Esai - 2
Senin, 27 November 2017
Oleh : Marzuki Ibn Tarmudzi
Ngopi dan Ngaji : Berguru kepada Sang
Nabi
Mas O’o,
terpingkal-pingkal mendengar pemberitaan seorang Ustadz yang menyebut seorang
artis dengan sebutan hidung pesek dan si artis menanggapinya dengan serius.
Bagi Mas O’o, ngapain juga si ustadz ngatain begituan, jelas itu dilarang dalam
ajaran Islam. Dan Mas O’o pun heran, kenapa juga si artis menanggapi gituan
dengan serius. Bukannya si artis udah terbiasa ngelawak.
Kemunculan
istilah “hidung pesek”, pastinya karena ada fakta lain, yakni hidung mancung.
Kita yang hidup di Asia Tenggara, dimana rata-rata berhidung pesek, pastinya
tidak perlu marah. Sebab yang ngejek biasanya juga berhidung pesek. Kalaupun
orang yang ngejek mancung biasanya blesteran.
Mas O’o tampak
menyalakan kreteknya sembari berkata dalam pikiran:
“Lantas, perlukah
mempermasalahkan ketidak seimbangan bentuk fisik hidung antara yang pesek dan
yang mancung, yang jelas-jelas itu merupakan pemberian dari Allah Swt. Yang
wajib disyukuri dan dzolim jika saling mengejek pemberian-Nya.”
Bagi Mas O’o, ada
hal yang lebih penting untuk dipikirkan dalam kehidupan ini, yang tentunya juga
disebabkan oleh peseknya sosial dan beragama.
Dalam kehidupan
masyarakat sekarang ini ada tingkah laku yang tidak seimbang. Ketidak
seimbangan itu berada pada dua substansi, yakni eksternal dan internal.
Eksternal adalah ekonomi masyarakat, dimana biaya hidup semakin terasa berat sedangkan
mayoritas pendapatan perkapita layaknya air yang menetes dari kran. Strata
ekonomi masyarakat terlalu mencolok perbedaannya. Coba lihat, ada rumah gubug
yang berada dibelakang gedung pencakar langit.
Menata sistem
ekonomi pastinya adalah peran pemerintah, yang tentu harus adil. Tentu, kebijakannya
yang tidak hanya menguntungkan kapitalis saja. Hal ini mengingatkan Mas O’o
tentang ekonomi kerakyatan, yakni ekonomi tradisional yang menjadi basis
kehidupan masyarakat lokal dalam mempertahankan kehidupannya.
Di bagian sisi
otak yang lain Mas O’o bertanya, “lantas, apakah ekonomi kerakyatan bisa bertahan
ditengah arus globalisasi ini?”
“Pastinya ekonomi
kerakyatan tetap bisa bertahan jika mengadopsi teknologi informasi dan sistem
manajemen yang paling canggih.”, gumam Mas O’o lirih.
Dan, tak terasa
kopi Mas O’o sudah dingin, namun ia tetap tenggelam dalam pikirannya. Baru ia
keingat kopinya dan menyeruputnya sembari bergumam dalam pelan,”Sabar itu
nasehat kedalam diri saya, tapi kalau melihat sistem perekonomian yang
amburadul begini, saya harus jihad”.
Juga kegelisahan
Mas O’o, yang masuk faktor internal adalah banyaknya kid jaman now, yang hanya
sibuk menekuni pengetahuan umum, tanpa diimbangi dengan wawasan agama yang
cukup. Yang terjadi, adalak peseknya dalam perjalanan hidup ini. Kid jaman now
seakan tidak perlu belajar agama, sebab cara pandang yang materialistik telah
menghinggapi. Yakni, hidup ini prioritasnya adalah materi, materi dan materi.
Bagi Mas O’o, kudu dicari tapi bukan materialistik
Faktor internal
lain, yang sangat vital adalah keberagaman. Yakni mengamalkan agama namun tidak
totalitas. Melakukan sholat namun belum bisa mencegah dirinya dari perbuatan
keji dan munkar. Sebab, kurangnya penghayatan dalam mengamalkan agama. Ada
jasmani dan rohani. Berapa banyak orang yang berwudlu namun hanya fokus pada
pembersihan jasmani, sedangkan hatinya belum ikut dibersihkan. Berapa banyak
orang sujud namun hanya hanya fokus pada meletakkan kepala di lantas namun
hatinya belum benar-benar tunduk kepada Allah Swt. Padahal esensi beragama
adalah ketundukan hamba pada Allah Sang Pencipta Alam Semesta.
Mas O’o teringat
bahwa Allah menjadikan umat Islam adalah umat pertengahan. ”Wa kadzalika
ja’alanakum ummatan wasaton”, “. Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu
(umat Islam), umat pertengahan”. Dalam Tafsir Ibnu Katsir itu, Abu
Sa’id memahami al-wasat adalah adil. Tentunya, adil adalah keseimbangan, yang
tidak pesek tapi seimbang, yang tidak berat ke kanan atau memihak ke kiri.
وكذلك جعلنكم وسطا لتكونوا شهداء على الناس ويكون الرسول عليكم شهيدا
وما جعلنا القبلة التى كنت عليها ءالا لنعلم من يتبع الرسول ممن ينقلب على عقبيه
وءان كانت لكبيرة ءالا على الذين هذى الله وما كان الله ليضيع ءايمنكم ءان الله
بالناس لرءوف رحيم
Dan demikian (pula) Kami
telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan[95] agar kamu
menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi
atas (perbuatan) kamu. dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu
(sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti
Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa Amat
berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan
Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang kepada manusia. (QS. Al-Baqoroh [2]: 143)
Ya, Allah aku sudah menyampaikan. Saksikanlah!
Judul terkait:
# cara
hidup yang seimbang, # yang sedang sedang saja, # ekonomi kerakyatan, # kid
jaman now
Baca juga yang lain :