Kopi, Tasybih, dan Takyif di Kafe

 


Pagi itu, Kafe Al-Fajr di ujung jalan masih sepi. Hanya ada beberapa orang yang duduk santai, menikmati aroma kopi yang menggoda. Di pojok ruangan, lima orang teman lama duduk berkumpul, masing-masing dengan cangkir kopi di tangan. Kipli, si kritikus ringan, sedang asyik mengaduk kopinya, sementara Hasan, si ahli tafsir tanpa gelar, tengah termenung, seolah memikirkan sesuatu yang dalam. Toha, Furqon, dan Eko duduk berhadapan, sibuk bergosip tentang gosip terbaru, tetapi masih bisa mendengar percakapan serius antara Kipli dan Hasan.

"Kopi ini, ya, benar-benar menyentuh jiwa," kata Kipli, sambil menyeruput kopi dengan penuh perhatian. "Sama seperti akidah kita, perlahan meresap, dan kita tak pernah tahu betul asal-usul rasa itu."

Hasan tertawa pelan, mengangkat alisnya. "Maksudmu, rasa kopi ini seperti tasybih dan takyif, ya? Kita cuma bisa merasakannya, tapi tak bisa menjelaskan bagaimana dia sampai di sini, seperti sifat-sifat Allah?"

Kipli terdiam sejenak, memandang Hasan dengan senyum lebar. "Itulah dia, Hasan! Engkau akhirnya mengerti. Kita bisa menikmati kopi ini, merasakannya, tapi kalau kita tanya, 'Bagaimana kopi ini bisa begitu nikmat?' Akal kita terbatas, kan? Sama halnya dengan akidah."

"Jadi, kopi ini seperti sifat Allah yang Maha Sempurna, ya?" Toha tiba-tiba menyela, sambil memutar sendok di cangkirnya. "Kan nggak bisa dibayangin juga, gimana cara kopi ini bisa sampai ke lidah kita dengan rasa yang begitu pas?"

"Ehm, sebenarnya itu agak beda, Toha," Furqon ikut menanggapi. "Kopi ini kan nyata, bisa dijelaskan oleh ilmuwan, misalnya, bagaimana bijinya ditanam, digiling, dan diseduh. Tapi kalau Allah, nggak bisa dibayangin, nggak bisa kita tanya 'bagaimana' sifat-Nya, karena itu di luar jangkauan manusia."

Eko yang sejak tadi hanya diam, mengangkat wajahnya dengan penuh wibawa. "Gitu ya? Jadi, kalau kita tanya 'bagaimana' Allah Maha Mendengar atau Maha Melihat, itu seperti kita tanya, 'Bagaimana' kopi bisa masuk ke dalam tubuh kita, ya?"

Hasan tertawa kecil. "Persis, Eko! Tapi, jangan tanya 'bagaimana' sifat-sifat Allah. Itu tanya yang nggak ada jawabannya. Allah itu berbeda dengan kita. Kalau kita tanya 'bagaimana', kita jadi membatasi Dia. Itu namanya takyif."

"Berarti, kalau kita tanya kenapa Allah bisa Maha Mendengar, itu kayak nanya, 'Kenapa kopi ini rasanya enak banget?' gitu?" Toha menimpali dengan nada iseng.

"Betul," jawab Hasan sambil menyandarkan punggungnya ke kursi, "Tapi bedanya, kita bisa merasakan kopi dan menikmati rasa itu. Sementara Allah, kita bisa meyakini sifat-sifat-Nya tanpa perlu tahu bagaimana-Nya. Kalau kita tanya, itu namanya tasybih. Kita menyamakan Allah dengan makhluk-Nya."

Furqon mengangguk, seolah-olah baru saja menemukan pencerahan. "Oh, jadi, kalau kita bilang Allah itu Maha Melihat, tapi kita membayangkan-Nya seperti manusia yang punya mata, itu tasybih, kan?"

"Yup," jawab Kipli. "Allah Maha Melihat, tapi cara-Nya melihat tidak sama dengan kita. Kalau kita samakan, berarti kita membatasi kekuasaan-Nya. Sama seperti kalau kita bilang kopi ini punya rasa yang bisa dijelaskan secara ilmiah. Padahal, ada keajaiban dalam rasanya yang tak bisa dipahami sepenuhnya."

Toha tersenyum lebar. "Wah, berarti kopi ini pun bisa jadi contoh sempurna, ya? Kayak sifat Allah yang kita nikmati tanpa perlu tahu bagaimana-nya."

"Betul!" Kipli hampir bangkit dari kursinya karena terlalu semangat. "Kopi ini, kita nikmati rasanya. Kalau kita berusaha menjelaskan bagaimana rasanya, kita bakal tersesat dalam berbagai teori. Sama seperti berusaha menjelaskan sifat-sifat Allah yang Maha Sempurna. Jangan pernah bertanya 'bagaimana' sifat-Nya."

Eko, yang dari tadi terlihat serius, akhirnya menyela. "Tapi, kalau begitu, apakah itu berarti kita nggak boleh bertanya sama sekali tentang sifat-sifat Allah?"

Hasan menatap Eko dengan mata tajam. "Bukan begitu, Eko. Tanyakan apa yang kita perlu tahu, seperti iman kepada Allah, malaikat, kitab-Nya, rasul-Nya, dan hari kiamat. Itu semua harus diyakini. Tapi jangan pernah bertanya bagaimana Allah melakukan itu semua. Itu seperti bertanya tentang 'bagaimana' kopi bisa bikin kita begini tenang. Kita nikmati tanpa harus paham."

Toha mengangkat gelas kopinya tinggi-tinggi. "Berarti kita harus menikmati kopi ini tanpa bertanya bagaimana rasanya datang, dan kita juga harus menikmati kehidupan dengan keyakinan tanpa bertanya bagaimana Allah bekerja. Seperti kata Kipli, kalau terlalu banyak tanya, bisa tersesat!"

