Kopi, Tasybih, dan Takyif di Kafe

 


Pagi itu, Kafe Al-Fajr di ujung jalan masih sepi. Hanya ada beberapa orang yang duduk santai, menikmati aroma kopi yang menggoda. Di pojok ruangan, lima orang teman lama duduk berkumpul, masing-masing dengan cangkir kopi di tangan. Kipli, si kritikus ringan, sedang asyik mengaduk kopinya, sementara Hasan, si ahli tafsir tanpa gelar, tengah termenung, seolah memikirkan sesuatu yang dalam. Toha, Furqon, dan Eko duduk berhadapan, sibuk bergosip tentang gosip terbaru, tetapi masih bisa mendengar percakapan serius antara Kipli dan Hasan.

"Kopi ini, ya, benar-benar menyentuh jiwa," kata Kipli, sambil menyeruput kopi dengan penuh perhatian. "Sama seperti akidah kita, perlahan meresap, dan kita tak pernah tahu betul asal-usul rasa itu."

Hasan tertawa pelan, mengangkat alisnya. "Maksudmu, rasa kopi ini seperti tasybih dan takyif, ya? Kita cuma bisa merasakannya, tapi tak bisa menjelaskan bagaimana dia sampai di sini, seperti sifat-sifat Allah?"

Kipli terdiam sejenak, memandang Hasan dengan senyum lebar. "Itulah dia, Hasan! Engkau akhirnya mengerti. Kita bisa menikmati kopi ini, merasakannya, tapi kalau kita tanya, 'Bagaimana kopi ini bisa begitu nikmat?' Akal kita terbatas, kan? Sama halnya dengan akidah."

"Jadi, kopi ini seperti sifat Allah yang Maha Sempurna, ya?" Toha tiba-tiba menyela, sambil memutar sendok di cangkirnya. "Kan nggak bisa dibayangin juga, gimana cara kopi ini bisa sampai ke lidah kita dengan rasa yang begitu pas?"

"Ehm, sebenarnya itu agak beda, Toha," Furqon ikut menanggapi. "Kopi ini kan nyata, bisa dijelaskan oleh ilmuwan, misalnya, bagaimana bijinya ditanam, digiling, dan diseduh. Tapi kalau Allah, nggak bisa dibayangin, nggak bisa kita tanya 'bagaimana' sifat-Nya, karena itu di luar jangkauan manusia."

Eko yang sejak tadi hanya diam, mengangkat wajahnya dengan penuh wibawa. "Gitu ya? Jadi, kalau kita tanya 'bagaimana' Allah Maha Mendengar atau Maha Melihat, itu seperti kita tanya, 'Bagaimana' kopi bisa masuk ke dalam tubuh kita, ya?"

Hasan tertawa kecil. "Persis, Eko! Tapi, jangan tanya 'bagaimana' sifat-sifat Allah. Itu tanya yang nggak ada jawabannya. Allah itu berbeda dengan kita. Kalau kita tanya 'bagaimana', kita jadi membatasi Dia. Itu namanya takyif."

"Berarti, kalau kita tanya kenapa Allah bisa Maha Mendengar, itu kayak nanya, 'Kenapa kopi ini rasanya enak banget?' gitu?" Toha menimpali dengan nada iseng.

"Betul," jawab Hasan sambil menyandarkan punggungnya ke kursi, "Tapi bedanya, kita bisa merasakan kopi dan menikmati rasa itu. Sementara Allah, kita bisa meyakini sifat-sifat-Nya tanpa perlu tahu bagaimana-Nya. Kalau kita tanya, itu namanya tasybih. Kita menyamakan Allah dengan makhluk-Nya."

Furqon mengangguk, seolah-olah baru saja menemukan pencerahan. "Oh, jadi, kalau kita bilang Allah itu Maha Melihat, tapi kita membayangkan-Nya seperti manusia yang punya mata, itu tasybih, kan?"

"Yup," jawab Kipli. "Allah Maha Melihat, tapi cara-Nya melihat tidak sama dengan kita. Kalau kita samakan, berarti kita membatasi kekuasaan-Nya. Sama seperti kalau kita bilang kopi ini punya rasa yang bisa dijelaskan secara ilmiah. Padahal, ada keajaiban dalam rasanya yang tak bisa dipahami sepenuhnya."

Toha tersenyum lebar. "Wah, berarti kopi ini pun bisa jadi contoh sempurna, ya? Kayak sifat Allah yang kita nikmati tanpa perlu tahu bagaimana-nya."

