah, mungkin ini saatnya dia melihatku bukan sebagai makhluk berkacamata yang rambutnya seperti sajadah habis dicuci…”
Hari itu ada rapat akbar. Semua pengurus hadir, pakai seragam baru. Aula penuh, tapi saya cuma melihat satu orang: Intan.
Dan seperti biasanya, dia terlihat luar biasa. Bahkan saya yakin, kalau seragamnya dilelang, harganya bisa mengalahkan kaos Lionel Messi.
Munculnya Para Rival: Mereka yang Lebih Segalanya
Masalahnya bukan pada saya. Masalahnya adalah: di organisasi ini, banyak cowok yang tampan-tampan, humoris, dan punya power bank sendiri. Ini penting, karena punya power bank adalah status sosial tinggi di pondok. Bisa nyetrum hape orang, berarti bisa nyetrum hati orang juga.
Sebut saja:
- Hasan: anak pengusaha konveksi. Rambutnya selalu rapi seperti habis dicetak. Jokes-nya selalu lucu, bahkan ustadz pun ketawa.
- Akbar: anak orang kaya dari kota. Setiap malam kirim makanan via ojek online. Pernah sekali traktir bakso seluruh seksi kebersihan. Bahkan sapu pun senyum-senyum.
- Zaid: alumni lomba pidato. Suaranya bariton, baca pengumuman saja bisa bikin bulu kuduk berdiri.
Saya? Anak dusun yang kalau makan harus cari sambel sisa biar nambah nasi. Lucu? Paling lucu waktu salah baca doa di acara resmi.
Saya mulai curiga. Intan sering ngobrol sama Hasan. Mereka tertawa. Tertawa, saudara-saudara! Itu bukan sinyal biasa!
Maka dimulailah penyelidikan diam-diam.
Saya pasang telinga setiap Hasan ngobrol. Saya perhatikan Intan dari jauh. Saya catat frekuensi tatapan mereka (ya, saya punya waktu sebanyak itu).
Suatu hari saya lihat Intan menulis di buku, lalu Hasan datang dan duduk di sampingnya. Mereka terlihat… serasi.
Saat itu, saya merasa seperti tokoh utama sinetron yang berdiri di pinggir lapangan sambil melihat gadis pujaannya bermain bola bersama cowok lain—dan bolanya tidak pernah datang ke saya.
Suatu malam setelah rapat, saya memberanikan diri untuk ngobrol agak lama dengan Intan.
Saya: “Intan, antum kelihatan sibuk akhir-akhir ini ya?”
Intan: “Iya, soalnya bagian perlengkapan kurang orang.”
Saya: “Kalau butuh bantuan,
bilang aja. Saya kan ketua…”
(Senyum saya leleh seperti keju meleleh.)
Intan: “Makasih ya, Mas Gung. Antum baik.”
.
Itu dia. Kode universal dari cewek untuk cowok yang tidak masuk kategori
"gebetan".
Saya senyum-senyum, tapi
dalam hati berkata:
“Fix, saya masuk ke dalam kategori Kakak Rohani.”
Setiap malam, saya berdoa lama.
Kadang bukan karena khusyuk. Tapi karena saya bingung harus mulai dari mana.
“Ya Allah, Engkau tahu isi hatiku. Dan juga tahu isi dompetku. Maka tolong, ya Allah, kalau bisa, tutuplah sedikit mata Intan dari pria-pria berduit…”
Saya tahu doa itu tidak ilmiah. Tapi saya tetap baca. Karena kadang, iman dan rasa tidak tahu malu itu bisa saling menopang.
Hari-hari terus berlalu. Intan tetap cantik, tetap pintar, dan tetap dikelilingi pria-pria berpotensi.
Sementara saya? Saya tetap Gung yang sandalnya disambung dengan kabel, yang kerjanya memantau rapat dan menyembunyikan cinta di balik daftar program kerja.
Saya sadar, mungkin saya bukan siapa-siapa. Tapi saya yakin, saya adalah siapa-siapanya Allah untuk merasa seperti ini.
Dan cinta—biarpun tak pernah berbalas—tetaplah cinta. Ia punya tempatnya sendiri. Di tengah malam, di antara lembaran proposal, dan di catatan kecil yang tak pernah saya tunjukkan ke siapa-siapa.
