Aku Lope Indonesia

 

Angin bulan Juli sore itu berhembus pelan di antara pepohonan tinggi di Pontianak. Kota yang sunyi, kota yang menyimpan satu nama yang kelak akan mengangkat kepala bangsa ini ke langit: Sultan Hamid II.

Namanya pelan, tidak seperti meriam karbit yang meledak-ledak. Tapi seperti doa yang pelan-pelan naik ke langit, disampaikan malaikat dengan langkah ringan.

Syarif Abdul Hamid Alkadrie. Nama yang, entah mengapa, jarang disebut di buku sejarah sekolah. Padahal dari tangannya, sayembara yang diselenggarakan oleh Presiden Soekarno itu menemukan pemenangnya. Dari pena dan sketsa tangannya, terbitlah lambang negara yang kini kita hafal dari SD: burung Garuda berwarna emas, dengan perisai di dadanya, dan cakar-cakar yang menggenggam kuat pita bertuliskan Bhinneka Tunggal Ika.

Namun sejarah terkadang seperti kamera tua—ia lebih suka memburamkan wajah yang tak disukainya. Nama Sultan Hamid II pun tenggelam, dikalahkan narasi besar yang terlalu sempit untuk menampung semua kebenaran.

Dan Indonesia pun melangkah, pelan-pelan... dengan kepala mendongak tapi hati sering kali menunduk.


Aku tumbuh besar dengan buku sejarah dan cerita-cerita lisan. Dari ayahku, dari kakekku, dari guru-guruku. Mereka semua mengajarkan satu hal: bahwa kita bangsa yang besar.

Tapi, entah mengapa, kalimat itu seperti dongeng yang terlalu sering diulang-ulang. Hingga kita mulai meragukannya.

Aku ingat ketika pertama kali melihat lambang Garuda di sekolah dasar. Warnanya emas, besar, gagah. Tapi waktu itu, aku tak mengerti maknanya. Yang kutahu, lambang itu menempel di dinding kelas seperti hiasan. Seperti kalender atau foto presiden. Benda mati yang tak bicara.

Namun bertahun-tahun kemudian, saat aku mulai membaca sejarah dan menyelam lebih dalam ke jati diri bangsa ini, aku sadar: Garuda itu bukan sekadar gambar. Ia adalah cermin. Ia adalah jiwa yang sedang tidur.

Seperti anak singa yang dibesarkan bersama kambing, kita lupa bahwa kita adalah pemilik cakrawala. Kita lupa bagaimana nenek moyang kita dulu menaklukkan samudra. Kita lupa bagaimana tanah ini pernah melahirkan kerajaan-kerajaan besar, dari Samudra Pasai hingga Majapahit.

Bahkan Garuda sendiri bukan lambang baru. Ia telah hidup dalam relief candi, dalam stempel kerajaan, dalam nafas kebudayaan Nusantara sejak ribuan tahun lalu. Ia milik kita. Ia adalah kita.


Aku pernah membaca kisah tentang anak singa yang terpisah dari induknya, lalu tumbuh bersama kambing. Ia belajar mengembik, makan rumput, dan takut pada bayangannya sendiri.

Hingga suatu hari, ia melihat pantulan wajahnya di sungai. Dan ia terguncang: yang ia lihat bukan kambing. Tapi singa. Ia.

Bangsa ini seperti anak singa itu. Terbiasa hidup dalam sistem yang membuatnya merasa kecil. Terbiasa mengalah. Terbiasa takut. Kita dibesarkan oleh rasa rendah diri yang menular dari generasi ke generasi.

Kita lebih suka menyebut diri sebagai korban, bukan pelaku sejarah.

Kita lebih mudah menyalahkan masa lalu, ketimbang belajar darinya.

Kita sering menyalahkan pemerintah, lalu lupa bertanya: Apa yang sudah kulakukan untuk bangsaku sendiri?

Kita adalah anak singa yang harus segera sadar siapa dirinya. Kita adalah Garuda yang harus ingat bahwa ia punya sayap.