"Betul!" Kipli hampir bangkit dari kursinya karena terlalu semangat. "Kopi ini, kita nikmati rasanya. Kalau kita berusaha menjelaskan bagaimana rasanya, kita bakal tersesat dalam berbagai teori. Sama seperti berusaha menjelaskan sifat-sifat Allah yang Maha Sempurna. Jangan pernah bertanya 'bagaimana' sifat-Nya."

Eko, yang dari tadi terlihat serius, akhirnya menyela. "Tapi, kalau begitu, apakah itu berarti kita nggak boleh bertanya sama sekali tentang sifat-sifat Allah?"

Hasan menatap Eko dengan mata tajam. "Bukan begitu, Eko. Tanyakan apa yang kita perlu tahu, seperti iman kepada Allah, malaikat, kitab-Nya, rasul-Nya, dan hari kiamat. Itu semua harus diyakini. Tapi jangan pernah bertanya bagaimana Allah melakukan itu semua. Itu seperti bertanya tentang 'bagaimana' kopi bisa bikin kita begini tenang. Kita nikmati tanpa harus paham."

Toha mengangkat gelas kopinya tinggi-tinggi. "Berarti kita harus menikmati kopi ini tanpa bertanya bagaimana rasanya datang, dan kita juga harus menikmati kehidupan dengan keyakinan tanpa bertanya bagaimana Allah bekerja. Seperti kata Kipli, kalau terlalu banyak tanya, bisa tersesat!"

"Betul sekali!" Kipli menimpali dengan penuh semangat. "Kalau terlalu banyak tanya, kita bisa masuk ke dalam jebakan tasybih dan takyif yang nggak berujung. Cukup yakini dan nikmati."

Furqon mengelus dagunya, berpikir. "Jadi, kalau kita memahami Allah seperti kita memahami kopi, kita bisa nikmati hidup ini dengan tenang, tanpa perlu pusing mikirin bagaimana segala sesuatu terjadi?"

Hasan tersenyum bijak. "Persis, Furqon. Hidup ini memang bukan tentang mencari penjelasan tentang segala hal. Kadang kita harus berhenti bertanya dan mulai menikmati keberadaan kita, seperti menikmati secangkir kopi ini."

Kipli mengangguk setuju. "Dan jangan lupa, kita juga harus berhati-hati dengan apa yang kita yakini. Jangan sampai tasybih atau takyif membuat kita salah paham. Sama seperti kopi ini, jangan sampai kita salah paham dengan rasanya. Nikmati saja."

Toha tertawa. "Iya, benar! Kadang-kadang, yang paling indah itu adalah menerima tanpa perlu banyak tanya. Seperti kita nikmati kopi ini, tanpa perlu tahu siapa yang menanam bijinya, siapa yang menyeduhnya, atau mengapa rasanya begitu enak."

Eko menatap secangkir kopinya. "Jadi, inti dari semua ini adalah, kita harus percaya dan menikmati kehidupan ini tanpa harus paham semua hal, seperti kita menikmati kopi tanpa perlu tahu dari mana asal rasanya?"

Hasan mengangguk, lalu memandang sekeliling. "Benar, Eko. Kadang-kadang, kita cuma perlu menikmati dan meyakini tanpa mencari jawaban atas segala hal yang kita rasakan."

Kipli tersenyum penuh arti. "Dan yang terpenting, jangan pernah bertanya 'bagaimana' Allah itu Maha Sempurna. Cukup yakini dan nikmati segala karunia-Nya. Seperti kita nikmati secangkir kopi ini."

Di meja itu, lima sahabat itu tertawa bersama, menyadari bahwa hidup ini memang penuh dengan misteri yang tidak perlu dipecahkan. Seperti secangkir kopi yang nikmat, kehidupan ini harus dinikmati dengan penuh rasa syukur, tanpa perlu terlalu banyak tanya.


Mereka pun terus menghabiskan kopi mereka, dengan rasa yang lebih nikmat, karena percakapan itu telah memberi mereka sedikit pencerahan. Dan di sana, di Kafe Al-Fajr, mereka tahu, bahwa kadang-kadang, menikmati sesuatu dengan sepenuh hati lebih berharga daripada mencoba memahaminya dengan akal semata.

Tentang penulis :

Marzuki Ibn Tarmudzi, pernah mencicipi sedikit segarnya lautan ilmu di Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang, Jawa Timur. Hobinya yang suka nyorat-nyoret kertas ini dimulai semenjak nyantri. Kini, hobinya itu dituangkan di berbagai media online, itung-itung sebagai aksi dari ; “بلغوا عني ولو أية “,” sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat ”.