"Betul sekali!" Kipli menimpali dengan penuh semangat. "Kalau terlalu banyak tanya, kita bisa masuk ke dalam jebakan tasybih dan takyif yang nggak berujung. Cukup yakini dan nikmati."

Furqon mengelus dagunya, berpikir. "Jadi, kalau kita memahami Allah seperti kita memahami kopi, kita bisa nikmati hidup ini dengan tenang, tanpa perlu pusing mikirin bagaimana segala sesuatu terjadi?"

Hasan tersenyum bijak. "Persis, Furqon. Hidup ini memang bukan tentang mencari penjelasan tentang segala hal. Kadang kita harus berhenti bertanya dan mulai menikmati keberadaan kita, seperti menikmati secangkir kopi ini."

Kipli mengangguk setuju. "Dan jangan lupa, kita juga harus berhati-hati dengan apa yang kita yakini. Jangan sampai tasybih atau takyif membuat kita salah paham. Sama seperti kopi ini, jangan sampai kita salah paham dengan rasanya. Nikmati saja."

Toha tertawa. "Iya, benar! Kadang-kadang, yang paling indah itu adalah menerima tanpa perlu banyak tanya. Seperti kita nikmati kopi ini, tanpa perlu tahu siapa yang menanam bijinya, siapa yang menyeduhnya, atau mengapa rasanya begitu enak."

Eko menatap secangkir kopinya. "Jadi, inti dari semua ini adalah, kita harus percaya dan menikmati kehidupan ini tanpa harus paham semua hal, seperti kita menikmati kopi tanpa perlu tahu dari mana asal rasanya?"

Hasan mengangguk, lalu memandang sekeliling. "Benar, Eko. Kadang-kadang, kita cuma perlu menikmati dan meyakini tanpa mencari jawaban atas segala hal yang kita rasakan."

Kipli tersenyum penuh arti. "Dan yang terpenting, jangan pernah bertanya 'bagaimana' Allah itu Maha Sempurna. Cukup yakini dan nikmati segala karunia-Nya. Seperti kita nikmati secangkir kopi ini."

Di meja itu, lima sahabat itu tertawa bersama, menyadari bahwa hidup ini memang penuh dengan misteri yang tidak perlu dipecahkan. Seperti secangkir kopi yang nikmat, kehidupan ini harus dinikmati dengan penuh rasa syukur, tanpa perlu terlalu banyak tanya.


Mereka pun terus menghabiskan kopi mereka, dengan rasa yang lebih nikmat, karena percakapan itu telah memberi mereka sedikit pencerahan. Dan di sana, di Kafe Al-Fajr, mereka tahu, bahwa kadang-kadang, menikmati sesuatu dengan sepenuh hati lebih berharga daripada mencoba memahaminya dengan akal semata.

ZAKAT DAN CINTA DI ATAS BATAS OXIGEN

 

Zakat, Cinta, dan Gunung yang Tak Punya Sinyal

Di pagi yang cerah namun penuh kabut, Kipli memimpin sekelompok santri—Tohir si komentator kehidupan, Hasan sang pemikir praktis, Rudi tukang foto, dan Arlis, si primadona asrama putri—untuk mendaki Gunung Surokencono. Entah gunung beneran atau hanya bukit yang terlalu pede disebut gunung, tapi yang pasti cukup tinggi untuk membuat betis meronta dan sinyal ponsel menyerah.

"Kita naik gunung ini untuk apa sih, sebenarnya?" tanya Hasan sambil ngos-ngosan.

"Untuk mencari puncak kesadaran," jawab Kipli sok filosofis. "Dan mungkin juga untuk menjauh dari sinyal supaya Arlis nggak dibanjiri notifikasi dari calon mertua."

Arlis hanya melirik tajam sambil membuka bekalnya: roti sobek isi tempe orek. Rudi sibuk memotret awan, sementara Tohir mulai membuka topik yang tidak terduga.

"Eh, kalian pernah mikir nggak, gimana seharusnya negara ini mengelola zakat?"

Kipli langsung menoleh. “Aha! Topik ini menarik. Bukan cinta tak sampai, tapi ekonomi berbasis keadilan sosial.”

"Zakat itu potensi luar biasa," lanjut Tohir, “Kalau dikelola serius, kita nggak perlu lagi ngemis-ngemis bantuan luar negeri."

Hasan mengangguk. "Masalahnya, zakat itu masih dianggap urusan pribadi. Padahal dalam sistem Islam klasik, zakat itu kayak pajak negara. Bayar, wajib, dan punya sistem distribusi yang adil."

"Bayangkan," sambung Kipli, “kalau tiap muslim yang mampu menyalurkan 2,5% hartanya lewat lembaga yang transparan dan profesional. Fakir miskin bisa punya usaha, bukan cuma nunggu sumbangan terus.”

Arlis yang sedari tadi diam, angkat bicara. "Tapi ya, sistemnya harus kuat. Jangan sampai zakat cuma jadi 'kotak amal elite'. Harus ada akuntabilitas. Kalau perlu, pakai teknologi. Blockchain zakat, gitu."

Tohir tertawa. "Wah, kamu cocok jadi Menteri Keuangan. Atau Menteri Hati yang Mengatur Perasaan Kipli."

Rudi nyeletuk, “Gue pikir kita naik gunung buat healing, bukan buat bahas APBN syariah.”

“Justru ini healing,” sahut Kipli, “dari luka batin akibat cinta tak tertunaikan dan zakat yang tak tertunaikan juga.”

Hasan menambahkan, "Kalau negara mau serius menyejahterakan rakyatnya, ya mulai dari yang diwajibkan agama dulu. Pendidikan zakat sejak dini. Bukan cuma hafal jumlah rukun Islam, tapi ngerti aplikasinya."

Mereka berhenti sejenak di bawah pohon pinus. Angin semilir membawa aroma daun basah dan bekas sandal yang mulai beraroma sejarah.