Terkadang aku berpikir: mungkin yang salah bukan sejarah, tapi cara kita membacanya. Kita membaca dengan tergesa-gesa. Kita ingin jawaban cepat, perubahan cepat, keberhasilan cepat.

Padahal bangsa besar tidak tumbuh seperti itu.

Bung Karno pernah berkata, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya. Tapi lebih dari itu, bangsa yang besar adalah bangsa yang tahu bagaimana memaknai pahlawan bukan sekadar patung dan nama jalan. Tapi nilai. Jiwa. Semangat.

Sultan Hamid II, dengan segala kontroversinya, telah memberikan satu warisan besar: lambang yang mempersatukan. Bukan pedang, bukan panji perang, bukan wajah raja—tapi burung Garuda yang membentangkan sayapnya di atas kata Bhinneka Tunggal Ika.

Lambang itu bukan hanya gambar. Ia adalah janji. Bahwa meski kita berbeda, kita satu. Bahwa meski kita pernah jatuh, kita bisa terbang kembali.


Kita hidup di zaman yang rumit. Informasi tumpah di mana-mana. Nilai-nilai lama dipertanyakan. Generasi baru mencari identitas.

Namun di tengah kegaduhan itu, aku ingin percaya bahwa Garuda kita tidak mati. Ia hanya sedang tidur.

Dan seperti anak singa yang akhirnya menyadari wajahnya sendiri, bangsa ini akan terbangun.

Akan datang masa di mana anak-anak Indonesia tidak lagi melihat lambang negara sebagai hiasan, tapi sebagai cermin jati diri.

Mereka akan tahu bahwa mereka adalah cucu dari para pejuang. Bahwa darah mereka mengalir dari aliran sungai sejarah yang panjang dan sakral.

Dan di saat itu tiba—kita tidak lagi menjadi bangsa pengeluh. Kita akan kembali menjadi bangsa pemilik langit.


 

Sayembara bukan sekadar lomba. Ia adalah panggilan jiwa. Ia adalah upaya untuk menjemput takdir yang sedang menunggu di ujung pena.

Ketika Presiden Soekarno mengadakan sayembara lambang negara, itu bukan sekadar prosedur administratif. Ia adalah tangisan dari sebuah bangsa yang ingin memiliki wajah. Wajah yang akan ditatap anak-anaknya, setiap hari. Wajah yang akan terpajang di dinding sekolah, kantor, rumah, dan dalam dada.

Sultan Hamid II menjawab panggilan itu bukan dengan janji, tapi dengan gambar. Bukan dengan pidato, tapi dengan simbol. Ia tahu bahwa lambang itu bukan sekadar estetika. Ia adalah filosofi yang harus memuat ribuan tahun sejarah dan harapan masa depan dalam satu bingkai.

Dan dari tangannya, lahirlah Garuda. Burung yang gagah. Burung yang lahir dari tanah ini sendiri. Bukan dari mitos asing. Tapi dari darah dan napas nenek moyang bangsa ini.

Namun sayangnya, tidak semua lambang mendapat tempat dalam buku sejarah. Ada yang ditinggalkan. Ada yang dilupakan.

Namun jiwa yang besar tak perlu selalu mendapat panggung. Karena kebenaran tak butuh sorotan. Ia hanya perlu waktu.


Di antara semua keramaian pembangunan, kadang-kadang kita menjadi bangsa yang berjalan, tapi tidak tahu ke mana. Seperti orang yang membaca peta tapi lupa di mana ia berdiri.

Kita punya segalanya: sumber daya, sejarah besar, kebudayaan agung. Tapi kita kadang lebih sibuk meniru, ketimbang menggali harta sendiri. Kita lebih bangga pada brand luar negeri, ketimbang pada kerajinan ibu kita sendiri. Kita lebih mudah percaya pada iklan, ketimbang pada kata bijak nenek.

Lalu kita heran: kenapa kita tidak bisa menjadi bangsa maju?

Mungkin karena kita tidak percaya bahwa kita bisa.

Garuda di dada hanya menjadi ornamen, bukan semangat. Ia hanya menjadi lambang upacara, bukan api dalam jiwa.


