Sejak kecil aku punya ruang rahasia di dalam kepalaku. Ruang itu sunyi, tapi tak pernah sepi. Di dalamnya, aku sering berbincang dengan sesuatu yang tak kasat mata. Kadang kusebut Dia. Kadang kusebut Cinta. Tapi pada akhirnya aku tahu, itu adalah nama yang sama—Allah.
Aku pertama kali merasakannya ketika duduk di bangku kelas lima SD. Saat teman-temanku sibuk bermain layangan, aku justru diam-diam mendengar bisik-bisik angin sore sebagai pertanda bahwa ada dunia lain yang lebih luas daripada halaman sekolah. Dunia batin. Dunia sunyi. Dunia yang tidak bisa dijelaskan oleh pelajaran IPA.
Sejak saat itu, aku merasa ada sesuatu yang selalu memanggil dari balik tirai kehidupan ini.
Dan panggilan itu menjadi nyata saat aku melangkah ke sebuah pesantren di Jawa Timur. Pondok yang sederhana, tapi penuh cahaya. Dindingnya mungkin kusam, tapi udara di dalamnya seperti membawa harum doa-doa yang tak putus dibaca. Di sana aku belajar untuk tak sekadar membaca, tapi menyelami.
Kitab pertama yang membuat dadaku bergetar adalah Al-Hikam karya Syaikh Ibnu Athaillah as-Sakandari. Bukan karena bahasanya indah—meskipun memang demikian—melainkan karena aku merasa seperti sedang membaca jiwaku sendiri.
"Jika engkau ingin mengetahui derajatmu di sisi Allah, maka lihatlah di mana engkau meletakkan-Nya dalam hatimu," kata beliau dalam salah satu hikmah.
Aku merenung lama. Ternyata, selama ini hatiku adalah taman tempat nama-Nya selalu ingin kusemai.
Setelah keluar dari pesantren, aku tahu jalan ini belum selesai. Dunia luar menyambut dengan bising. Kantor, uang, deadline, jabatan, dan segala macam ambisi yang berjalan dengan langkah cepat dan mata lelah.
Di tengah semua itu, aku berkenalan dengan ilmu hikmah.
Sebagian orang menyebutnya perdukunan. Aku tidak menyalahkan mereka. Tak semua orang punya kacamata yang sama. Tapi bagiku, ilmu itu adalah lanjutan dari apa yang dulu kutanam. Bukan untuk menyulap dunia, tapi untuk membuka mata batin.
Doa-doa dalam ilmu itu seperti anak panah—atau lebih tepatnya, seperti rudal spiritual—yang kutujukan langsung kepada langit. Dan langit, seperti biasa, selalu tenang menerima.
Aku jadi punya bahasa rahasia dengan Tuhan. Doa-doa itu bukan lagi sekadar permintaan, tapi perbincangan. Seperti dua kekasih yang tak butuh banyak kata untuk saling mengerti. Hanya dengan diam pun, Ia tahu apa yang ada dalam dadaku.
Teman-temanku di dunia kerja sering kebingungan menghadapi tekanan hidup. Gaji kecil, atasan keras, konflik rekan kerja, target yang mencekik. Mereka berkeringat, cemas, tak bisa tidur. Tapi aku, entah kenapa, tetap merasa damai. Bukan karena masalah tak datang padaku—tapi karena aku tahu, aku tidak sendirian dalam menjalaninya.
Ketenangan ini bukan hadiah. Ia adalah buah dari perjalanan panjang. Dari malam-malam yang kulewati dalam tangis. Dari tahajud yang kugenggam dalam gigil. Dari kitab-kitab tua yang kubaca sambil menahan kantuk. Dan dari keyakinan yang tak pernah kulepas: bahwa hidup ini bukan tentang menang, tapi tentang dekat.
Semakin dekat pada-Nya, semakin ringan dunia terasa. Karena siapa yang berjalan menuju Allah, seluruh semesta akan bergerak bersamanya.
Aku tidak ingin menjadi orang suci. Aku hanya ingin menjadi orang yang tahu ke mana harus kembali saat lelah. Dan aku sudah menemukannya sejak dulu—di ruang sunyi dalam kepalaku, di tikungan sajadah, di hela nafas dzikir, di kening yang tak ingin lepas dari sujud.
Itulah sebabnya aku tenang.
Bukan karena hidupku mudah. Tapi karena aku tahu ke mana harus meletakkan luka.
#macho #catatankehidupan