Oleh : Marjzuki Ibn Tarmujzi
Alhamdulillah saya dulu
terlahir dalam lingkungan yang sangat menjujung budaya dan tradisi yang
katanya islami dan saya hanya
mengikutinya saja dengan taklid buta. Sebab setelah saya besar dimana
pendidikan dan peradaban mulai ku telusuri
kini pola pikirku berubah. Betapa Al-Qur’an mengajarkan pada saya untuk
kritis menyikapi apapun. Bahkan dengan ayat-ayat Al-Qur’an itu sendiri kita di
ajarkan untuk kritis apalagi terhadap ayat-ayat selain Al-Qur’an (Q.S.
Al-Furqon [25]:73). Sebab selama ini kita sebagai orang islam seakan dinina
bobokkan dengan istilah pahala. Ngaji
ngantuk pun tidak apa-apa yang penting dapat pahala. Maka, orang islam
pun masih menuduh itu suatu kebohongan saat pesawat
luar angkasa yang diawaki oleh Neil Armstrong,
Edwin Aldrin,
dan Michael Collins dengan Apollo 11 diluncurkan
pada 16 Juli
1969 menggunakan roket Saturn V
dan tiba di bulan pada 20 Juli pada tahun yang sama. Padahal Al-Qur’an sendiri sudah
menginformasikan lebih dasyat dari itu, dimana nanti akan terjadi hubungan
bisnis antar planet (Q.S. At-Talaq [65]:12) yang itu hanya bisa dilakukan
manusia dengan IPTEK (Q.S. Al-Rahman [55]:33).Kawan, Al-Qur’an adalah
penerangan bagi manusia dan petunjuk serta pelajaran bagi orang bertakwa.
Jangan bersedih, jangan loyo. Betapa kamu adalah orang yang tinggi. (Q.S.
Ali-Imran [3]:138-139) Tentu saja, tinggi ilmunya, tinggi pemikirannya, tinggi
peradabannya, tinggi derajatnya dll.
Sholat tarowih dalam Al-Qur’an adalah realisasi dari ayat
79 suroh Al-Isra’ itu. Dimana pada awalnya Nabi Muhammad Saw , pada awal-awal
ramadan mendirikan sholat sunat di Masjid kemudian ada beberapa saja sahabat
yang mengikutinya. Peristiwa ini terjadi hanya sampai pada malam ketiga
kemudian pada malam ke empat Rosul sholat sunah di rumah. Sebab Rosul khawatir
shalat itu dianggap suatu kewajiban bagi umatnya. Sebenarnya kalau kita
mengamati sejarah nabi itu sholatnya di lakukan pada malam hari bukan setelah
Isya’. Kalaupun itu dilakukan ba’da isya’ tentu akan banyak sahabat yang ma’mum
namun terbukti hanya beberapa saja yang ma’mum beliau. Dengan kesimpulan itu
maka akan terjadi keselarasan dengan suroh Al-Isra’ : 79 itu. Dan inilah yang
membuat saya senyum setuju saat saya kemarin melihat salah satu pengumuman yang
mengadakan sholat tarowih pada jam 22.00 di Surakarta Jawa Tengah.
Pemuda-pemuda di kampung saya biasanya setelah sholat
tarowih mereka satu persatu membaca Al-Qur’an. (Yang selama ini dipahami
sebagai tadarrus itu, padahal tadarrus artinya mempelajari bukan hanya sekedar
membaca). Dengan suara melalui spieker –spieker masjid. Maka pada malam-malam
bulan Ramadan kampung saya serasa hidup
islamnya. Dan sebagian yang lain,
yang mereka sudah beristri, mereka setelah sholat tarowih langsung
pulang kerumah untuk bercengkerama, bercanda dengan istrinya. Dan, inilah
sebenarnya seruan Allah kepada kita semua untuk membahagiakan keluarga di
malam-malam ramadan, setelah siangnya berpuasa, atau mungkin siangnya sedang
i’tikaf di Masjid, lihat konsep ini di Suroh Al-Baqoroh: 187.
Hidupnya malam-malam bulan ramadan di kampung saya selain
karena suara membaca Al-Qur’an itu, tapi juga sebab mudiknya teman-teman ke
kampung halaman. Gejala mudik ini kalau kita telusuri dalam Al-Qur’an adalah
sebuah fitroh manusia untuk kembali, maka nantinya pula manusia punya fitroh
untuk kembali kepada Allah Swt. Lihat di Q.S. Ar-Rum [30]:30. Maka gejala ini bukan hanya sekedar gejala
antropologis semata. Dan, saya sangat kagum pada teman-teman, yang katanya
tetap berpuasa waktu didalam kendaraan ketika mudik itu meskipun mereka tahu
bahwa bolehnya qodlo’ puasa. Sebab memang,”berpuasa lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui”(Q.S. Al-Baqoroh [2]:184).