Saya tidak pernah ikut lomba menulis puisi. Tapi sejak mengenal Intan, saya merasa seperti Chairil Anwar yang tersesat di rak sandal.
Puisi saya sederhana. Kadang aneh. Kadang ngaco. Tapi selalu tulus. Dan semua saya tulis di belakang buku notulen rapat, di antara catatan:
- “Lomba Pidato: 15 Oktober”
- “Pencatatan kas kegiatan”
- dan
- “Intan seperti doa yang tidak pernah saya lafalkan keras-keras…”
Suatu hari saya menulis satu puisi agak panjang, terinspirasi dari caranya menulis cepat tanpa mencoret. Judulnya: "Diksi-Diksi yang Aku Mau Kau Baca, Tapi Tidak dengan Suaramu"
Isinya antara lain:
“Intan, namamu seperti
makhraj huruf-huruf suci,
Kadang aku takut melafalkan,
Karena lidahku terlalu berdosa untuk menyebut yang mulia…”
Waktu itu saya merasa ini
adalah puncak kesantrian sekaligus kepuitisan saya. Tapi begitu saya baca ulang…
Saya pengin mukul diri sendiri pakai sendok warteg.
Saya mulai mencatat hal-hal kecil tentang Intan. Seperti detektif cinta yang salah jurusan, saya menulis:
- Hari Senin: Intan pakai kerudung biru tua, cocok dengan warna seragam. Catatan: dia suka warna biru?
- Hari Rabu: Intan senyum pas baca pengumuman. Catatan: mungkin dia suka font Comic Sans?
- Hari Kamis: Intan nggak hadir rapat. Catatan: dunia terasa hampa.
Saya tahu, ini tidak sehat. Tapi saya pikir, selama saya tidak mencuri sendal siapa pun, masih aman secara akhlak.
Setiap kali saya lihat Intan jalan bersama teman-teman akhwat lain, saya ingin bertanya:
"Kenapa kamu tidak melihatku seperti aku melihatmu?"
Tapi tentu saya sadar. Itu pertanyaan yang levelnya hanya bisa ditanyakan oleh pemeran utama drama Korea atau… pembicara motivasi yang gagal move on.
Saya? Saya hanya ketua organisasi yang kadang salah menyebut nama divisi sendiri.
Karena saya santri, saya pikir: cinta juga harus terstruktur. Maka saya buat proposal cinta. Ya, betulan proposal. Formatnya seperti proposal kegiatan pondok.
Judul:
Peningkatan Kualitas Hubungan Emosional antara Ketua dan Wakil Ketua OSM
Latar Belakang:
Hubungan antar pengurus penting untuk soliditas organisasi. Maka perlu pendekatan yang tidak hanya profesional, tapi juga personal (tapi tetap syar’i tentunya).
Tujuan:
- Meningkatkan semangat kerja tim.
- Menumbuhkan rasa saling memahami.
- Kalau Allah ridha, mungkin... lebih dari sekadar kerja tim?
Anggaran:
- Pulpen warna-warni: 5.000
- Kertas surat: 2.000
- Keberanian: nihil
- Rasa cemas: tak terhingga
Proposal ini tidak pernah saya kirim. Bahkan saya simpan di balik mushaf kecil saya, semacam isyarat bahwa cinta ini suci, tapi tidak perlu diumbar.
Setiap kali saya duduk dekat Intan di rapat, saya berpikir:
“Kalau aku jujur, akankah semuanya berubah?”
Lalu hati saya menjawab sendiri:
“Iya. Jadi aneh. Jangan. Rapikan saja hatimu.”
Karena itu saya hanya bisa
tersenyum setiap kali dia berkata,
“Mas Gung, antum capek ya? Makasih ya udah bantu terus…”
Padahal saya tidak capek. Saya bahkan bisa angkat lemari demi senyuman itu.
Intan tetap berjalan dalam hidup saya seperti matahari pagi yang muncul sebentar lalu tertutup awan. Saya tetap berjalan dalam hidupnya seperti petugas piket yang datang-dan-pergi tak pernah diingat.