Arlis tersenyum, “Kalian ini aneh. Naik gunung, ngomongin zakat. Tapi aku senang. Kita butuh lebih banyak obrolan seperti ini, bahkan di tempat-tempat absurd begini."

Tohir menimpali, "Ya, siapa tahu di puncak nanti ada ilham bagaimana negara bisa menyejahterakan rakyat—atau setidaknya, ilham bagaimana Kipli bisa move on."

Kipli mengangkat jari telunjuknya, sok seperti dosen ekonomi Islam. “Sebenarnya, zakat bisa jadi solusi kemiskinan. Syaratnya tiga: sistem yang terintegrasi, distribusi yang tepat sasaran, dan transparansi. Jangan cuma kumpulin dana, tapi juga didata siapa yang berhak dan bagaimana pemberdayaannya.”

Hasan menambahkan, “Misalnya, bikin program pelatihan keterampilan bagi penerima zakat. Jadi mereka bukan cuma dapat uang, tapi juga dapat ilmu buat hidup mandiri. Kayak: pelatihan menjahit, bertani modern, atau buka usaha kecil.”

“Tohir, kamu kan jago ngitung. Gimana kalau ada data yang menunjukkan berapa potensi zakat nasional kita?” tanya Arlis.

“Menurut beberapa kajian,” jawab Tohir, “potensi zakat nasional kita bisa tembus ratusan triliun! Tapi yang terkelola baru sedikit. Kenapa? Karena lembaga pengelola masih banyak yang nggak dipercaya.”

“Makanya harus ada reformasi manajemen zakat,” sambung Kipli. “Bekerjasama dengan pemerintah lokal, bikin program zakat yang terintegrasi sama pengentasan kemiskinan. Misalnya, zakat untuk modal usaha UMKM berbasis komunitas.”

Rudi ikut menimpali, “Atau zakat disalurkan buat bangun klinik gratis, sekolah gratis, apalagi buat pelosok-pelosok yang suka lupa dikunjungin pejabat.”

Semua mengangguk.

Arlis menatap awan di kejauhan. “Andai saja obrolan gunung ini bisa didengar para pejabat. Bukan cuma nyusun rencana, tapi juga nyusun niat.”

Kipli tertawa kecil. “Dan andai cinta juga bisa dikelola seperti zakat. Ada batas minimal, ada penyaluran yang tepat sasaran, dan nggak boleh ditimbun sendiri.”

“Kalau gitu, Kipli, kamu siap menyalurkan cintamu dengan adil dan merata?” goda Tohir.

“Bersedia,” jawab Kipli, “asal bukan ke sahabat sendiri.”

Tawa meledak. Sementara itu, kabut mulai menipis. Gunung tak hanya memberi pemandangan, tapi juga memberi ruang untuk bercanda dan berpikir. Dalam langkah yang berat, mereka terus mendaki. Mencari puncak, bukan hanya puncak gunung, tapi puncak pemahaman: bahwa cinta dan zakat, jika dikelola dengan benar, bisa jadi solusi hidup yang sesungguhnya.


TAMAT


KISAH CINTA MULTIDISIPLIN DI BAWAH GENTENG BOCOR

 

Di balik rerimbunan bambu dan suara ayam yang tak tahu waktu, berdiri sebuah pondok pesantren bernama Darul Lupa, tempat Kipli menimba ilmu dan menimbun utang kantin. Kipli bukan santri sembarangan. Ia adalah santri hybrid—rajin mengaji di madrasah diniyah, tapi alergi berat terhadap sekolah formal.

"Sekolah itu bikin pusing. Kurikulum berubah kayak status WhatsApp mantan. Madrasah lebih ajeg," ucapnya santai sambil menggambar karikatur gurunya di belakang buku sejarah.

Minat belajarnya pun aneh. Kalau hari ini dia cinta filsafat, maka ia akan membaca Al-Farabi sambil makan peyek. Besoknya, bisa tiba-tiba membaca sejarah Byzantium, sambil nyemil rengginang. Ia menyebut dirinya "santri multidisiplin rasa buffet."

Arlis, sang putri Kiai Mahfudz, adalah perwujudan mitologi santri. Tinggi, anggun, pintar, dan punya koleksi mukena warna-warni. Kipli jatuh cinta padanya seperti jatuh dari tangga masjid: keras dan tak terhindarkan.

Alih-alih menulis puisi atau surat cinta, Kipli malah menulis esai akademik: "Perempuan dalam Perspektif Historiografi Islamik: Studi Kasus Arlis binti Mahfudz."

"Bro, itu bukan cinta, itu skripsi," komentar Tohir sambil makan mi instan mentah.

"Aku ilmiah, bukan alay," balas Kipli dengan hidung kembang kempis.

Kipli aktif di organisasi santri. Gayanya dalam memimpin rapat seperti kombinasi Bung Karno dan tukang parkir. Pernah dalam satu sidang, dia berkata:

"Kawan-kawan, kalau Alexander Agung bisa menaklukkan Persia, kita pasti bisa menertibkan antrean mandi!"

Arlis duduk sebagai sekretaris, mencatat dengan anggun sambil sesekali menghela napas, antara kagum dan khilaf. Dari sini, benih cinta tumbuh seperti lumut di ember wudhu: pelan, tapi pasti.

Sebagai anggota redaksi buletin pondok, Kipli adalah penulis paling absurd. Ia menulis tajuk: "Dilema Tasawuf dan Cinta Tak Terbalas dalam Bingkai Peradaban Dinasti Abbasiyah."

Arlis, sebagai editor, nyaris menyerah.

"Kamu bisa nggak sih, nulis yang normal?"

"Cinta ini tidak normal, Lis."

"Cinta siapa?"

"Eh... maksudku cinta secara konseptual."

Ustadz Najib, guru antropologi, bilang, "Pesantren itu miniatur dunia."

