Di suatu senja, di desa kecil bernama Kaligarung, ada dua
anak lelaki yang tidak tahu bahwa mereka sedang menanam masa depan dengan
huruf-huruf Arab. Mereka tidak tahu bahwa mereka sedang mencicil cinta kepada
Tuhan dengan mengeja “ba”, “ya”, “ro”, yang terkadang terdengar seperti mantra
sederhana yang mengudara dari surau reyot bernama Al-Ikhlas. Salah satu dari
mereka adalah aku.
Waktu itu, aku kelas lima sekolah dasar. Di saat anak-anak
lain sibuk memburu layangan putus dan berlomba meniup peluit dari batang
pepaya, aku sibuk gagal membaca Al-Qur’an. Padahal aku sudah menuntaskan Iqro’
sampai jilid enam, tetapi tetap saja lidahku beku jika harus membunyikan huruf "tsa"
dengan benar. Perjalanan membacaku lebih banyak tersandung daripada meluncur.
Guru ngajiku berganti-ganti, seperti murid yang tidak lulus-lulus dari kelas
kehidupan.
“Aku ini bodoh, atau memang Al-Qur’an terlalu agung untuk
dibaca oleh bocah ingusan?” tanyaku dalam hati, ketika bulan Ramadhan datang,
dan semua anak berlomba khatam, sedang aku masih berkutat di huruf-huruf awal.
Lalu datanglah dia: Saji. Teman mainku. Dia tidak seperti
ustadz-ustadz sebelumnya yang bersurban dan bersuara berat. Saji hanyalah
lulusan kampus umum yang kemudian memilih menjadi dosen. Ia tidak pernah
memakai peci hitam nasionalis. Tapi ada yang unik dari dirinya: ia membawa
keanggunan kampus ke mushola kami, dan membawa kelembutan hati ke tengah
bacaan-bacaan suci.
Suatu hari aku berkata, “Saji, kau jadi ustadzku saja.”
Dia tertawa. “Kau serius?”
Aku mengangguk. Serius. Karena aku butuh guru yang bisa
sabar pada bocah kampung yang sering salah baca.
Mulai saat itulah, sore-sore kami tidak lagi dipakai untuk
sekadar bermain kelereng. Kami mengubah mushola Al-Ikhlas menjadi tempat
peradaban. Di sana kami mencipta mimpi. Setiap ba’da Maghrib, kami mengaji. Aku
dan Eko, teman setiaku, duduk bersila dengan mushaf yang lusuh. Kami mengaji
seperti para santri di pesantren salaf yang membaca kitab kuning dengan
sorogan. Ustadz Saji hanya mengangguk atau menggeleng, dan sesekali tersenyum
puas jika kami membaca dengan tartil.
Kami tak hanya belajar mengeja huruf, tapi juga mengeja
makna ketekunan, mengeja makna sahabat, mengeja makna kehidupan. Malam-malam
itu, ketika azan Isya berkumandang, kami sadar telah berpindah dari alam
bermain ke alam mencari Tuhan.
Tahun berganti. Mushola Al-Ikhlas tak lagi reyot. Ia kini
berdiri megah, bertembok keramik dingin, dengan sajadah dari Turki, dan
lampu-lampu LED yang menyala terang seperti pusat perbelanjaan. Tapi, kemegahan
itu seperti menghapus sejarah. Sejarah ketika lantainya masih berupa
"ris"—adonan semen, pasir, dan air yang kasar menyentuh lutut saat
sujud. Pintu mushola dulu punya suara khas: “Graddhhakk!!
Kreieeeek..Blaaak!!”—suara yang akan dikenang lebih lama dari nyanyian pop
apapun. Di sudut mushola itu, ada genthong berlubang, bernama padasan,
yang airnya bening meski tak pernah disaring. Kami wudu dari sumur yang airnya
harus di-oklek, tali ditarik, ember menari, lalu air menderas.
Kini mushola kami seperti hotel. Tapi, ironisnya, semakin
indah bangunannya, semakin sepi ruhnya. Al-Qur’an yang dulu dipeluk dan dibaca,
kini hanya menjadi ornamen. Mushaf-mushafnya berjejer rapi seperti buku antik
di rak museum. Tidak ada yang menyentuhnya. Tidak ada yang menangis karena
maknanya.
Anak-anak muda lebih memilih tidur di pos ronda, karena
rumah-rumah mereka bukan lagi home, melainkan hanya house.
Bangunan tanpa ruh. Rumah tanpa kehangatan. Di situlah aku mulai rindu pada
masa lalu.