Tapi saya tidak menyesal menulis puisi-puisi konyol itu, menyusun proposal absurd itu, dan mencatat hal-hal kecil yang tak penting bagi dunia, tapi penting bagi saya.
Karena cinta yang tidak pernah dikirim kadang lebih indah dari cinta yang sampai… lalu rusak di tangan kenyataan.
Kopi sachet adalah penemuan terbaik umat manusia setelah mukena wangi dan sandal yang tidak jodoh sebelah.
Dan di pondok, kopi sachet adalah mata uang kedua setelah pulsa. Bisa dipakai buat nyogok teman ganti piket, bisa jadi penawar begadang, dan yang paling sakral: teman merenung soal cinta yang tak pasti.
Malam itu, saya duduk di belakang masjid. Gelap. Sepi. Hanya ada suara jangkrik dan doa-doa anak kelas akhir yang sedang hafalan mutqin. Saya membuka satu bungkus kopi dan menuangnya ke dalam gelas plastik legendaris yang sudah agak kekuningan karena sejarah.
Saya aduk pelan, seperti mengaduk hati saya sendiri yang sedari tadi campur aduk antara suka, harap, dan fakta rekening dompet yang minus.
Munculnya Kompetisi yang Mengguncang
Kabar itu datang seperti
tamu tak diundang:
"Intan ikut lomba Tilawah
antarpondok."
Heboh. Geger. Semua pengurus membahasnya. Bahkan teman saya, Amir, sampai nyeletuk:
“Kalau suaranya kayak gitu, mungkin malaikat pun tepuk tangan.”
Saya tertawa, tapi dengan wajah seperti tahu bulat kedaluwarsa.
Saya tahu Intan memang punya suara merdu. Saya pernah dengar dia baca Al-Qur’an waktu pembukaan kegiatan. Suaranya bening, seperti embun jatuh di daun talas. Saya sendiri kalau baca tilawah, suaranya kayak truk mundur.
Dan masalahnya, wakil peserta tilawah dari pondok kami adalah… Zaid. Ya, Zaid—rival cinta saya yang punya suara seperti imam masjid haramain dan rambut klimis licin seperti spons cuci piring baru.
Adegan Panggung dan Jarak
Hari lomba tiba.
Saya duduk paling belakang, bersama rombongan suporter. Tapi mata saya hanya tertuju ke dua orang di depan: Intan dan Zaid.
Mereka duduk berdampingan, pakai baju seragam lomba, dan—ini bagian yang paling menyayat—tertawa bersama. Saya tidak tahu mereka tertawa soal apa, tapi yang jelas itu bukan lelucon saya.
Saat Intan maju ke panggung, semua mendadak diam. Suaranya mulai mengalun.
“Bismillahirrahmanirrahim…”
Saya nyaris meneteskan air
mata. Tapi bukan karena haru. Lebih karena sadar:
"Saya jatuh cinta pada seseorang
yang sedang mengejar langit, sementara saya masih sibuk nyari sinyal cinta di
bumi."
Dialog Canggung (yang Lagi-Lagi Hanya di Kepala)
Dalam kepala saya, saya maju ke panggung, mencuri mikrofon, lalu berkata:
“Wahai para juri, wahai dunia! Cinta saya lebih tulus daripada suara Zaid yang empuk itu!”
Tapi kenyataannya, saya hanya duduk kaku sambil memegangi sendok plastik bekas makan bubur.
Setelah acara selesai, saya mencoba menghampiri Intan, tapi Zaid lebih dulu. Mereka ngobrol. Saya berdiri tiga meter dari mereka, seperti satpam bayangan.
Saya tersenyum kaku, dan dalam hati berkata:
“Kalau cinta ini kompetisi… saya gugur di babak penyisihan.”
Surat yang Tak Pernah Saya Kirim (Lagi)
Malam itu saya tulis surat. Bukan proposal lagi. Kali ini lebih jujur, lebih absurd, dan tentu lebih tidak masuk akal.
“Intan,
Aku tahu, mungkin aku bukan pilihan logis. Aku tidak punya suara merdu, tidak juga rambut licin. Tapi aku punya sesuatu yang tidak banyak orang tahu:
Aku menyukaimu, seperti menyukai kopi sachet tengah malam—pahit, hangat, dan tidak pernah bisa dijelaskan kenapa.”