Kipli mengangguk seolah paham, lalu membuat peta sosiologis pondok: Kamar A sebagai kaum borjuis karena punya dispenser, Kamar B sebagai proletar karena kipas anginnya rusak. Kamar Arlis? Ditandai sebagai "Wilayah Otoritas Khilafah Romantis."

"Kalau pondok ini perang saudara, aku sudah punya strategi geopolitik," gumamnya sambil menggambar bendera pemberontakan pakai pulpen warna pink.

Suatu hari, kabar buruk datang: Arlis dilamar alumni pondok yang kini jadi dosen sejarah dan kolektor batu akik.

Dunia Kipli runtuh. Ia duduk di depan buletin pondok, menatap puisinya yang belum naik cetak: "Cinta dalam Tafsir Ibn Khaldun dan Tahlilan Emosional."

"Bro," kata Tohir, "hidupmu kayak novel sejarah tragis."

"Mungkin Arlis bukan bab utama. Dia cuma glosarium yang cantik."

Tohir menepuk pundaknya seperti jenderal yang melepas pasukan cadangan ke perang yang sudah kalah.

Malam itu, Kipli membuka dua kitab: Al-Hikam dan sejarah dunia karya Toynbee. Ia membaca:

"Keinginan adalah awal penderitaan."

Ia menutup buku, tersenyum seperti orang yang gagal ujian tapi dapat nasi bungkus gratis. Di buku hariannya ia menulis:

"Cinta tak harus dimiliki, cukup dipelajari. Seperti sejarah. Atau kantin yang tutup pas jam istirahat."

Ia pun berjalan ke surau, melangkah dengan sarung bergoyang pelan, meninggalkan jejak santri yang patah hati dengan martabat dan teori sejarah yang tetap absurd.


TAMAT

 

Lotus Girl : Intan

 Sebuah Janji Membuat Buku, dan kini terwujud hehehehe

 

Saya tidak pernah punya cita-cita jadi ketua. Cita-cita saya waktu mondok itu sederhana: khatam Alfiyah, tidur cukup, dan punya lemari sendiri. Tapi begitulah, hidup di pesantren kadang seperti undian arisan emak-emak—kita bisa terpilih meski tidak pernah merasa ikut.

Hari itu, pengurus baru diumumkan. Semua santri ngumpul di aula. Suasana tegang. Saya duduk di barisan tengah, berharap nama saya tidak disebut. Karena kalau disebut, artinya saya harus kerja. Dan kalau saya kerja, siapa yang tidur untuk saya?

"Ketua Organisasi Santri: Gung Prasetya."

Saya refleks nengok ke belakang. Siapa tuh Gung Prasetya?

Ternyata saya.

Dan di situlah segalanya berubah. Termasuk frekuensi saya bertemu dengan Intan, si Wakil Ketua yang dari awal saya lihat sudah seperti pemeran utama FTV Ramadan. Cantik, tinggi, kulitnya putih semacam plastik baru. Kalau dia berdiri dekat kipas angin, saya yakin cahaya akan memantul dari wajahnya.


 

Sejak hari itu saya resmi jadi Ketua Organisasi Santri. Gelar yang lebih berat dari ijazah madrasah, lebih menegangkan dari ujian balaghah, dan lebih tidak saya inginkan ketimbang giliran piket kamar mandi.

Tugas pertama saya sebagai ketua? Rapat perdana.

Dan siapa yang duduk di sebelah saya saat itu? Intan.
Wakil ketua.
Satu-satunya alasan saya tiba-tiba mencatat rapat dengan tulisan yang bisa dibaca manusia.

“Mas Gung, nanti kita bagi-bagi divisi ya. Yang putra sama antum, yang putri saya urus,” katanya sambil membetulkan kerudung. Saya tidak tahu kenapa, tapi detik itu saya merasa ingin segera membagi divisi sebanyak mungkin. Bahkan kalau bisa, tiap sendok di dapur pun punya divisi sendiri.

Saya mengangguk cepat. Secepat itu pula hati saya merasakan getaran-getaran aneh. Bukan karena jatuh cinta, saya kira. Mungkin karena kipas angin rusak dan keringat mengalir deras.

Saya ingat betul: setiap Intan berbicara, saya pura-pura memikirkan program kerja. Padahal dalam hati saya sibuk menghitung berapa detik ia menatap saya.
Tiga detik penuh!
Itu lebih lama dari pandangan ustadz Tahfidz tiap kali saya ketahuan ngantuk.


Di antara santriwati, Intan seperti malaikat yang hafal jadwal piket.
Dia cerdas, kalem, dan punya tulisan tangan yang kalau dijual bisa laku sebagai font premium.
Dia anak orang kaya. Setiap hari tasnya ganti, seolah-olah pabrik Eiger itu keluarganya sendiri.
Sementara saya? Sandal jepit saya sudah robek dan disambung dengan potongan kabel tembaga.
Tapi saya bangga. Itu sandal limited edition—cuma saya yang punya, dan hanya bisa dipakai jalan dua meter sebelum keseleo.

Dan jangan tanya soal baju. Baju koko saya adalah baju yang sama saya pakai sejak ospek, akrab dengan segala jenis pewangi masjid dan bekas tinta pulpen.

Saya tahu, antara saya dan Intan itu seperti antara kitab kuning dan whiteboard digital: satu klasik dan kucel, satu lagi bersih, futuristik, dan pakai stylus.


Saya mulai menunjukkan gejala aneh.
Setiap mendengar namanya disebut, saya refleks menengok, padahal yang disebut "Intan" itu program kerja, bukan orangnya.
Saya rela ikut rapat demi rapat, bahkan yang tak ada hubungannya dengan divisi saya.
“Mas Gung, kenapa ikut rapat seksi dapur?”
“Sebagai ketua, saya harus mengawasi semua,” jawab saya sok tegas. Padahal jelas, saya cuma ingin duduk dua kursi dari Intan.

