BY: MARZUKI BERSEMANGAT
Memasuki lingkungan Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, tepatnya di pemakaman Bani Hasyim sudah terasa atmosfer berbeda. Selain sangat teduh karena banyak sekali manusia-manusia yang berbaju religi, juga indah dengan terdengarnya alunan bacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an, tahlil. Dada ini terasa tenang, nyaman serasa tidak mempunyai hutang.
Kami berangkat bersama team kami dari Pondok Pesantren Al-Ghozali Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang. Memasuki gerbang Podok Pesantren Tebuireng tepat ba’da Maghrib. Dari gerbang terlihat masjid Pondok penuh dengan para jama’ah menikmati istirahat yang sudah selesai sholat Maghrib. Kami langsung menuju lokasi pemakaman Bani Hasyim untuk mengikuti do’a bersama tujuh hari wafatnya KH. Abdurrohman Wahid. Do’a bersama dimulai ba’da isya’ sehingga kami bisa menikmati nuansa yang santai. Walaupun begitu team kami mengisi suasana nyantai dengan membaca suroh yasin dan terlihat team kami juga ada yang observasi para peziarah. Menjelang adzan isya’ tempat duduk yang disediakan oleh panitia telah dipenuhi peziarah yang akan mengikuti do’a bersama.
Jam Hp kami tepat menunjukkan 19.45. keamanan kuwalahan dengan para peziarah yang membludak. Dan sangat mungkin kami tidak akan bisa masuk ke pemakaman bila kami datang ba’da isya’. Kami merasakan energi bersemangat pusaran jagat dari do’a para peziarah. Apalagi saat Emha ainun Nadjib, budayawan kelahiran Jombang ini melantunkan syair yang biasa dinyanyikan Gus Dur: “Ilahilastulilfirdausiahla walaa aqwa ala naaril jahiimi…..”
Ya Tuhanku, aku tidaklah pantas memasuki surga-MU
Namun, aku tidak kuat bernada dalam neraka
………………………………………….
………………………………………..
Cak Nun mengajak hadirin untuk bersemangat menyainyikan syair yang katanya biasa dinyanyikan Abu Nuwas itu. Syair ini bukanlah politik untuk merayu Tuhan, namun syair ini adalah bentuk kejujuran seorang hamba pada Tuhan.
Dengan balutan busana serba putih, suami Novia S. Kolopaking ini juga menggembar-gemorkan “gitu aja kok repot” yang sering diucapkan Gus Dur. “memang orang Indonesia itu tidak mau ambil pusing, kenyataannnya disini banyak yang tertawa, tidak sadar kalau punya hutang “Kata Cak Nun disambut gelak tawa hadirin.
Tapaknya Cak Nun merombak cara pikir masyarakat tentang pemahaman Gus Dur. Cak Nun berupaya menempatkan Gus Dur sebagai manusia. Bahwa manusia bisa salah dan lupa. Upaya ini sebagai usaha Cak Nun untuk supaya tidak mengkultuskan Gus Dur.
Menapak tilasi Gus Dur yang utama adalah dari keikhlasan beliau. Gus Dur berjuang tanpa pamrih. “Gus Dur itu handphone bukan Cashing. Lha…. Pemimpin sekarang itu lebih menampakkan cashing sedangkan handphonenya mati” terang Cak Nun dengan bersemangat.
Hadirin sangat antusias medengarkan Cak Nun dengan gayanya yang ceplas-ceplos terkesan lebih mengena dan mudah untuk diterima. Maka ketika Cak Nun berbicara tentang pluralisme dan multikulturalisme, yang hadirin adalah masyarakat plural juga, Cak Nun pun tidak menjelaskan secara bertele-tele. “Plural iku yo macem-macem. Kalau orang arab mengenal “yasqutu” (jatuh) maka orang jawa ada; ceblok, rutuh, dlosor, jlungub, tibo.”
Sebelum menutup pidatonya, cak nun menyuruh santrinya membaca syair buatannya untuk Gus Dur. Sekaligus Cak Nun memberikan filosofinya. Acara do’a bersama itu ditutup do’a oleh KH. Maimun Zubair Sarang Jawa Tengah.
Acara selesai kami merungsek di tengah jejalan pezirah yang ramai untuk mendekati makam Gus Dur. Dengan sedikit diskusi dari teman-teman kami, akhirnya kami mendapatkan antrean lancar, namun memang belum bagian kami. Ternyata antrean itu hanya melewati. Kami belum puas. Misi kami adalah untuk dapar berdhikir didekat makam Gus Dur.
Sebelum tulisan ini kami tutup, maaf ya, kami mau bicara soal pluralisme sedikit saja. Perihal pluralisme, sering disinggung Cak Nun dalam berbagai pertemuan. Yang diketahui penulis, Cak Nun pernah menyampaikan bahwa sejak zaman kerajaan Mojopahit tidak pernah ada masalah dengan pluralisme.
“Sejak zaman nenek moyang, bangsa ini sudah plural dan bisa hidup rukun. Mungkin sekarang ada intervensi dari negara luar,” Ujar Cak Nun
Menurut Cak Nun, pluralisme bukan menganggap semua agama itu sama. Islam beda dengan kristen, dengan budha, dengan katolik, dengan hindu. “Tidak bisa disamakan, yang beda biar berbeda. Kita harus menghargai itu semua,” tutur budayawan intelektual itu.
Gambar di ambil dari http://surabaya.detik.com/images/content/2009/06/03/466/caknun-dalam.jpg
BUMI KALI GARUNG NGAwI
Selesai Ditulis 22.10/13/01/’10
Terimakasih kepada Bapak, Ibu, Nenek yang bisa memahami aku sedang jatuh cinta yang aku bisa menghabiskan semua waktuku bersamanya.