Surat itu saya lipat rapi, saya masukkan ke dalam kitab Nahwu. Lalu saya menatap langit-langit kamar dan bertanya kepada Allah:
“Ya Allah, kalau cinta ini tidak sampai, setidaknya biarkan aku lulus ujian kitab kuning semester ini…”
Kadang, kita mencintai seseorang bukan untuk memilikinya,
tapi untuk mengenal diri kita sendiri:
Bahwa kita bisa merasa tulus tanpa syarat.
Bahwa kita bisa cemburu tanpa benci.
Bahwa kita bisa kalah… dan tetap bisa tertawa (sambil nyeduh kopi sachet yang
keempat).
Cinta itu seperti kompetisi tilawah: yang penting bukan siapa yang menang, tapi bagaimana hati kita ikut berdzikir dalam sunyi.
Pengakuan Terlambat, Pengganti yang Tak Sama
Kehidupan di pondok tetap berjalan. Rapat masih rapat. Proposal tetap diketik. Lomba tetap diumumkan. Tapi saya? Saya mulai merasa jadi pemeran figuran dalam sinetron yang saya tulis sendiri.
Lalu suatu hari, dunia saya sedikit guncang karena sebuah pengumuman tidak resmi tapi cepat menyebar seperti kabar hilangnya sandal saat Jumat:
"Zaid dan Intan katanya dijodohkan sama ustadz mereka, loh!"
Saya mendengarnya dari Miftah, teman saya yang hobinya menyebar rumor sambil makan kerupuk.
“Beneran, Gung. Bahkan ustadz Zain sendiri yang bilang. Katanya cocok karena dua-duanya kalem, pintar, dan... ya, seimbanglah.”
Saya mengangguk pelan.
Dalam hati saya berteriak:
“Kalem? Pintar? SEIMBANG? Lalu aku apa? Berat sebelah?”
Respon yang Tidak Gentleman (Tapi Jujur)
Malamnya, saya menatap cermin kecil yang biasanya saya gunakan buat nyisir. Saya pandangi diri saya sendiri.
Rambut acak-acakan.
Kacamata miring. Komedo level subur.
Dan saya bertanya:
“Apa yang sebenarnya kamu harapkan, Gung? Kamu pikir Intan akan melihatmu sebagai pangeran berkuda hanya karena kamu bisa bikin daftar hadir rapat dengan rapi?”
Saya menghela napas, lalu membalas suara hati saya sendiri:
“Enggak, sih. Tapi masa iya dia milih Zaid sih... ya Allah, setidaknya kasih aku kesempatan satu ronde dulu.”
Surat Terakhir (Yang Kali Ini Benar-Benar Tak Pernah Dikirim)
Saya tulis satu surat lagi. Kali ini, bukan karena saya berharap. Tapi karena saya ingin mengucapkan selamat tinggal—dengan elegan.
“Intan,
Aku tidak pernah benar-benar mengenalmu, selain dari cara kamu membenarkan jilbab sebelum maju ke panggung, cara kamu menyebut ‘Bismillah’ sebelum membacakan laporan, dan caramu tertawa yang sederhana tapi cukup untuk meruntuhkan prinsip hidupku.
Mungkin kamu akan bersama Zaid. Mungkin kalian akan bahagia. Dan itu baik. Aku ikhlas. Tapi kalau suatu saat kamu mendengar seseorang pernah menyukaimu diam-diam di balik daftar absensi dan proposal kegiatan... yah, itu aku.
Wassalamualaikum."
Saya simpan surat itu di balik sajadah. Dan saat saya sujud malam itu, saya membaca doa yang tak biasa:
“Ya Allah, aku tahu cinta ini bukan untuk dimiliki. Maka jangan cabut rasa ini, tapi ubahlah jadi alasan untuk lebih dekat pada-Mu.”
The Rise of Pengganti yang Tak Sama
Dunia terus berputar. Saya mulai sibuk lagi. Bahkan ada satu akhwat baru yang menggantikan posisi Intan di organisasi. Namanya bukan Intan. Wajahnya tidak mirip. Suaranya pun biasa saja. Tapi dia baik, dan sering senyum.
“Mas Gung, ini data absensi yang antum minta,” katanya suatu hari.