Rindu pada lampu teplok yang redup, pada suara cengkerik
yang menemani bacaan iqro’, pada wangi tubuh teman-teman yang belum kenal
parfum tapi akrab dengan peluh perjuangan.
Aku dan Eko kemudian menjadi penjelajah spiritual. Setelah
kuat mengeja dengan Ustadz Saji, kami menjelajah ke surau-surau lain. Di desa
kami, setiap RT punya surau. Setidaknya sepuluh surau berdiri. Kami menelusuri
satu per satu, seakan menapaki jejak para wali. Naik sepeda ontel federal, kami
menyeberang batas dusun, mencari guru-guru lain.
Akhirnya kami bertemu Ustadz Santoso. Ia adalah Maha Guru,
karena bahkan Ustadz Saji adalah muridnya. Surau tempatnya mengajar kecil,
nyaris tersembunyi oleh sumur tua, tetapi dari situlah lahir para penghafal
Qur’an. Suara Ustadz Santoso menggelegar, dan kumisnya menyerupai tanduk macan.
Tapi hatinya lembut. Kami takut padanya, tapi juga mencintainya.
Beliau mengajarkan kami bahwa membaca Al-Qur’an tidak
sekadar seni vokal. Itu adalah jembatan menuju rahmat Tuhan.
Dan malam-malam kami pun kembali hidup. Tak ada gawai, tak
ada media sosial, tapi dunia kami begitu luas. Kami merasa seperti para pelaut
yang sedang mengarungi samudra makna dari satu huruf ke huruf lain. Kami
menyelami tajwid, makhraj, dan irama. Kami menjadi pencinta aksara langit.
Kalau kamu suka arah ini, aku akan lanjutkan sampai penuh
30.000 karakter. Aku akan masukkan refleksi tentang profesionalisme, pentingnya
fokus, kritik sosial tentang maraknya pembangunan fisik tanpa ruh, serta makna
guru dan sahabat dalam pembentukan spiritualitas anak-anak desa.
Aku ingat dengan sangat jelas, sepatu sekolahku dulu
warnanya bukan lagi hitam atau putih. Ia telah menjelma warna tanah, karena
terlalu sering menyusuri jalan setapak ke mushola. Terkadang karet solnya
lepas, menyembul seperti lidah yang lelah menjilat bumi. Tapi aku tetap
memakainya dengan bangga. Sebab di dalam sepatu itu, ada langkah-langkah kecil
yang sedang belajar mencintai Tuhan. Dan jalan ke mushola, meski berlumpur dan
berbatu, adalah jalan ziarahku ke surga.
Di kelas enam SD itu, aku dan Eko—dengan sepeda ontel
tua—menjadi penjelajah kecil. Kami tidak pernah benar-benar punya peta. Tapi
kami punya tekad yang lebih kokoh dari jalan aspal. Kami mencari guru bukan
karena tugas, bukan karena PR. Kami mencari guru karena kami haus. Haus akan
makna dari ayat yang setiap malam kami dengar, tetapi belum kami pahami.
Kami mengayuh sepeda tidak hanya membawa tubuh, tetapi juga
mimpi: mimpi bisa membaca Al-Qur’an dengan tartil, dengan makhorijul huruf yang
benar, dengan suara yang jika terdengar malaikat pun akan menunduk kagum. Mimpi
itu, sederhana bagi orang dewasa. Tapi bagi anak kecil yang tumbuh dari desa
Kaligarung, mimpi itu seperti bintang paling jauh di langit musim kemarau.
Dan malam-malam itu, kami temukan satu per satu cahaya.
Surau-surau kecil seperti lilin, menyala lembut di tengah gelap zaman yang
kerap melupakan cahaya. Dari setiap surau kami dapatkan satu suku kata. Dari
setiap ustadz, satu nafas doa. Dari setiap adzan, satu detik keberanian.
Lama-lama kami mulai bisa membaca ayat-ayat panjang. Suara kami tidak lagi
gugup. Hati kami tidak lagi gentar.
Suatu malam di Mushola Al-Ikhlas, hujan turun begitu derasnya.
Atap bocor di banyak titik. Tapi kami tetap duduk di atas sajadah yang telah
basah. Ustadz Saji tidak datang malam itu. Tapi aku dan Eko tetap mengaji. Kami
membuka Al-Qur’an dan saling menyimak bacaan masing-masing. Kami merasa diawasi
oleh langit. Kami merasa, meski tidak ada ustadz, ada Allah yang mendengarkan.
