Fakta dan Makna
Siapapun kamu! Jika yang kamu
cari adalah ketamakan bukan kearifan maka tunggulah masa kehancuranmu.
Saya menulis itu atas suara yang
diucapkan oleh MH. Ainun Nadjib, disebuah video tentang tragedi Tamrin Kamis,
14 Januari 2016 itu. Saya sendiri ada makna lain ketika mendengar kalimat dari
Cak Nun itu. Ya saya selalu menemukan perspektif lain ketika Cak Nun memahami
sesuatu. Meskipun secara jelas ucapan Cak Nun itu tidak ditujukan pada tragedi
Tamrin kemarin. Sebab saya hanya mengunduh sebuah video di youtube tentang
detik-detik tragedi Tamrin itu dan ketika saya play ada soundtracnya lagu Cak
Nun tentang zaman akhir itu.
Namun lepas dari itu semua,
adalah sebuah keniscayaan ketika saya atau kita mengingkari kalimat pembuka
tadi. Diperlukan kearifan untuk tetap memelihara alam ini. Sebab ketika manusia
sudah mempertahankan egonya masing-masing tentu akan membuat semuanya menjadi
tidak sehat.
MEMAHAMI MAKNA JIHAD
"Jihadlah dijalan Allah
bukan di jalan Tamrin" bukan
ayat.
Saya sebagai alumni pesantren
juga pernah diajarkan tentang bagaimana jihad di jalan Allah. Sayangnya saya
lupa namun saya sendiri sebagai pecinta Al-Qur'an memahami jihad adalah
kesungguhan dalam mengabdi kepada Allah Swt.
Tentunya kesungguhan itu adalah
dalam kebaikan bukan bertentangan dengan nilai-nilai kebaikan. Sementara itu
kita dihadapkan dengan pemahaman jihad seperti bom bunuh diri di Tamrin, ini
kan bertentangan dengan nilai-nilai keharmonisan. Apakah Allah suka dengan cara
itu? Mari berpikir. Saya memahami Islam itu indah. Saya pengagum muslim-muslim
yang mencintai keharmonisan bukan kekerasan. Seperti halnya tokoh pemikir
muslim Indonesia, yakni Gus Dur, Nur Cholis Madjid, Cak Nun dan lain-lain.
Mereka adalah pemikir-pemikir hebat yang karya tulisnya mencerminkan
keharmonisan kehidupan manusia. Mereka adalah pengubah dunia dengan tulisan.
BENARKAH MEREKA TERORIS?
Ini mengingatkan saya tentang
beberapa tahun yang lalu ketika saya masih di pesantren sempat membaca buku
tulisan Imam Samudra, yang berjudul AKU BUKAN TERORIS. Tentu buku itu adalah
pembelaan dirinya atas perilakunya tragedi Bom yang pernah dilakukannya. Ia
melegitimasi pembelaannya dengan mengutip ayat-ayat suci. Ia sendiripun juga
mengklasifikasi antara ayat pedang dan ayat perdamaian. Saya sendiri juga
mengapresiasi karyanya itu. Tulisannya sangat bagus dan menyentuh. Ia mampu
membawa pembaca menuju alam pikirannya. Bahkan saya sempat meniru tentang
kecerdasannya menulis. Misalnya ia akan menerangkan tentang ayat-ayat pedang,
terlebih dahulu ia buka dengan kronologis yang sangat memukau. Dan tanpa sadar
pembaca akan menikmati pemikirannya. Ini berbeda ketika saya membaca buku-buku
pemikiran lainnya, saya sudah disuguhkan dengan pemikiran yang sulit.
Meskipun buku itu sudah saya baca
dan menikmatinya. Saya sama sekali tidak terpengaruh dengan pemahamannya yang
radikalisme itu. Pertama, saya sudah terbiasa dengan alam diskusi semenjak
kecil. Buku hanyalah sebuah tafsir dan kita bisa menulis ide kita sendiri
menjadi buku. Al-Hasil, membaca tanpa mendiskusikannya adalah celaka sebab anda
telah dikuasai oleh penulis buku yang anda baca itu. Kedua, saya sudah terbiasa
dengan wacana agama sebab saya hidup di pesantren yang menjujung nilai-nilai
kemarmonisan.
Sebelum tulisan ini saya akhiri,
bahwa Islam mengajarkan berperang adalah ketika kita diperangi. Dan itu bisa
diteliti di ayat-ayat Al-Qur'an dan juga melalui sejarah kehidupan Nabi
Muhammad Saw. Ide khilafah yang mereka usung pun juga masih perlu dikaji.
Mungkin, mereka yang menyeru perang perlu diganti pedangnya, bomnya yakni
diganti dengan budaya pemikiran yang bagus. Al-hasil, jadilah perang kata bukan
perang senjata. Marzuki/Ahad/21:40/17 Januari 2016.