Kata-kata “Bhinneka Tunggal Ika” terdengar indah, tapi terlalu sering dikutip seperti slogan. Padahal kata-kata itu mengandung rahasia besar: bahwa bangsa ini memang ditakdirkan untuk berbeda, dan perbedaan itulah kekuatannya.

Tapi seringkali, yang berbeda kita anggap musuh.

Kita menjadi bangsa yang mudah tersinggung, mudah benci, mudah menghakimi. Kita lupa bahwa nenek moyang kita justru bertahan karena bisa hidup dalam perbedaan.

Dulu, di satu perahu bisa ada orang Jawa, Bugis, Tionghoa, Arab, dan Batak. Mereka semua bekerja sama menyeberangi lautan. Tapi kini, satu grup WhatsApp bisa pecah hanya karena beda pandangan.

Garuda tidak pernah menanyakan dari mana bulunya berasal. Ia hanya tahu bahwa sayap itu harus lengkap agar bisa terbang.


Aku pernah ragu. Pernah ingin meninggalkan negeri ini. Mencari masa depan di tempat lain. Mungkin di negeri yang lebih tertib, lebih bersih, lebih menghargai ilmu dan seni.

Tapi suatu malam, dalam sunyi, aku melihat anak kecil di pinggir jalan. Ia duduk di atas kardus, menjajakan tisu sambil tersenyum. Dan entah kenapa, senyumnya seperti senyum Garuda yang sedang terluka.

Aku sadar, negeri ini mungkin belum sempurna. Tapi di dalamnya ada jiwa-jiwa yang sedang tumbuh. Ada impian yang belum padam.

Dan aku tidak bisa pergi.

Aku adalah bagian dari negeri ini. Darahku mengalir dari sungai-sungai yang sama yang mengalirkan sejarah para raja. Nafasku ditarik dari udara yang sama yang dihirup para pahlawan.

Aku bukan hanya warga negara. Aku adalah garuda.


Kini waktunya.

Sudah cukup lama kita terkurung. Sudah cukup lama kita melipat sayap.

Saatnya kita belajar terbang lagi.

Tidak perlu langsung ke langit. Kita mulai dari menggoyangkan sayap. Dari membuka mata. Dari percaya pada kekuatan sendiri.

Kita bukan bangsa yang cengeng. Kita bukan bangsa peniru.

Kita adalah bangsa penemu. Pelaut. Petani. Penyair. Pejuang.

Jangan takut jatuh. Karena Garuda tidak pernah takut ketinggian. Ia lahir untuk menari bersama angin.


Aku yakin suatu hari, akan lahir generasi yang bisa melihat Garuda bukan hanya di lambang negara, tapi dalam tindakan sehari-hari.

Anak-anak yang jujur karena mereka percaya, bukan karena takut dihukum.

Pemuda-pemudi yang mencintai negerinya bukan karena diajari, tapi karena mengenalnya.

Pemimpin yang memimpin bukan untuk kekuasaan, tapi karena cinta.

Dan rakyat yang tahu bahwa menjadi Indonesia adalah anugerah.

Sebab Indonesia bukan sekadar negara. Ia adalah perasaan. Ia adalah jiwa yang hidup dalam setiap kata, dalam setiap doa, dalam setiap langkah kecil yang kita ambil untuk menjadikannya lebih baik.

Dan di sanubari terdalam dari bangsa ini—Garuda masih terjaga.

Ia sedang menggeliat. Ia sedang bangun.

Dan saat ia terbang nanti… langit akan tahu, bahwa burung besar itu belum mati.

Ia hanya lupa siapa dirinya.


Top of Form

Bottom of Form

 

Tentang penulis :

Marzuki Ibn Tarmudzi, pernah mencicipi sedikit segarnya lautan ilmu di Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang, Jawa Timur. Hobinya yang suka nyorat-nyoret kertas ini dimulai semenjak nyantri. Kini, hobinya itu dituangkan di berbagai media online, itung-itung sebagai aksi dari ; “بلغوا عني ولو أية “,” sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat ”.