Waktu itu, aku tidak tahu bahwa perasaan itu adalah bentuk
tertinggi dari keimanan seorang anak kecil.
Aku masih
ingat, hari pertama aku menjejakkan kaki di Jombang. Suasana stasiun yang riuh,
suara pedagang yang menjajakan koran dan tahu petis, dan aroma khas kota yang
menyatu antara debu, terik, dan harapan. Aku turun dari kereta ekonomi dengan
membawa satu koper yang warnanya sudah tak jelas—hadiah Bapak saat aku
memutuskan mondok. Di dalam koper itu tak ada apa-apa yang mewah, hanya baju
koko putih, sarung batik murahan, dan mushaf kecil bersampul hijau tua yang
kulitnya sudah mengelupas di tepi-tepi.
Namun isi
koper itu bukan soal benda, melainkan tekad yang kusematkan sendiri: “Aku datang
untuk belajar sampai Allah berkata cukup.”
Hari-hari
di Tambakberas berjalan seperti menelusuri sungai yang kadang deras, kadang
tenang. Di hari-hari awal, aku sempat menangis diam-diam di bawah pohon
trembesi, hanya karena rindu nasi goreng buatan Ibu. Tapi entah kenapa, tiap
air mata menetes, bayangan Ustadz Saji dan suara lantang Ustadz Santoso menyela
pikiranku, mengingatkanku bahwa air mata bukan untuk ditumpahkan karena rindu,
tapi karena kerinduan pada ilmu dan pada Tuhan.
Aku mulai
terbiasa dengan kehidupan pesantren. Bangun pukul tiga dini hari, menyusup
dalam sunyi untuk shalat malam, lalu mengaji sebelum subuh membelah pagi.
Madrasah Qur’an menjadi rumah keduaku. Di sana, huruf-huruf bukan lagi sekadar
simbol, tapi jembatan menuju ketenangan batin. Alif lam mim bukan sekadar
lafaz, tapi mantra yang membungkus luka-luka kecil dalam hidup.
Guru-guru
di sana tak banyak bicara, namun sekali mereka membuka mulut, rasanya seperti
mendengar mata air menyapa kerikil. Dingin, jernih, tapi menghanyutkan. Mereka
mengajar bukan hanya dengan buku dan pena, tapi dengan cara duduk, cara makan,
cara diam yang semuanya mengandung hikmah.
Di antara
semua pelajaran, Attibyan menjadi favoritku. Buku kecil bersampul kuning pucat
yang mengajarkan adab membaca Al-Qur’an. Halaman pertama berbunyi, “Jika kau
hendak membaca kalam Allah, bersihkan hatimu seperti engkau membersihkan
tubuhmu.” Kutipan itu kubaca berkali-kali, seperti doa yang ingin kusematkan
pada setiap detik hidupku.
Di hari
Jumat, kami saling mencuci pakaian di sumur bersama. Air sumur yang dingin
bukan hanya membersihkan kotoran, tapi juga menghapus ego. Tak ada santri yang
sombong ketika memeras sarung di bawah matahari, karena di hadapan Allah, kami
semua sama—hanya anak-anak yang sedang berusaha kembali ke pangkuan-Nya.
Aku dan
sahabat baruku, Husni, sering bercakap hingga larut malam, membahas tafsir Ibnu
Katsir dengan semangat seolah kami adalah murid langsung Rasulullah. Di suatu
malam bulan Rajab, ketika hujan turun gerimis, Husni bertanya padaku, “Menurutmu,
apa ayat yang paling indah dalam Al-Qur’an?”
Aku
terdiam, menatap tembok mushaf yang menggantung di dinding, lalu menjawab
pelan, “Menurutku, ayat yang paling indah bukan soal surga atau neraka, tapi
tentang Dia yang selalu bersama kita... wa huwa ma'akum ayna ma kuntum—dan
Dia bersamamu di mana pun kamu berada.”
Husni
mengangguk, lalu kami tertawa. Tawa kami pelan, tidak heboh, seperti desir
angin menari di balik jendela kayu. Tapi dari semua momen itu, yang paling
membekas adalah kesadaran bahwa aku tidak pernah sendirian dalam perjalananku.
Mushola
Al-Ikhlas di Kaligarung masih kukenang. Bahkan dalam mimpi, aku kerap duduk di
serambi kecilnya, memeluk mushaf dan mendengar suara lampu teplok menyala
redup. Mushola itu telah menjadi bagian dari sejarah spiritualku, tempat
rudal-rudal kecil dipersiapkan untuk menghadapi dunia yang lebih besar.