Saya mulai menulis namanya di buku catatan, di antara poin-poin program kerja:

  1. Lomba adzan
  2. Gotong royong
  3. INTAN 😳
  4. Penanaman pohon

Saya juga mulai sering berdoa:
“Ya Allah, kalau dia memang jodohku, dekatkan. Kalau bukan… ya Allah, jangan langsung jauh-jauh amat…”


Suatu hari, saya dan Intan harus mempersiapkan acara pondok. Berdua, di ruang organisasi.
Dia duduk sambil menulis. Saya duduk sambil berusaha bernapas normal.

Dia tanya, “Mas Gung, menurut antum, acara ini lebih baik dibuka dengan hadrah atau pembacaan maulid?”

Saya jawab, “Eh… bisa dua-duanya.”
Padahal dalam hati saya cuma teriak: “KAMU BISA NGGA GAK CAKEP DULU LAGI?”

Itu momen paling gugup dalam hidup saya, lebih gugup dari waktu pertama kali diminta jadi imam subuh pas ngantuk berat.


Saya tahu, saya bukan siapa-siapa. Tapi kadang, menjadi siapa-siapa itu dimulai dari duduk di sebelah seseorang yang bikin kita merasa ingin jadi lebih baik.

Dan meski dia tidak tahu betapa saya mengaguminya—atau pura-pura tidak tahu—saya merasa beruntung. Karena pernah mencintai diam-diam, dalam rapat-rapat sunyi, di antara proposal dan absen, yang ternyata lebih mendebarkan dari surat cinta mana pun.

 

Organisasi kami akhirnya dapat anggaran. Itu artinya: seragam baru.

Warna biru laut. Katanya supaya kelihatan sejuk dan profesional. Tapi buat saya, warna itu hanya punya satu arti: kesempatan untuk tampil keren di depan Intan.

Saya ambil ukuran paling pas. Saya setrika sendiri. Saya pakai parfum pinjaman dari teman kamar, yang aromanya antara wangi buah-buahan dan pengharum mobil.

Lalu saya berdiri di depan kaca lemari asrama, dengan ekspresi penuh harapan.

“Ya Allah, mungkin ini saatnya dia melihatku bukan sebagai makhluk berkacamata yang rambutnya seperti sajadah habis dicuci…”

Hari itu ada rapat akbar. Semua pengurus hadir, pakai seragam baru. Aula penuh, tapi saya cuma melihat satu orang: Intan.

Dan seperti biasanya, dia terlihat luar biasa. Bahkan saya yakin, kalau seragamnya dilelang, harganya bisa mengalahkan kaos Lionel Messi.


Munculnya Para Rival: Mereka yang Lebih Segalanya

Masalahnya bukan pada saya. Masalahnya adalah: di organisasi ini, banyak cowok yang tampan-tampan, humoris, dan punya power bank sendiri. Ini penting, karena punya power bank adalah status sosial tinggi di pondok. Bisa nyetrum hape orang, berarti bisa nyetrum hati orang juga.

Sebut saja:

  • Hasan: anak pengusaha konveksi. Rambutnya selalu rapi seperti habis dicetak. Jokes-nya selalu lucu, bahkan ustadz pun ketawa.
  • Akbar: anak orang kaya dari kota. Setiap malam kirim makanan via ojek online. Pernah sekali traktir bakso seluruh seksi kebersihan. Bahkan sapu pun senyum-senyum.
  • Zaid: alumni lomba pidato. Suaranya bariton, baca pengumuman saja bisa bikin bulu kuduk berdiri.

Saya? Anak dusun yang kalau makan harus cari sambel sisa biar nambah nasi. Lucu? Paling lucu waktu salah baca doa di acara resmi.


Saya mulai curiga. Intan sering ngobrol sama Hasan. Mereka tertawa. Tertawa, saudara-saudara! Itu bukan sinyal biasa!

Maka dimulailah penyelidikan diam-diam.

Saya pasang telinga setiap Hasan ngobrol. Saya perhatikan Intan dari jauh. Saya catat frekuensi tatapan mereka (ya, saya punya waktu sebanyak itu).

Suatu hari saya lihat Intan menulis di buku, lalu Hasan datang dan duduk di sampingnya. Mereka terlihat… serasi.

Saat itu, saya merasa seperti tokoh utama sinetron yang berdiri di pinggir lapangan sambil melihat gadis pujaannya bermain bola bersama cowok lain—dan bolanya tidak pernah datang ke saya.


Suatu malam setelah rapat, saya memberanikan diri untuk ngobrol agak lama dengan Intan.

Saya: “Intan, antum kelihatan sibuk akhir-akhir ini ya?”

Intan: “Iya, soalnya bagian perlengkapan kurang orang.”

Saya: “Kalau butuh bantuan, bilang aja. Saya kan ketua…”
(Senyum saya leleh seperti keju meleleh.)

Intan: “Makasih ya, Mas Gung. Antum baik.”

.
Itu dia. Kode universal dari cewek untuk cowok yang tidak masuk kategori "gebetan".

Saya senyum-senyum, tapi dalam hati berkata:
“Fix, saya masuk ke dalam kategori Kakak Rohani.”


Setiap malam, saya berdoa lama.
Kadang bukan karena khusyuk. Tapi karena saya bingung harus mulai dari mana.

“Ya Allah, Engkau tahu isi hatiku. Dan juga tahu isi dompetku. Maka tolong, ya Allah, kalau bisa, tutuplah sedikit mata Intan dari pria-pria berduit…”

Saya tahu doa itu tidak ilmiah. Tapi saya tetap baca. Karena kadang, iman dan rasa tidak tahu malu itu bisa saling menopang.


Hari-hari terus berlalu. Intan tetap cantik, tetap pintar, dan tetap dikelilingi pria-pria berpotensi.