Budaya religi yang sangat mengesankan lagi bagi saya di
kampung adalah menunggu turunnya
lailatul Qodr . Betapa kami sangat sekali meyakini bahwa malam itu adalah malam
yang lebih baik daripada seribu bulan sekalipun (Q.S. Al-Qodr [87] : 3). Yakni;
Mereka pun di malam-malam yang diyakini bakal menurunkan keberkahan beri’tikaf
di Masjid yakni; malam 21,23,25,27,29, sesuai isyarat dari hadits itu. kemudian
di kampung saya menghasilkan tradisi-tradisi, misalnya saja melakukan kenduri
di Masjid ataupun mushola-mushola, yaitu mereka membawa makanan. Maksudnya
untuk memberi makanan pada orang miskin atau kepada orang-orang yang beribadah
di Masjid. Kembali pada i’tikaf, yakni berdiam diri di Masjid untuk tadabbur,
dalam Al-Qur’an suroh Al-Muhammad [47]:24, adalah kita diperintahkan untuk
tadabbur Al-Qur’an, yakni merenungi ayat-ayat suci Al-Qur’an. Misalnya dengan
menanyakan pada diri kita sendiri, “Apakah saya
sudah benar-benar beriman?”. Bagaimanakah berimanitu didalam islam ini?
Mari kita telongok ayat 136 suroh
An-Nisa’. Dalam ayat tersebut orang beriman pun masih ditekankan untuk tetap
beriman. Tentu saja ini sentilan bagi kita untuk tetap teguh pada
ketentuan-ketentuan Allah itu. Bahwa, jangan sampai kita selaku orang beriman
mencari ketentuan-ketentuan selain agama Allah, lihat Suroh Ali Imron [3] : 85.
karena, sesungguhnya agama pada Allah hanyalah Islam (Q.S. Ali Imron [3]:19).
Manusia adalah harga mati untuk tetap
hanya berserah diri kepada Allah semata (Q.S. Ali-Imron [3] : 83). Disinilah
letaknya, bahwa manusia yang berimanpun harus senantiasa kembali pada Allah
“taubat” (Q.S. Az-Zumar [39] : 54). Dalam konsep islam mengucapkan, “saya
beriman” saja sama sekali belum cukup, sebab Allah akan menguji kadar
keimanannya, lihat suroh Al-Ankabut : 2-3. Makanya Allah memberi ciri-ciri
konsep beriman dalam Al-Qur’an pada
suroh Al-Anfal ayat ke 2 itu. “sesunggguhnya orang-orang yang beriman itu
adalah mereka yang apabila disebut nama Allah, gemetarlah hatinya, dan apabila
dianalisakan ayat-ayat Allah bertambahlah imannya, dan hanya kepada Allahlah
mereka bertawakal”. Sudahkah selama ini kita begitu? Atau jangan-jangan kita
malah seperti dalam Suroh Al-Ankabut [29] : 49 itu!!
Setelah nanti sebulan kami menjalani puasa Ramadan,
kamipun ba’da maghrib itu, mengagungkan nama Allah (Q.S. Al-Baqoroh [2] : 185),
dengan membaca takbir. (Namun, alangkah lebih baiknya kita pada malam itu
adalah dengan memperdalam pengetahuan agama kita, sesuai dengan petunjuk
Allah,”Wa litukabbiru Allah ‘ala ma hadakum”, yakni,” hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjukn-Nya yang diberikan kepadamu”). Maka gembiralah
kami berharap dalam hati benar-benar
mendapatkan “pembebasan dari api neraka”, sebagaimana hadits yang terkenal itu.
Pun, dalam Al-Qur’an suroh An-Naziat
[79]:40-41 itu Allah berfirman;
“Dan adapun
orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari
keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya)”
Maka, kami pagi-pagi sebelum jam 06.00 berkumpul di Balai
desa untuk berhari raya. Kami berduyun-duyun membawa tikar ataupun koran-koran
bekas sebagai alas tikar untuk sholat. Memang, panitia juga menyediakan tikar
namun itupun terbatas pada balai desa
saja. Padahal, jama’ah idul fitri bisa membludak kebelakang 200 M. Sungguh saat
seperti ini kami serasa termanifestasikan dari do’a nabi Isa putera Maryam itu
“Ya Tuhan kami,
turunkanlah kiranya kepada kami suatu hidangan dari langit (yang hari turunnya)
akan menjadi hari raya bagi kami yaitu bagi orang-orang yang bersama kami dan
yang datang sesuda kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau; beri rezkilah
kami, dan Engkaulah pemberi rezki Yang Paling Utama” (Q.S. Al-Maidah [5] :114).
Dan, kira-kira jam 06.15 kami bersama-sama melakukan
sholat sunat dua rokaat sebagai realisasi dari Al-Qur’an ayat 114 suroh Hud [11] itu. Kemudian
dilaksanakan khutbah, yakni sebagai evalusi setelah sebulan kami melakukan
puasa ramadan. Tentu, khatib akan menganalisakan ayat-ayat Al-Qur’an sebagai
bahan renungan, instropeksi “tadabbur”,
atau dalam bahasa arab “dubur” artinya belakang, ma’nanya mengambil pelajaran
dari masa yang telah lampau. Dan Al-Qur’an diturunkan kepada manusia sebagai
petunjuk bagi orang-orang yang beriman. “Maka apakah mereka tidak mentadabburi
Al-Qur’an?..(Q.S. An-Nisa’ [4] : 82).
Demikianlah kami menutup serangkaian ibadah pada bulan
ramadan. Semoga kai termasuk pada golongan orang yang beruntung, sebagaimana
dalam Al-Qur’an suroh Al-A’la [87]: 14-19 ;
“sesungguhnya
beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman). Dan dia ingat nama
Tuhannya, lalu dia sembahyang. Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih
kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirot adalah lebih baik dan lebih kekal.
Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang dahulu (yaitu)
kitab-kitab Ibrohim dan Musa.