Pernah suatu malam, saat aku duduk sendiri di emperan kamar
santri, suara azan dari masjid induk bergema panjang, menembus dedaunan jati
dan rindangnya langit Tambakberas. Aku memejamkan mata. Di kepalaku muncul
wajah Eko, sahabatku sejak kecil yang dulu selalu duduk di sampingku saat
mengaji di Mushola Al-Ikhlas. Kami seperti dua anak panah yang dilepas dari
busur yang sama—dengan arah berbeda namun bermuara pada satu tujuan: mencari
Allah.
Eko tidak ikut mondok. Ia meneruskan sekolah di kota. Tapi
kami tetap saling berkirim kabar, kadang lewat surat yang dititipkan pada
kenalan, kadang lewat doa yang kami lafalkan dalam sepi masing-masing. Dalam
surat terakhirnya, ia menulis:
“Kau telah memilih jalan yang mungkin lebih sunyi, tapi
lebih terang. Aku di kota ini sering merasa ramai, tapi tak punya suara. Kau di
pesantren, mungkin sepi, tapi seluruh langit mendengar langkahmu.”
Aku membaca surat itu sambil menangis diam-diam di bawah
cahaya lampu neon yang menggantung muram di langit-langit langgar. Tidak ada
musik sedih, tidak ada adegan dramatis. Hanya seorang bocah pesantren yang
terharu karena merasa dimengerti.
Tiap kali rindu rumah datang menyerang, aku mengingat
kembali tempat wudhu kami di Mushola Al-Ikhlas. Air dari padasan yang jatuh
perlahan ke telapak tangan, dinginnya mengalir seperti dzikir. Suara pintu kayu
yang berderit tiap ditutup, seakan mengucap salam. Dan lampu teplok tua itu,
yang kadang-kadang padam tertiup angin, mengajarkanku tentang sabar dan pasrah.
Waktu berjalan seperti air sumur yang tak henti ditimba. Aku
beranjak ke Aliyah. Di sana, pelajaran mulai rumit. Fiqh, Ushul Fiqh, Balaghah,
Mantiq, dan Tafsir. Tapi di antara semua kitab, yang paling membuatku
terguncang adalah Al-Hikam karya Ibnu Athaillah. Kalimatnya seperti
cermin yang menelanjangi hati. Ia tidak menampar, tidak menggertak, tapi
menguliti pelan-pelan, hingga aku bisa melihat siapa diriku sebenarnya.
“Jangan kau berharap keluar dari sebuah takdir sebelum
takdir itu sendiri selesai menggarapmu.”
Kalimat itu kutulis ulang berkali-kali di halaman depan buku
catatanku. Sejak saat itu, aku mengerti: mondok bukan pilihan kecil. Ini adalah
jalan panjang, kadang seperti gurun, kadang seperti padang rumput. Tapi satu
hal yang pasti: tak ada langkah yang sia-sia, jika kaki ini dijalankan untuk
mendekat pada-Nya.
Di Aliyah, aku kembali bertemu dengan guru-guru hebat. Ada
Kiai Sholeh, guru tafsir yang bisa menjelaskan satu ayat selama dua minggu. Tak
ada yang bosan, karena tiap kalimat beliau seperti membuka lapisan baru dari
Al-Qur’an yang selama ini hanya kami baca tanpa rasa. Ada pula Ustadzah Nurul,
guru bahasa Arab yang tegas, tapi sering meminjamkan bukunya kepada santri yang
ingin belajar lebih. Katanya, “Siapa pun yang meminjam buku dengan ikhlas, akan
diberi cahaya oleh Allah.” Aku meminjam satu, dua, hingga belasan buku.
Tapi dari semua pelajaran, yang paling hidup justru bukan
yang tertulis. Melainkan yang kulihat dalam keseharian. Cara para kiai berjalan
perlahan menuju masjid, cara mereka memberi makan kucing di emperan mushola,
cara mereka tersenyum pada santri yang baru pertama kali membaca dengan tartil.
Itu pelajaran yang tak diajarkan di ruang kelas. Pelajaran yang hanya bisa
diserap jika hati ini cukup peka.
Suatu malam di Ramadan, aku menyendiri di pojok langgar,
merenungi ayat-ayat yang baru saja kuselesaikan. Lampu minyak masih menyala
remang. Aku mengingat masa kecilku di Kaligarung. Aku, Eko, Ustadz Saji, dan
suara jangkrik di halaman mushola. Aku teringat suara ibu yang lembut memanggil
dari dapur, dan Bapak yang pulang dari sawah dengan sarung di pundak.
