ZAKAT DAN CINTA DI ATAS BATAS OXIGEN

 

Zakat, Cinta, dan Gunung yang Tak Punya Sinyal

Di pagi yang cerah namun penuh kabut, Kipli memimpin sekelompok santri—Tohir si komentator kehidupan, Hasan sang pemikir praktis, Rudi tukang foto, dan Arlis, si primadona asrama putri—untuk mendaki Gunung Surokencono. Entah gunung beneran atau hanya bukit yang terlalu pede disebut gunung, tapi yang pasti cukup tinggi untuk membuat betis meronta dan sinyal ponsel menyerah.

"Kita naik gunung ini untuk apa sih, sebenarnya?" tanya Hasan sambil ngos-ngosan.

"Untuk mencari puncak kesadaran," jawab Kipli sok filosofis. "Dan mungkin juga untuk menjauh dari sinyal supaya Arlis nggak dibanjiri notifikasi dari calon mertua."

Arlis hanya melirik tajam sambil membuka bekalnya: roti sobek isi tempe orek. Rudi sibuk memotret awan, sementara Tohir mulai membuka topik yang tidak terduga.

"Eh, kalian pernah mikir nggak, gimana seharusnya negara ini mengelola zakat?"

Kipli langsung menoleh. “Aha! Topik ini menarik. Bukan cinta tak sampai, tapi ekonomi berbasis keadilan sosial.”

"Zakat itu potensi luar biasa," lanjut Tohir, “Kalau dikelola serius, kita nggak perlu lagi ngemis-ngemis bantuan luar negeri."

Hasan mengangguk. "Masalahnya, zakat itu masih dianggap urusan pribadi. Padahal dalam sistem Islam klasik, zakat itu kayak pajak negara. Bayar, wajib, dan punya sistem distribusi yang adil."

"Bayangkan," sambung Kipli, “kalau tiap muslim yang mampu menyalurkan 2,5% hartanya lewat lembaga yang transparan dan profesional. Fakir miskin bisa punya usaha, bukan cuma nunggu sumbangan terus.”

Arlis yang sedari tadi diam, angkat bicara. "Tapi ya, sistemnya harus kuat. Jangan sampai zakat cuma jadi 'kotak amal elite'. Harus ada akuntabilitas. Kalau perlu, pakai teknologi. Blockchain zakat, gitu."

Tohir tertawa. "Wah, kamu cocok jadi Menteri Keuangan. Atau Menteri Hati yang Mengatur Perasaan Kipli."

Rudi nyeletuk, “Gue pikir kita naik gunung buat healing, bukan buat bahas APBN syariah.”

“Justru ini healing,” sahut Kipli, “dari luka batin akibat cinta tak tertunaikan dan zakat yang tak tertunaikan juga.”

Hasan menambahkan, "Kalau negara mau serius menyejahterakan rakyatnya, ya mulai dari yang diwajibkan agama dulu. Pendidikan zakat sejak dini. Bukan cuma hafal jumlah rukun Islam, tapi ngerti aplikasinya."

Mereka berhenti sejenak di bawah pohon pinus. Angin semilir membawa aroma daun basah dan bekas sandal yang mulai beraroma sejarah.

Arlis tersenyum, “Kalian ini aneh. Naik gunung, ngomongin zakat. Tapi aku senang. Kita butuh lebih banyak obrolan seperti ini, bahkan di tempat-tempat absurd begini."

Tohir menimpali, "Ya, siapa tahu di puncak nanti ada ilham bagaimana negara bisa menyejahterakan rakyat—atau setidaknya, ilham bagaimana Kipli bisa move on."

Kipli mengangkat jari telunjuknya, sok seperti dosen ekonomi Islam. “Sebenarnya, zakat bisa jadi solusi kemiskinan. Syaratnya tiga: sistem yang terintegrasi, distribusi yang tepat sasaran, dan transparansi. Jangan cuma kumpulin dana, tapi juga didata siapa yang berhak dan bagaimana pemberdayaannya.”

Hasan menambahkan, “Misalnya, bikin program pelatihan keterampilan bagi penerima zakat. Jadi mereka bukan cuma dapat uang, tapi juga dapat ilmu buat hidup mandiri. Kayak: pelatihan menjahit, bertani modern, atau buka usaha kecil.”

“Tohir, kamu kan jago ngitung. Gimana kalau ada data yang menunjukkan berapa potensi zakat nasional kita?” tanya Arlis.

“Menurut beberapa kajian,” jawab Tohir, “potensi zakat nasional kita bisa tembus ratusan triliun! Tapi yang terkelola baru sedikit. Kenapa? Karena lembaga pengelola masih banyak yang nggak dipercaya.”

“Makanya harus ada reformasi manajemen zakat,” sambung Kipli. “Bekerjasama dengan pemerintah lokal, bikin program zakat yang terintegrasi sama pengentasan kemiskinan. Misalnya, zakat untuk modal usaha UMKM berbasis komunitas.”

Rudi ikut menimpali, “Atau zakat disalurkan buat bangun klinik gratis, sekolah gratis, apalagi buat pelosok-pelosok yang suka lupa dikunjungin pejabat.”

Semua mengangguk.

Arlis menatap awan di kejauhan. “Andai saja obrolan gunung ini bisa didengar para pejabat. Bukan cuma nyusun rencana, tapi juga nyusun niat.”

Kipli tertawa kecil. “Dan andai cinta juga bisa dikelola seperti zakat. Ada batas minimal, ada penyaluran yang tepat sasaran, dan nggak boleh ditimbun sendiri.”

“Kalau gitu, Kipli, kamu siap menyalurkan cintamu dengan adil dan merata?” goda Tohir.

“Bersedia,” jawab Kipli, “asal bukan ke sahabat sendiri.”

Tawa meledak. Sementara itu, kabut mulai menipis. Gunung tak hanya memberi pemandangan, tapi juga memberi ruang untuk bercanda dan berpikir. Dalam langkah yang berat, mereka terus mendaki. Mencari puncak, bukan hanya puncak gunung, tapi puncak pemahaman: bahwa cinta dan zakat, jika dikelola dengan benar, bisa jadi solusi hidup yang sesungguhnya.


TAMAT


Tentang penulis :

Marzuki Ibn Tarmudzi, pernah mencicipi sedikit segarnya lautan ilmu di Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang, Jawa Timur. Hobinya yang suka nyorat-nyoret kertas ini dimulai semenjak nyantri. Kini, hobinya itu dituangkan di berbagai media online, itung-itung sebagai aksi dari ; “بلغوا عني ولو أية “,” sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat ”.