Sementara saya? Saya tetap Gung yang sandalnya disambung dengan kabel, yang kerjanya memantau rapat dan menyembunyikan cinta di balik daftar program kerja.

Saya sadar, mungkin saya bukan siapa-siapa. Tapi saya yakin, saya adalah siapa-siapanya Allah untuk merasa seperti ini.

Dan cinta—biarpun tak pernah berbalas—tetaplah cinta. Ia punya tempatnya sendiri. Di tengah malam, di antara lembaran proposal, dan di catatan kecil yang tak pernah saya tunjukkan ke siapa-siapa.

 

Saya tidak pernah ikut lomba menulis puisi. Tapi sejak mengenal Intan, saya merasa seperti Chairil Anwar yang tersesat di rak sandal.

Puisi saya sederhana. Kadang aneh. Kadang ngaco. Tapi selalu tulus. Dan semua saya tulis di belakang buku notulen rapat, di antara catatan:

  • “Lomba Pidato: 15 Oktober”
  • “Pencatatan kas kegiatan”
  • dan
  • “Intan seperti doa yang tidak pernah saya lafalkan keras-keras…”

Suatu hari saya menulis satu puisi agak panjang, terinspirasi dari caranya menulis cepat tanpa mencoret. Judulnya: "Diksi-Diksi yang Aku Mau Kau Baca, Tapi Tidak dengan Suaramu"

Isinya antara lain:

“Intan, namamu seperti makhraj huruf-huruf suci,
Kadang aku takut melafalkan,
Karena lidahku terlalu berdosa untuk menyebut yang mulia…”

Waktu itu saya merasa ini adalah puncak kesantrian sekaligus kepuitisan saya. Tapi begitu saya baca ulang…
Saya pengin mukul diri sendiri pakai sendok warteg.


Saya mulai mencatat hal-hal kecil tentang Intan. Seperti detektif cinta yang salah jurusan, saya menulis:

  • Hari Senin: Intan pakai kerudung biru tua, cocok dengan warna seragam. Catatan: dia suka warna biru?
  • Hari Rabu: Intan senyum pas baca pengumuman. Catatan: mungkin dia suka font Comic Sans?
  • Hari Kamis: Intan nggak hadir rapat. Catatan: dunia terasa hampa.

Saya tahu, ini tidak sehat. Tapi saya pikir, selama saya tidak mencuri sendal siapa pun, masih aman secara akhlak.


Setiap kali saya lihat Intan jalan bersama teman-teman akhwat lain, saya ingin bertanya:

"Kenapa kamu tidak melihatku seperti aku melihatmu?"

Tapi tentu saya sadar. Itu pertanyaan yang levelnya hanya bisa ditanyakan oleh pemeran utama drama Korea atau… pembicara motivasi yang gagal move on.

Saya? Saya hanya ketua organisasi yang kadang salah menyebut nama divisi sendiri.


Karena saya santri, saya pikir: cinta juga harus terstruktur. Maka saya buat proposal cinta. Ya, betulan proposal. Formatnya seperti proposal kegiatan pondok.


Judul:

Peningkatan Kualitas Hubungan Emosional antara Ketua dan Wakil Ketua OSM

Latar Belakang:

Hubungan antar pengurus penting untuk soliditas organisasi. Maka perlu pendekatan yang tidak hanya profesional, tapi juga personal (tapi tetap syar’i tentunya).

Tujuan:

  1. Meningkatkan semangat kerja tim.
  2. Menumbuhkan rasa saling memahami.
  3. Kalau Allah ridha, mungkin... lebih dari sekadar kerja tim?

Anggaran:

  • Pulpen warna-warni: 5.000
  • Kertas surat: 2.000
  • Keberanian: nihil
  • Rasa cemas: tak terhingga

Proposal ini tidak pernah saya kirim. Bahkan saya simpan di balik mushaf kecil saya, semacam isyarat bahwa cinta ini suci, tapi tidak perlu diumbar.


Setiap kali saya duduk dekat Intan di rapat, saya berpikir:

“Kalau aku jujur, akankah semuanya berubah?”

Lalu hati saya menjawab sendiri:

“Iya. Jadi aneh. Jangan. Rapikan saja hatimu.”

Karena itu saya hanya bisa tersenyum setiap kali dia berkata,
“Mas Gung, antum capek ya? Makasih ya udah bantu terus…”

Padahal saya tidak capek. Saya bahkan bisa angkat lemari demi senyuman itu.


Intan tetap berjalan dalam hidup saya seperti matahari pagi yang muncul sebentar lalu tertutup awan. Saya tetap berjalan dalam hidupnya seperti petugas piket yang datang-dan-pergi tak pernah diingat.

Tapi saya tidak menyesal menulis puisi-puisi konyol itu, menyusun proposal absurd itu, dan mencatat hal-hal kecil yang tak penting bagi dunia, tapi penting bagi saya.

Karena cinta yang tidak pernah dikirim kadang lebih indah dari cinta yang sampai… lalu rusak di tangan kenyataan.

 

Kopi sachet adalah penemuan terbaik umat manusia setelah mukena wangi dan sandal yang tidak jodoh sebelah.

Dan di pondok, kopi sachet adalah mata uang kedua setelah pulsa. Bisa dipakai buat nyogok teman ganti piket, bisa jadi penawar begadang, dan yang paling sakral: teman merenung soal cinta yang tak pasti.

Malam itu, saya duduk di belakang masjid. Gelap. Sepi. Hanya ada suara jangkrik dan doa-doa anak kelas akhir yang sedang hafalan mutqin. Saya membuka satu bungkus kopi dan menuangnya ke dalam gelas plastik legendaris yang sudah agak kekuningan karena sejarah.

Saya aduk pelan, seperti mengaduk hati saya sendiri yang sedari tadi campur aduk antara suka, harap, dan fakta rekening dompet yang minus.


Munculnya Kompetisi yang Mengguncang

Kabar itu datang seperti tamu tak diundang:
"Intan ikut lomba Tilawah antarpondok."