Tangisku pecah pelan. Bukan karena sedih, tapi karena rindu
yang terlalu dalam. Aku rindu menjadi anak kecil yang mengeja huruf hijaiyah,
rindu pada kesederhanaan masa lalu, dan rindu pada Mushola Al-Ikhlas yang reyot
tapi sakral. Aku sadar, tempat itu telah menanamkan rudal iman di dadaku—rudal
yang akan kujaga sampai akhir hayat.
Kini, Mushola Al-Ikhlas berdiri megah. Keramiknya mengilat,
lampunya tak lagi berkedip seperti lampu teplok tua yang dulu menari-nari
bersama angin malam. Padasan sudah diganti dengan kran modern. Gedhek bambu
yang pernah mengukir suara angin kini digantikan tembok kokoh, dingin, dan
wangi cat baru.
Namun dalam megah itu, aku sering bertanya: di mana Eko dan
aku yang dulu?
Di mana suara pintu kayu yang meraung saat ditutup paksa? Di
mana gumam Ustadz Saji saat mengeja Ba-Ya-Ro di antara desau kipas angin
tua yang berdecit? Di mana kami yang dulu mengeja satu huruf seperti menggali
gunung? Mushola itu kini lebih indah, tapi bagian dari sejarah kami seperti
menguap perlahan.
Aku pernah kembali ke sana, berdiri sendiri di sudut
mushola. Kukenang setiap inci tempat itu, tapi yang paling terasa justru bukan
lantainya yang dingin atau sajadahnya yang baru. Melainkan suara: suara masa
kecilku, suara langkah Ustadz Saji, dan suara hatiku yang dulu selalu meronta
ingin belajar, ingin bisa, ingin lebih dekat kepada Allah.
Kini, aku tahu bahwa membaca Al-Qur’an bukanlah tujuan
akhir. Ia adalah awal dari sebuah jalan panjang menuju makrifat. Dulu aku
pikir, bisa membaca Al-Qur’an berarti aku telah menjadi orang baik. Tapi
sekarang aku sadar, bisa membaca Al-Qur’an hanyalah tiket untuk masuk ke dalam
samudra yang lebih luas—samudra pemahaman, samudra pengamalan, dan samudra
pengabdian.
Aku ingin suatu hari nanti menjadi seperti Ustadz Santoso.
Menjadi guru yang tidak hanya mengajar huruf, tapi juga menghidupkan hati. Aku
ingin bisa duduk di depan anak-anak desa, mendengarkan mereka mengeja Alif
Ba Ta, seperti dulu aku dibimbing. Aku ingin menjadi mata air kecil yang
mungkin tak terlihat di peta, tapi cukup menyegarkan seorang musafir dalam
perjalanan panjangnya.
Dan Eko, sahabatku… Di manapun kau berada kini, semoga kau
tahu: Mushola itu tak hanya milik arsitek yang membangunnya. Mushola itu milik
kita, yang dulu setiap ba’da Maghrib menjadikannya sebagai madrasah kecil,
tempat menanam cita-cita besar dengan huruf-huruf kecil yang kami eja dengan
terbata.
Kadang aku berpikir, kalau ada rudal yang paling hebat di
dunia, bukanlah rudal yang menghancurkan kota. Tapi rudal yang ditanamkan di
hati anak kecil—rudal iman, ilmu, dan harapan. Rudal yang ditembakkan bukan ke
langit, tapi ke dalam jiwa, agar kelak tumbuh menjadi cahaya yang tak pernah
padam.
Mushola Al-Ikhlas adalah tempat rudal itu diluncurkan. Dan
aku, salah satu bocah kecil yang pernah duduk bersila di lantainya yang
berdebu, kini melanjutkan perjalanan. Bukan untuk menjadi hebat. Tapi untuk
tetap mengingat, bahwa cahaya pertama yang menuntunku bukan datang dari lampu
neon. Tapi dari suara lirih seorang guru desa yang sabar mengajariku mengeja
ayat pertama.
Iqra’ bismi rabbikalladzi khalaq.
Bacalah, dengan nama Tuhanmu yang menciptakan.
Dan aku masih membaca. Aku akan terus membaca. Sampai hari
terakhir aku bernapas, dan semoga ketika itu tiba, suara yang membacakan
ayat-ayat-Nya bukan lagi suara bibirku, tapi suara jiwaku sendiri.
Selesai.