Memasuki lingkungan Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, tepatnya di pemakaman Bani Hasyim sudah terasa atmosfer berbeda. Selain sangat teduh karena banyak sekali manusia-manusia yang berbaju religi, juga indah dengan terdengarnya alunan bacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an, tahlil. Dada ini terasa tenang, nyaman serasa tidak mempunyai hutang.
Kami berangkat bersama team kami dari Pondok Pesantren Al-Ghozali Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang. Memasuki gerbang Podok Pesantren Tebuireng tepat ba’da Maghrib. Dari gerbang terlihat masjid Pondok penuh dengan para jama’ah menikmati istirahat yang sudah selesai sholat Maghrib. Kami langsung menuju lokasi pemakaman Bani Hasyim untuk mengikuti do’a bersama tujuh hari wafatnya KH. Abdurrohman Wahid. Do’a bersama dimulai ba’da isya’ sehingga kami bisa menikmati nuansa yang santai. Walaupun begitu team kami mengisi suasana nyantai dengan membaca suroh yasin dan terlihat team kami juga ada yang observasi para peziarah. Menjelang adzan isya’ tempat duduk yang disediakan oleh panitia telah dipenuhi peziarah yang akan mengikuti do’a bersama.
Jam Hp kami tepat menunjukkan 19.45. keamanan kuwalahan dengan para peziarah yang membludak. Dan sangat mungkin kami tidak akan bisa masuk ke pemakaman bila kami datang ba’da isya’. Kami merasakan energi bersemangat pusaran jagat dari do’a para peziarah. Apalagi saat Emha ainun Nadjib, budayawan kelahiran Jombang ini melantunkan syair yang biasa dinyanyikan Gus Dur: “Ilahilastulilfirdausiahla walaa aqwa ala naaril jahiimi…..”
Ya Tuhanku, aku tidaklah pantas memasuki surga-MU
Namun, aku tidak kuat bernada dalam neraka
………………………………………….
………………………………………..
Cak Nun mengajak hadirin untuk bersemangat menyainyikan syair yang katanya biasa dinyanyikan Abu Nuwas itu. Syair ini bukanlah politik untuk merayu Tuhan, namun syair ini adalah bentuk kejujuran seorang hamba pada Tuhan.
Dengan balutan busana serba putih, suami Novia S. Kolopaking ini juga menggembar-gemorkan “gitu aja kok repot” yang sering diucapkan Gus Dur. “memang orang Indonesia itu tidak mau ambil pusing, kenyataannnya disini banyak yang tertawa, tidak sadar kalau punya hutang “Kata Cak Nun disambut gelak tawa hadirin.
Tapaknya Cak Nun merombak cara pikir masyarakat tentang pemahaman Gus Dur. Cak Nun berupaya menempatkan Gus Dur sebagai manusia. Bahwa manusia bisa salah dan lupa. Upaya ini sebagai usaha Cak Nun untuk supaya tidak mengkultuskan Gus Dur.
Menapak tilasi Gus Dur yang utama adalah dari keikhlasan beliau. Gus Dur berjuang tanpa pamrih. “Gus Dur itu handphone bukan Cashing. Lha…. Pemimpin sekarang itu lebih menampakkan cashing sedangkan handphonenya mati” terang Cak Nun dengan bersemangat.
Hadirin sangat antusias medengarkan Cak Nun dengan gayanya yang ceplas-ceplos terkesan lebih mengena dan mudah untuk diterima. Maka ketika Cak Nun berbicara tentang pluralisme dan multikulturalisme, yang hadirin adalah masyarakat plural juga, Cak Nun pun tidak menjelaskan secara bertele-tele. “Plural iku yo macem-macem. Kalau orang arab mengenal “yasqutu” (jatuh) maka orang jawa ada; ceblok, rutuh, dlosor, jlungub, tibo.”
Sebelum menutup pidatonya, cak nun menyuruh santrinya membaca syair buatannya untuk Gus Dur. Sekaligus Cak Nun memberikan filosofinya. Acara do’a bersama itu ditutup do’a oleh KH. Maimun Zubair Sarang Jawa Tengah.
Acara selesai kami merungsek di tengah jejalan pezirah yang ramai untuk mendekati makam Gus Dur. Dengan sedikit diskusi dari teman-teman kami, akhirnya kami mendapatkan antrean lancar, namun memang belum bagian kami. Ternyata antrean itu hanya melewati. Kami belum puas. Misi kami adalah untuk dapar berdhikir didekat makam Gus Dur.
Sebelum tulisan ini kami tutup, maaf ya, kami mau bicara soal pluralisme sedikit saja. Perihal pluralisme, sering disinggung Cak Nun dalam berbagai pertemuan. Yang diketahui penulis, Cak Nun pernah menyampaikan bahwa sejak zaman kerajaan Mojopahit tidak pernah ada masalah dengan pluralisme.
“Sejak zaman nenek moyang, bangsa ini sudah plural dan bisa hidup rukun. Mungkin sekarang ada intervensi dari negara luar,” Ujar Cak Nun
Menurut Cak Nun, pluralisme bukan menganggap semua agama itu sama. Islam beda dengan kristen, dengan budha, dengan katolik, dengan hindu. “Tidak bisa disamakan, yang beda biar berbeda. Kita harus menghargai itu semua,” tutur budayawan intelektual itu.
Gambar di ambil dari http://surabaya.detik.com/images/content/2009/06/03/466/caknun-dalam.jpg
BUMI KALI GARUNG NGAwI
Selesai Ditulis 22.10/13/01/’10
Terimakasih kepada Bapak, Ibu, Nenek yang bisa memahami aku sedang jatuh cinta yang aku bisa menghabiskan semua waktuku bersamanya.