Heboh. Geger. Semua pengurus membahasnya. Bahkan teman saya, Amir, sampai nyeletuk:

“Kalau suaranya kayak gitu, mungkin malaikat pun tepuk tangan.”

Saya tertawa, tapi dengan wajah seperti tahu bulat kedaluwarsa.

Saya tahu Intan memang punya suara merdu. Saya pernah dengar dia baca Al-Qur’an waktu pembukaan kegiatan. Suaranya bening, seperti embun jatuh di daun talas. Saya sendiri kalau baca tilawah, suaranya kayak truk mundur.

Dan masalahnya, wakil peserta tilawah dari pondok kami adalah… Zaid. Ya, Zaid—rival cinta saya yang punya suara seperti imam masjid haramain dan rambut klimis licin seperti spons cuci piring baru.


Adegan Panggung dan Jarak

Hari lomba tiba.

Saya duduk paling belakang, bersama rombongan suporter. Tapi mata saya hanya tertuju ke dua orang di depan: Intan dan Zaid.

Mereka duduk berdampingan, pakai baju seragam lomba, dan—ini bagian yang paling menyayat—tertawa bersama. Saya tidak tahu mereka tertawa soal apa, tapi yang jelas itu bukan lelucon saya.

Saat Intan maju ke panggung, semua mendadak diam. Suaranya mulai mengalun.

“Bismillahirrahmanirrahim…”

Saya nyaris meneteskan air mata. Tapi bukan karena haru. Lebih karena sadar:
"Saya jatuh cinta pada seseorang yang sedang mengejar langit, sementara saya masih sibuk nyari sinyal cinta di bumi."


Dialog Canggung (yang Lagi-Lagi Hanya di Kepala)

Dalam kepala saya, saya maju ke panggung, mencuri mikrofon, lalu berkata:

“Wahai para juri, wahai dunia! Cinta saya lebih tulus daripada suara Zaid yang empuk itu!”

Tapi kenyataannya, saya hanya duduk kaku sambil memegangi sendok plastik bekas makan bubur.

Setelah acara selesai, saya mencoba menghampiri Intan, tapi Zaid lebih dulu. Mereka ngobrol. Saya berdiri tiga meter dari mereka, seperti satpam bayangan.

Saya tersenyum kaku, dan dalam hati berkata:

“Kalau cinta ini kompetisi… saya gugur di babak penyisihan.”


Surat yang Tak Pernah Saya Kirim (Lagi)

Malam itu saya tulis surat. Bukan proposal lagi. Kali ini lebih jujur, lebih absurd, dan tentu lebih tidak masuk akal.

“Intan,

Aku tahu, mungkin aku bukan pilihan logis. Aku tidak punya suara merdu, tidak juga rambut licin. Tapi aku punya sesuatu yang tidak banyak orang tahu:

Aku menyukaimu, seperti menyukai kopi sachet tengah malam—pahit, hangat, dan tidak pernah bisa dijelaskan kenapa.”

Surat itu saya lipat rapi, saya masukkan ke dalam kitab Nahwu. Lalu saya menatap langit-langit kamar dan bertanya kepada Allah:

“Ya Allah, kalau cinta ini tidak sampai, setidaknya biarkan aku lulus ujian kitab kuning semester ini…”


Kadang, kita mencintai seseorang bukan untuk memilikinya, tapi untuk mengenal diri kita sendiri:
Bahwa kita bisa merasa tulus tanpa syarat.
Bahwa kita bisa cemburu tanpa benci.
Bahwa kita bisa kalah… dan tetap bisa tertawa (sambil nyeduh kopi sachet yang keempat).

Cinta itu seperti kompetisi tilawah: yang penting bukan siapa yang menang, tapi bagaimana hati kita ikut berdzikir dalam sunyi.

 

Pengakuan Terlambat, Pengganti yang Tak Sama

Kehidupan di pondok tetap berjalan. Rapat masih rapat. Proposal tetap diketik. Lomba tetap diumumkan. Tapi saya? Saya mulai merasa jadi pemeran figuran dalam sinetron yang saya tulis sendiri.

Lalu suatu hari, dunia saya sedikit guncang karena sebuah pengumuman tidak resmi tapi cepat menyebar seperti kabar hilangnya sandal saat Jumat:

"Zaid dan Intan katanya dijodohkan sama ustadz mereka, loh!"

Saya mendengarnya dari Miftah, teman saya yang hobinya menyebar rumor sambil makan kerupuk.

“Beneran, Gung. Bahkan ustadz Zain sendiri yang bilang. Katanya cocok karena dua-duanya kalem, pintar, dan... ya, seimbanglah.”

Saya mengangguk pelan.

Dalam hati saya berteriak:

“Kalem? Pintar? SEIMBANG? Lalu aku apa? Berat sebelah?”


Respon yang Tidak Gentleman (Tapi Jujur)

Malamnya, saya menatap cermin kecil yang biasanya saya gunakan buat nyisir. Saya pandangi diri saya sendiri.

Rambut acak-acakan. Kacamata miring. Komedo level subur.
Dan saya bertanya:

“Apa yang sebenarnya kamu harapkan, Gung? Kamu pikir Intan akan melihatmu sebagai pangeran berkuda hanya karena kamu bisa bikin daftar hadir rapat dengan rapi?”

Saya menghela napas, lalu membalas suara hati saya sendiri:

“Enggak, sih. Tapi masa iya dia milih Zaid sih... ya Allah, setidaknya kasih aku kesempatan satu ronde dulu.”


Surat Terakhir (Yang Kali Ini Benar-Benar Tak Pernah Dikirim)

Saya tulis satu surat lagi. Kali ini, bukan karena saya berharap. Tapi karena saya ingin mengucapkan selamat tinggal—dengan elegan.

