Esai : 12
Cerita Islami, Esai, Daur, Selasa, 26 Desember 2017
Author : Marzuki Ibn Tarmudzi
Ngopi dan Ngaji : Berguru kepada sang
Nabi
Fenomena yang lazim sekali, tiap menjelang
tahun baru hujan menghiasi peralihan tahun. Maka, Mas Lantip seharusnya mengisi
breaknya siang itu dengan tidur, sebab kondisi yang mendukung: derai
hujan, hawa dingin, angin semilir, plus tubuh lelah habis kerja. Justru ia
bergairah sekali; menampakkan senyuman manis, gesture yang lebih
atraktif, lebih tampak flamboyan.
Oo, he is “stalking”. Tampak
cekatan telunjuknya mengolak-alik, slide-slide foto Neng Ina di Instagramnya. Tiba-tiba
telunjuknya berhenti, bibirnya melebar, matanya seperti kucing membidik tikus.
Dan sayup-sayup terdengar kalimah dari bibirnya : “Subhanallah. Kamu masih
cantik jelita seperti dulu, In. Masih mempesona”. Kemudian, bibirnya kembali
menciut, kepalanya celinguk-celingak seperti
siswa baru yang kebelet pipis. Senyumnya kembali mengembang sembari
mengambil selembar kertas undangan di meja kamar, pelan-pelan membacanya dalam
hati: Kepada Saudara Lantip, dimohon kehadirannya ba’da Isya’ di Rumah Pakde
Waringin. Pertanda pengurus remaja Masjid Baitul Iman.
Dari jendela samping itu Mas Lantip
memandangi sawah yang terbentang luas, awan mendung itu masih krasan menutupi
indahnya gunung Lawu. Hati Mas Lantip terus membuncah tak karuan seperti cahaya
matahari yang memasuki gerbong kereta api melesat-melesat labil. Ia harap-harap
adzan Isya segera berkumandang, berharap
bisa bertemu menatap Neng Ina, kangen kumpul bareng dalam satu halaqoh. Sudah 2
tahun semenjak lulus Senior High School, tidak lagi pernah mengobrol
bareng, miss komunikasi. Di Jakarta, Neng Ina seakan tenggelam bersama
buku-bukunya di kampus. Bagi Mas Lantip, Neng Ina merupakan bidadari utusan
tuhan yang sengaja ditempatkan di kampung Kaligarung, sebagai obor yang
menghangatkan dan menerangi pemuda-pemuda. Ia terobsesi sekali padanya.
Baca Artikel Yang Lain :
Di rumah yang berjarak sekitar 7 meter
dari rumah Mas Lantip itu, adalah rumah Neng Ina. Ia tampak sedang meletakkan mushaf
sehabis membaca Al-Qur’an. Lalu ia tatap datar undangan halaqoh ba’da Isya’
itu. Sebentar kemudian, ia sedang menatap laptop. Mengusahakan istiqomah,
ia mengisi waktu menunggu Isya’, untuk mencurahkan uneg-unegnya dengan
menulis di blog. Sebagai blogger, Neng Ina adalah perempuan agen of change
melalui tulisan-tulisannya. Tampak Ia menggerak-gerakkan jari-jemarinya di atas
keyboard laptop, memulai menulis di draft blognya: Bumi
tak henti-hentinya berotasi pada porosnya. Ia pun juga tak lelah tetap harus
mengitari matahari. Bermula dari situ penanggalan Masehi berjalan bersama detik
jam dinding yang sanggup konsisten. Dan, penanggalan yang mulanya diusulkan
oleh astronom Sosigenes, yang lantas difollow up oleh Julius Caesar itu,
kini akan memasuki tahun 2018. Bumi semakin berumur dan setiap alun-alun kota
pada pergantian tahun itu sibuk ria dengan suara terompet-terompet melengking
sembari menyaksikan aurora di langit, cahaya kembang api itu semburat
mengangkasa. Lantas, Masih ingatkah mereka dalam gemuruh gempita, suka ria akan
hakikat diciptakannya manusia oleh Tuhan Yang Maha Esa? In my view,
generasi millenials adalah mereka yang menyambut pergantian tahun dengan
ikrarkan tekad untuk distorsi diri menjadi yang lebih baik dari hari kemarin,
yang tetap dalam koridor hamba-hamba Tuhan yang lebih dicintai. Wahai
millenials, mari menulis dengan huruf kapital underlined, bukan di
dinding kamar, diary, status facebook, ngetweet, atau seabrek medsos
yang lain, tapi patrilah di pikiranmu : Bagaimana tetap dalam jalan yang Allah
Ta’ala ridhoi?
