Sastra Merupakan Pencerahan



By: Marzuki Bersemangat
Seberkas cahaya lampu menyorotiku yang sendiri. Ma’lum, malam Jum’at adalah malem minggu bagi santri. Kunikmati kesendirianku di kamar mendengarkan MP3.

kawan, apa jadinya bila dunia tiada musik? Jawabannya tentu, tetap jadi dunia, dan dunia sepanjang ada manusia akan tetap ada musik. Karena apapun bisa menjadi musik.

Keasyikanku terusik denan kedatangan Al-Banna. Temanku ini suka mendekati orang-orang yang sedang sendiri. Ia mungkin berpikir teman yang sendiri membutuhkan teman. Namun, selama niatnya baik itu menjadi catatan amal baik baginya.

Al-Banna tidak suka banyak omong, ia lebih suka membaca. Tapi sekali ia berbicara membuat audiens tepuk tangan. Aku pribadi suka teman kaya’ gini.

“Oo, Buku ini yang kucari”

Demikian ucapnya saat melihat sebuah buku” AKU” Chairil Anwar, Sjumanjaya. Iapun melahap buku itu layaknya kucing memangsa tikus. Mukanya bersinar menemukan pecah dalam kepenatan. Maka sesekali ia tersenyum lebar, bahkan sebaliknya.

Penikmat sastra memang seakan terhipnotis oleh karya-karya sastra. Tak pelak, ditengah rancunya hidup, sastra banyak penikmatnya.

“Kang, sastra itu pedang yang tidak mengeluarkan darah”

Aku tersentak “Uh…..!”

Kupandangi wajahnya dengan halus sebagai wujud responku atas statement. Metode ini lebih baik untuk memancing pebicaraan biar lebih seru, dan metode ini bisa menutupi kebodohan kita. Orang bijak mengatakan, diam itu mempunya seribu ari.

“Sebagai pedang, sastra bertugas menusuk-nusuk ketimpangan sosial, ketidakadilan dan kesewenang-wenangan dalam kehidupan ini”

Ia terlihat semakin serius dan mulai menata tempat duduknya yang kelihatan pantatnya mulai memanas. Tangannya meraba-raba saknya, mengeluarkan sebungkus rokok kreteknya.

“Udud, Kang”

“Wah…..aku ndak udud e”

“Yo. Saiki lha nanti”

Al-Banna semakin terkilat gagah dengan rokok ditangannya.

“Kang, sastra tidak pernah menjadi guru bagi orang lain, karena bahasa sastra adalah bahasa simbol, bahasa lambang”

“Dok….Dok…”

Tiba-tiba pintu kamar terdengar ketukan.

“Masuk” Jawabku

“Assalamu’alalikum”

“Wa’alaikumsalam, weh ….. Kang Muhtar, darimana?”

“Ngopi Kang, nang Makti ha……ha……”

Suasana kamarku menjadi lebih ramai dengan kedatangan Kang Muhtar. Ia lebih suka guyon yang kritis. Akupun senang karena sebentar lagi pembicaraan pasti lebih asyik

“Gimana tadi, katanya sastra itu mampu mengkritisi problem sosial, ah….. itu terlalu menyempitkan fungsi sastra”

Kang Muhtar berbicara dengan nada arogannya. Memang itu nada Kang Muhtar. Ia suka memancing lawannya untuk naik pitam.

“Lho.. Kang Muhtar kok tahu pembicaraan sebelumnya” Tanyaku

“He…… aku tadi nguping didepan pintu, sory kang”

“Tadi belum selesai Kang Muhtar” sergah Al-Banna dengan senyuman yang manis dan ia pun menmbah.

“secara umum fungsi sastra dapat dibedakan menjadi lima: fungsi rekreatif, fungsi deduktif, fungsi estetis, fungsi moralitas, fungsi relegius”

Adhan Isya’ terdengar aku pun keluar dan mereka juga keluar.

Gambar diambil dari website http: //www.andreyuris.wordpress.com

Tentang penulis :

Marzuki Ibn Tarmudzi, pernah mencicipi sedikit segarnya lautan ilmu di Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang, Jawa Timur. Hobinya yang suka nyorat-nyoret kertas ini dimulai semenjak nyantri. Kini, hobinya itu dituangkan di berbagai media online, itung-itung sebagai aksi dari ; “بلغوا عني ولو أية “,” sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat ”.