Saya senyum. Biasa saja. Lalu saya sadar:
“Kadang, yang datang setelah patah hati bukanlah pengganti… tapi pengingat bahwa dunia tidak berakhir di satu orang.”
Intan tetap menjadi bagian sejarah organisasi dan sejarah hati saya. Tapi saya belajar bahwa dalam hidup santri, cinta tak selalu harus punya nama akhir.
Kadang ia hadir sebagai
pelajaran, bukan pasangan.
Sebagai nyala kecil di malam yang sunyi, bukan api unggun yang bisa
menghangatkan selamanya.
Dan mungkin, justru karena tidak memiliki, saya bisa mengingatnya dengan utuh—tanpa luka, tanpa marah, hanya senyum kecil sambil berkata,
“Ya Allah, dulu aku pernah menyukai seseorang dengan seluruh rasa yang bahkan aku sendiri tidak tahu cara mengucapkannya.”
Wisuda, Pamit, dan Kenangan yang Tinggal di Lemari Asrama
Pondok mulai ramai dengan suara koper diseret, kasur digulung, dan spanduk bertuliskan “WISUDA AKBAR TAHUN INI” yang menggantung agak miring. Semesta seolah memberi kode:
“Sudah, saatnya pulang, Gung…”
Saya berdiri di depan kamar asrama, melihat kardus berisi kitab-kitab, catatan, dan… surat-surat cinta yang tak pernah terkirim. Saya menemukan kembali proposal absurd tentang hubungan emosional pengurus, dan saya tertawa sendiri.
“Dulu niatnya mau nyatain cinta, yang ada malah jadi penggagas kegiatan pelatihan manajemen organisasi,” gumam saya sambil lipat baju.
Perpisahan yang Tidak Dramatis
Hari itu, semua santri berkumpul di aula besar. Kami bersalaman, berpelukan, dan mengucapkan kalimat klise paling sakral di pondok:
“Kalau ada salah selama ini, mohon dimaafkan ya…”
Saya bertemu Intan
sebentar. Sangat sebentar. Cukup untuk mengucapkan salam, cukup untuk saling
menatap dan tahu:
Tidak akan ada lagi rapat. Tidak akan ada lagi panggilan “Mas Gung” yang
terdengar dari balik hijab.
Intan tersenyum. Lalu pergi.
Saya ingin memanggil. Tapi tidak ada kata yang cukup. Yang tersisa hanya detik-detik penuh makna yang tidak butuh narasi.
Kenangan yang Tertinggal
Beberapa hari setelah wisuda, saya kembali ke pondok untuk mengambil sesuatu yang tertinggal. Ketika membuka lemari, saya menemukan satu amplop kecil yang tidak saya kenali.
Saya buka. Isinya selembar kertas dengan tulisan tangan yang rapi:
“Mas Gung,
Terima kasih sudah menjadi teman terbaik dalam organisasi. Maaf kalau selama ini saya tidak pernah menyadari apa yang mungkin Mas rasakan.
Saya tahu Mas adalah orang baik, dan saya yakin… Allah akan beri seseorang yang bisa memahami Mas lebih dari saya.
Semoga kita semua diberi jalan terbaik.
– Intan”
Saya duduk. Diam. Lalu tersenyum.
“Akhirnya… surat yang datang, meski setelah semua berakhir.”
Epilog: Tentang Cinta, Pondok, dan Perjalanan
Hidup adalah tentang belajar melepaskan. Tentang menerima bahwa tidak semua rasa harus memiliki ujung bernama “jadian”.
Dulu saya pikir, jika saya tidak bisa bersamanya, maka saya gagal.
Ternyata tidak. Saya justru
lulus dengan nilai terbaik dalam pelajaran paling sulit di pondok ini:
Ikhlas.
Sekarang, setiap kali saya melihat buku agenda lama, atau mendengar seseorang menyebut nama "Intan", saya tidak lagi merasa sesak.
Saya hanya mengingat satu masa, di mana saya mencintai seseorang diam-diam, dengan cara yang sederhana: lewat catatan, proposal, kopi sachet, dan doa-doa yang tak pernah sampai ke telinganya… tapi barangkali sampai ke langit.
Dan itu cukup.
~ TAMAT ~