“Allahu akbar..Allahu Akbar..”, suara
adzan Isya’ berkumandang di Masjid yang berdiri megah Kaligarung itu. Di
kampung itu, adzan maghrib dan Isya’ seperti membawa hipnotis yang menggiring orang-orang
menuju masjid, bak anak-anak ayam yang lari berhamburan mendekati pemberi polar.
Berbeda dengan kumandang adzan subuh, dluhur dan asar orang seperti masih
tenggelam dalam aktivitasnya, laiknya sales motor di depan pasar yang
dianggurin, padahal sedang berkoar-koar promo murah.
Tampak Pakde Waringin mengamati satu
persatu tamu undangannya, bak seorang guru berwibawa yang mendata
murid-muridnya. Lalu ia menjalankan buku absen secara bergilir sebagai
dokumentasi. Sesaat kemudian, tokoh yang diseniorkan di kampung Kaligarung itu
mengutarakan singkat tentang rasa terimakasihnya kepada Tuhan, dan kepada
seluruh pemuda-pemudi yang mau hadir di acara halaqoh akhir tahun ini. Laiknya
seorang motivator ulung ia memulai halaqoh malam itu dengan menanyai hadirin :
“Apa visi dan misimu untuk tahun yang
akan datang?”
Mas Lantip masih saja memandangi wajah
cantik Neng Ina, yang duduk di seberang lingkaran berhadapan. Tak lekang, ia
pandangi jari-jemarinya yang lentik, model pakaiannya yang syar’i, gesture
yang anggun. Kayaknya, ingin sekali rasanya ia berujar pada si jelita itu: Jika
kamu menginginkan sesuatu bilanglah padaku. Kamu tinggal katakan saja.
“Mas Lantip..Lantip...Lantip..tiiip”
Tapi si observer itu
sekonyong-konyong buyar imajinasinya mendengar suara keras yang berulang-ulang
itu. Dan, ia mengalihkan pandangannya pada sumber suara itu.
“Pijimane, apa visi misimu untuk tahun ke
depan, aich!! Awas bukan muhrim”
Mas lantip tersenyum malu melihat Pakde
Waringin. Ia tampak blank. Sedangkan Mas O’o, Mas Bejo, Mas Kelik dan
pemuda-pemuda yang lainnya sebenarnya adalah sama hal dengan Mas Lantip. Mereka
juga silau, kepincut dengan kehadiran kembang desa itu.
“Saya pengin lebih sukses daripada tahun
kemarin, Pakde”
Tiba-tiba Mas O’o mengacungkan tangan dan
menjawab pertanyaan Pakde Waringin itu dengan sumringah, sembari melirik
matanya pada Neng Ina. Sementara itu, teman-teman yang lain masih loading dengan
tema halaqoh malam itu.
“Trus, makna sukses itu apa?”
Mas O’o kelabakan mendapatkan timpalan
dari Pakde Waringin. Baginya, sukses sebuah definisi yang sudah generik
diketahui mayoritas orang : penghasilan meningkat, dicintai kerabat, naik
pangkat. Namun, ia tampak belum siap merangkai kata-kata yang cukup baik untuk disampaikan di halaqoh
itu.
Di tengah suasana halaqoh yang terdiam,
Neng Ina mengacungkan tangan menjawab pertanyaan Pakde Waringin tentang apa
makna kesuksesan itu.
“Saya sangat setuju dengan hipotesa
seorang penulis, bernama Johan Wolfgang Von Goethe, tentang makna kesuksesan
itu adalah cukup sehat sehingga kerja jadi menyenangkan. Cukup uang untuk
memenuhi kebutuhan. Cukup kuat untuk melawan kesulitan dan mengatasinya. Cukup
bijak untuk mengakui kesalahan dan memperbaikinya. Cukup sabar untuk bekerja
keras sampai meraih prestasi. Cukup welas asih untuk menjadi berguna dan
membantu sesama. Cukup iman untuk menjalankan perintah Tuhan. Cukup harapan
untuk mengatasi kegelisahan menghadapi masa depan”.
