Nostalgia / Nostalgila



By: Marzuki Bersemangat

"Homo Homini Lupus. Manusia tidak terkecuali santri, berubah menjadi serigala dalam belantara modernisasi. Silahkan berjuang mati-matian dengan mengatakan bahwa cirri khas kebudayaan Indonesia adalah gotong-royong.”

Aku masih ingat sekali statement itu ia tulis dipamphletnya. Kusimpan pamphlet itu sebagai kenangan darimu. Pamphlet itulah ku bisa mengakses perkembangan pemikiranmu. Hanya edisi itu yang tersimpan dan itu inspiarasi terindah bagiku.


Kawan, ku kenalkan sahabat lamaku namanya Mbah Men, lengkapnya Lukman Hakim. Perawakannya tinggi, rambutnya sigar tengah (edisi tahun 2008 kebawah sekarang entah). Panggilan Mbah bukan berarti tua, ia stil young he was born at 1986 same with me. Nama Mbah di Pesantren lebih identik pada penghormatan bukan pada umur.

Kutulis tentang Mbah Men karena ia adalah sahabat yang paling cerdas yang pernah ku kenal. Manusia cerdas sebayanya. Manusia yang dikagumi teman-temanya karena kecerdasan dan karakter yang meneladankan seorang pemimpin.

Dalam salah satu artikelnya beliau pernah menulis bahwa tidak seorang pun berhak menyandang predikat santri. Apalagi memonopoli maknanya dengan mengklaim bahwa “kamilah sebenar-benarnya santri. Kamilah yang pantas mewakili seluruh definisi atas nama santri”. Menurut beliau santri dulu dan sekarang sama. Tyada yang lebih unggul, Setiap era , zaman mempunyai karakteristik tersendri.

Beliau juga mempertanyakan “siapa yang pertama kali menggulirkan kesimpulan, santri sekarang tidak lebih baik daripada santri dulu?” dan “Benarkah telah terjadi kemunduran dalam berbagai aspek ditubuh generasi kita ini?”


Pertanyaan diatas membuat jantungku berdebar-debar. Aku sebagai santri harus mawas diri tentang statusku, “Terlalu muluk untuk aku disebut santri?”


Sebagai santri Mbah Men dan kita tentunya, perlu menyadari bahwa santri sekarang telah kehilangan ciri khas yang telah dianggap determinan (abadi) dan memang harus selalu ada. Ciri atau karakter yang telah hilang itu adalah persaudaraan dan semangat kekeluargaan.

Beliau beropini bahwa kita sedang dalam masa transisi dari tradisionalitas menuju modernitas. Masalahnya, manusia tidak bisa benar-benar berada ditengah atau netral. Sedikit atau banyak ia pasti memihak antara tradisionalitas atu modernitas. Manusia mempunyai sifat kecenderungan, saat itulah ia ikut ke medan laga turut bertarung mempertahankan keyakinannya.

Rayuan modernitas telah berhasil mengendalikan selera kita pada umumnya, terlebih santri. Santri lebih mementingkan belajar LKS daripada kitab pesantren. Ngaji wethon tidak lebih penting dari main game.

Pondasi pokok yang membentuk modernitas adalah proyek rasionalisasi yang kemudian berkembang menjadi mitos – untuk tidak menyebutnya mantra- dari modernitas menjadi ruhnya dan yang di pertuankan. Pada gilirannya, rasionalitas menciptakan pemilah-milahan dalam segenap cabang kehidupan. Wal hasil, komunalisme yang biasa terwujud dalam trend gotong-royong dan semangat persaudaraan sekarang dicabik-cabik oleh trend baru; egosime (cermin dari keangkuhan modernitas). Padahal yang petama tadi adalah ciri utama masyarakat santri.

Kembali pada statement diatas, "Homo Homini Lupus. Manusia tidak terkecuali santri, berubah menjadi serigala dalam belantara modernisasi. Silahkan berjuang mati-matian dengan mengatakan bahwa cirri khas kebudayaan Indonesia adalah gotong-royong.” Toh, itu sama saja halnya dengan menghembuskan lelucon yang tak lucu. Isapan jempol belaka. Harga mati yang harus dipilih hari ini adalah modernisasi dan segala konsekwensinya.


Bumi Kedamaian
5 desember 2009

Tentang penulis :

Marzuki Ibn Tarmudzi, pernah mencicipi sedikit segarnya lautan ilmu di Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang, Jawa Timur. Hobinya yang suka nyorat-nyoret kertas ini dimulai semenjak nyantri. Kini, hobinya itu dituangkan di berbagai media online, itung-itung sebagai aksi dari ; “بلغوا عني ولو أية “,” sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat ”.