— Esai Santai (Tapi Serius) tentang Dunia Marketing
Dari Dagang Mainan ke Rapat Zoom
Zaman kecil, saya pernah jualan mainan plastik di depan rumah. Modalnya cuma ember kecil, isinya mobil-mobilan dan robot-robotan KW super. Setiap anak yang lewat saya sodori, “Mau? Murah, tiga ribu dapet dua. Bisa nawar, asal jangan kelewatan.”
Siapa sangka, tiga puluh tahun kemudian saya tetap jualan, tapi kali ini di ruang meeting ber-AC, pakai batik, dan bawa laptop (yang sebenarnya cuma dipakai buka spreadsheet satu tab, sisanya YouTube). Itulah dunia marketing: kita tetap jualan, tapi level mainannya naik. Bedanya sekarang, kalau gagal closing, bukan cuma nangis, tapi bisa kena SP.
Dari pengalaman itu, saya belajar: marketing bukan soal pintar ngomong saja, tapi seni bertahan hidup sambil tetap bisa senyum dan pura-pura paham grafik.
I. Basa-Basi: Jurus Pamungkas Sebelum Dikeluarkan Satpam
Pernahkah kamu masuk ke kantor klien, duduk, dan langsung berkata, “Jadi Bapak mau paket platinum atau enggak?”
Kalau pernah, saya doakan kamu selamat dari trauma sosial.
Dalam dunia marketing, basa-basi itu seperti cemilan sebelum makan besar. Kamu nggak bisa langsung jualan, bro. Harus ada pemanasan: “Wah, cuacanya panas banget ya, kayak target bulan ini.”
Atau: “Anaknya udah sekolah? Waduh, saya juga pusing cari sekolah yang bisa bayar pakai doa.”
Basa-basi itu jembatan dari “siapa kamu?” ke “boleh deh, saya dengerin dulu.”
Dan jangan salah, kemampuan basa-basi bukan bawaan lahir, itu hasil latihan, jatuh-bangun, dan sering-sering ngopi sama orang yang nggak pengen ketemu kamu.
II. Merayu: Tanpa Gombal, Tanpa Masuk BUI
Rayuan dalam marketing itu seperti masak mie instan: kalau kelamaan, kebanyakan air—jadi bubur.
Tapi kalau pas, bisa bikin kenyang dan ketagihan.
Kamu nggak bisa bilang, “Produk kami terbaik, tercepat, termurah, terganteng.” Itu bukan merayu, itu menyerang kepercayaan diri orang lain.
Rayuan yang ampuh itu pakai logika setengah dan perasaan penuh. Contohnya:
“Bayangkan, Pak… sore hari, pulang kerja, duduk di sofa baru kami, ngopi, nonton sinetron, dan istri nggak ngeluh lagi. Apa nggak damai, Pak?”
Di titik ini, marketing berubah jadi semi-sufi: kita masuk ke alam batin orang.
Kita nggak jual AC, kita jual ‘tidur nyenyak tanpa kipas bunyi krik-krik’.
III. Mengorganisir Orang: Seperti Gembala, Tapi Domba-nya Punya WhatsApp
Punya tim marketing itu kadang kayak punya grup keluarga besar.
Ada yang rajin, ada yang suka lupa upload, ada yang cuma aktif kalau mau minta template.
Tugas kita? Bukan jadi bos galak, tapi jadi manajer sabar—kayak guru les yang ngajar bocah SD tapi dibayar dengan emoticon terima kasih.
Mengorganisir bukan soal nyuruh-nyuruh, tapi ngajak bareng-bareng.
Kamu nggak bisa bilang, “Kerjakan sekarang atau kamu saya tagih terus tiap jam!”
Lebih baik, “Bro, gue tahu lo sibuk. Tapi kalau ini kelar hari ini, kita bisa ngopi tanpa rasa dosa.”
Pekerjaan marketing itu kayak lomba tarik tambang: semua harus tarik bareng. Kalau satu lepas, semua kejungkal.
IV. Mengakrabi Orang: Modal Ngopi, Dapat Closing
Marketing tanpa keakraban itu kayak es teh tanpa gula—segar, tapi bikin pengen marah.
Saya pernah closing penjualan besar hanya karena satu hal: saya tahu nama kucing si klien.
Setiap ketemu saya tanya, “Si Ucok masih suka naik kulkas, Pak?”
Langsung dia ketawa, dan entah kenapa, hari itu dia bilang, “Sudah, saya ambil paket premium-nya.”
Mengakrabi itu bukan soal pura-pura akrab. Tapi benar-benar hadir.
Kalau klien cerita anaknya ulang tahun, ya catat. Ulang tahun berikutnya kirim ucapan, kalau bisa jangan pakai template Google.
Kamu bukan hanya jual produk, tapi sedang jadi teman di tengah hidup yang kadang penuh spam email dan janji manis yang pahit.
V. Administrasi: Cinta Itu Butuh Bukti (dan Spreadsheet)
Nah ini bagian yang paling bikin marketing jadi setengah manusia setengah robot.
Udah capek keliling, senyum-senyum, presentasi sampai gigi kering, eeh… lupa input data di CRM.
Akhirnya, klien nanya: “Kemarin saya pesan berapa ya?”
Dan kamu cuma bisa jawab: “Waktu itu saya fokus ke mata Bapak, bukan ke angka.”
Administrasi itu cinta dalam bentuk tabel.
Kamu boleh jago ngomong, tapi kalau invoice berantakan dan laporan kamu seperti ceker ayam, atasanmu akan berpikir kamu lebih cocok jadi penyair.
Maka, belajar bikin to-do list, tracking progress, dan ngecek email tiap hari adalah tanda bahwa kamu serius.
Karena ujungnya: marketing tanpa catatan, seperti pacaran tanpa status—bikin sakit kepala semua pihak.
Kesimpulan: Jadi Pemain Marketing Itu Gokil, Tapi Mulia
Marketing itu memang dunia yang aneh. Kamu bisa makan siang jam 4 sore, ketemu 5 orang dengan 5 mood berbeda, dan tetap harus senyum sambil mikirin cicilan.
Tapi inilah jalan ninja kita.
Bukan cuma soal angka, tapi soal bagaimana kita bisa jadi manusia yang lengkap: bisa mendengar, bicara, mengatur, menghibur, dan tetap ingat update Excel.
Dan lebih penting: kita membuat dunia sedikit lebih hidup, karena kita menjual bukan barang, tapi harapan kecil yang dibungkus dalam kata, tawa, dan sedikit diskon.
Dari Kopi ke Closing
Di sebuah kafe kecil, saya pernah bertemu klien yang awalnya jutek, mukanya kayak petugas tilang.
Tapi setelah dua jam ngobrol soal Manchester United dan harga cabe rawit, dia bilang: “Oke deh, saya ambil paketnya. Tapi jangan lupa, kalau ada promo, kasih tahu duluan ya.”
Saat itu saya sadar: dalam marketing, keberhasilan kadang tidak datang dari proposal, tapi dari obrolan yang terasa seperti teman lama.
Dan itulah keindahan pekerjaan ini—ketika transaksi berubah jadi relasi, dan klien jadi teman ngopi yang tak terduga.