“Intan,

Aku tidak pernah benar-benar mengenalmu, selain dari cara kamu membenarkan jilbab sebelum maju ke panggung, cara kamu menyebut ‘Bismillah’ sebelum membacakan laporan, dan caramu tertawa yang sederhana tapi cukup untuk meruntuhkan prinsip hidupku.

Mungkin kamu akan bersama Zaid. Mungkin kalian akan bahagia. Dan itu baik. Aku ikhlas. Tapi kalau suatu saat kamu mendengar seseorang pernah menyukaimu diam-diam di balik daftar absensi dan proposal kegiatan... yah, itu aku.

Wassalamualaikum."

Saya simpan surat itu di balik sajadah. Dan saat saya sujud malam itu, saya membaca doa yang tak biasa:

“Ya Allah, aku tahu cinta ini bukan untuk dimiliki. Maka jangan cabut rasa ini, tapi ubahlah jadi alasan untuk lebih dekat pada-Mu.”


The Rise of Pengganti yang Tak Sama

Dunia terus berputar. Saya mulai sibuk lagi. Bahkan ada satu akhwat baru yang menggantikan posisi Intan di organisasi. Namanya bukan Intan. Wajahnya tidak mirip. Suaranya pun biasa saja. Tapi dia baik, dan sering senyum.

“Mas Gung, ini data absensi yang antum minta,” katanya suatu hari.

Saya senyum. Biasa saja. Lalu saya sadar:

“Kadang, yang datang setelah patah hati bukanlah pengganti… tapi pengingat bahwa dunia tidak berakhir di satu orang.”


Intan tetap menjadi bagian sejarah organisasi dan sejarah hati saya. Tapi saya belajar bahwa dalam hidup santri, cinta tak selalu harus punya nama akhir.

Kadang ia hadir sebagai pelajaran, bukan pasangan.
Sebagai nyala kecil di malam yang sunyi, bukan api unggun yang bisa menghangatkan selamanya.

Dan mungkin, justru karena tidak memiliki, saya bisa mengingatnya dengan utuh—tanpa luka, tanpa marah, hanya senyum kecil sambil berkata,

“Ya Allah, dulu aku pernah menyukai seseorang dengan seluruh rasa yang bahkan aku sendiri tidak tahu cara mengucapkannya.”

 Wisuda, Pamit, dan Kenangan yang Tinggal di Lemari Asrama

Pondok mulai ramai dengan suara koper diseret, kasur digulung, dan spanduk bertuliskan “WISUDA AKBAR TAHUN INI” yang menggantung agak miring. Semesta seolah memberi kode:

“Sudah, saatnya pulang, Gung…”

Saya berdiri di depan kamar asrama, melihat kardus berisi kitab-kitab, catatan, dan… surat-surat cinta yang tak pernah terkirim. Saya menemukan kembali proposal absurd tentang hubungan emosional pengurus, dan saya tertawa sendiri.

“Dulu niatnya mau nyatain cinta, yang ada malah jadi penggagas kegiatan pelatihan manajemen organisasi,” gumam saya sambil lipat baju.


Perpisahan yang Tidak Dramatis

Hari itu, semua santri berkumpul di aula besar. Kami bersalaman, berpelukan, dan mengucapkan kalimat klise paling sakral di pondok:

“Kalau ada salah selama ini, mohon dimaafkan ya…”

Saya bertemu Intan sebentar. Sangat sebentar. Cukup untuk mengucapkan salam, cukup untuk saling menatap dan tahu:
Tidak akan ada lagi rapat. Tidak akan ada lagi panggilan “Mas Gung” yang terdengar dari balik hijab.

Intan tersenyum. Lalu pergi.

Saya ingin memanggil. Tapi tidak ada kata yang cukup. Yang tersisa hanya detik-detik penuh makna yang tidak butuh narasi.


Kenangan yang Tertinggal

Beberapa hari setelah wisuda, saya kembali ke pondok untuk mengambil sesuatu yang tertinggal. Ketika membuka lemari, saya menemukan satu amplop kecil yang tidak saya kenali.

Saya buka. Isinya selembar kertas dengan tulisan tangan yang rapi:

“Mas Gung,

Terima kasih sudah menjadi teman terbaik dalam organisasi. Maaf kalau selama ini saya tidak pernah menyadari apa yang mungkin Mas rasakan.

Saya tahu Mas adalah orang baik, dan saya yakin… Allah akan beri seseorang yang bisa memahami Mas lebih dari saya.

Semoga kita semua diberi jalan terbaik.

– Intan”

Saya duduk. Diam. Lalu tersenyum.

“Akhirnya… surat yang datang, meski setelah semua berakhir.”


Epilog: Tentang Cinta, Pondok, dan Perjalanan

Hidup adalah tentang belajar melepaskan. Tentang menerima bahwa tidak semua rasa harus memiliki ujung bernama “jadian”.

Dulu saya pikir, jika saya tidak bisa bersamanya, maka saya gagal.

Ternyata tidak. Saya justru lulus dengan nilai terbaik dalam pelajaran paling sulit di pondok ini:
Ikhlas.

Sekarang, setiap kali saya melihat buku agenda lama, atau mendengar seseorang menyebut nama "Intan", saya tidak lagi merasa sesak.

Saya hanya mengingat satu masa, di mana saya mencintai seseorang diam-diam, dengan cara yang sederhana: lewat catatan, proposal, kopi sachet, dan doa-doa yang tak pernah sampai ke telinganya… tapi barangkali sampai ke langit.

Dan itu cukup.


~ TAMAT ~


Tentang penulis :

Marzuki Ibn Tarmudzi, pernah mencicipi sedikit segarnya lautan ilmu di Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang, Jawa Timur. Hobinya yang suka nyorat-nyoret kertas ini dimulai semenjak nyantri. Kini, hobinya itu dituangkan di berbagai media online, itung-itung sebagai aksi dari ; “بلغوا عني ولو أية “,” sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat ”.