Melihat gadis dambaannya berargumentasi
cerdas, Mas Kelik mulai terpacu otaknya. Adrenalinnya mulai terpompa, mulai
memaksanya untuk bisa berpendapat yang lebih cerdas. Atau, berpendapat yang
menjadi antitesa dari pendapatnya, supaya menjadi bahan perhatian tersendiri.
Trik ini mungkin tak ubahnya dalam film-film percintaan yang awalnya
menciptakan konfrontasi dengan gadis incarannya, lalu berakhir dengan meminta
maaf. Ah! Usang.
“Sukses adalah guru yang jelek. Ia bisa
menggoda orang pandai, merasa tak bisa kalah”
Strategi jitu. Neng Ina tampak
mengernyutkan dahi mendengar lontaran dari Mas Kelik yang mengutip dari jajaran
orang terkaya di dunia itu, Bill Gates.
Neng Ina membela diri. Dengan senyum yang
tetap terpancar, ia mengutip Aristoteles: “Harapan adalah impian yang
terbangun”.
Baca Tulisan yang Lain :
Bak pahlawan yang kesiangan, Mas Bejo
menjadi pendukung Neng Ina. Ia berdiri flamboyan sembari mengerlipkan matanya ke
neng Ina, bersyair : “harapan menaruh perhatian pada kebaikan, dan bukan
berulang-ulang mencari keburukan, Harapan selalu membuka pintu di mana putus
asa senantiasa menutupnya. Harapan mencari apa yang bisa dikerjakan dan bukan
menggerutu karena ketidaktahuan. Harapan memancarkan kepercayaan mendalam
terhadap Tuhan dan kebaikan alam. Harapan “menyalakan terang”. Harapan melihat
masalah, besar atau kecil, sebagai kesempatan. Harapan tidak menghargai
khayalan, juga tidak mengungkapkan kesinisan. Harapan selalu membentangkan
tujuan besar, dan tidak frustasi dengan kegagalan atau kemunduran. Harapan
selalu mendorong ke depan ktika mundur begitu mudah untuk dilakukan. Harapan
menghargai kemajuan meski perlahan, karena sadar bahwa “perjalanan jauh ke muka
selalu dimulai dengan langkah pertama”. Harapan memaklumi kesalahpahaman,
karena tujuannya adalah melayani dengan lebih baik lagi. Harapan adalah kalah
dengan lapang dada, karena pada akhirnya kemenangan pasti akan bersinar”. James
Keller, The Christopher.
Suasana halaqoh itu semakin hangat dengan
perdebatan pemuda-pemuda itu. Surplus konsumsi khas desa pun mulai keluar
menunjukkan dukungannya: es teh, kacang godog, buah pepaya, buah salak.
MENJADI GENERASI ALMAEDAH 54
Diakhir halaqoh Pakde memberikan ulasan
tentang harapannya kepada pemuda-pemudi dan menyakinkan kepada mereka : “Kalian
adalah generasi baru, Generasi Al-maedah 54[[1]].
Sebab, kalian semua kelihatan bahagia, itu terpancar dari senyum kalian
semua. Energi kebahagian itu datangnya dari Allah, karena Allah mencintai
kalian semua. Generasi yang, “adzillah”
kepada sesama muslim dan “ai’zzah”
kepada yang berbuat kekufuran.”
Mendengar wejangan itu, Mas Kelik, Mas
O’o, Mas Bejo, Neng Ina dan pemuda-pemuda Lainnya tepekur mendengarkan. Mas
Lantip tampak manggut-manggut sembari tangannya menulis di buku catatannya :
Generasi Almaedah 54. Dan, Neng Ina juga kelihatan sibuk sekali dengan gadgetnya,
terlihat di note ia pun mengetik : Benarkah “Generasi Almaedah54” merupakan
generasi wajah baru Indonesia ke depan?
CARA MEMILIH TEMAN DALAM SULUK KEPADA
ALLAH TA’ALA
Lalu, Pakde Waringin berpesan kepada
pemuda-pemuda itu untuk senantiasa menjaga pergaulan. Beliau mengutip Sayid
Abdul Qodir Al-Jailani, tentang manusia itu terbagi dalam empat bagian : Pertama, Manusia yang tidak mempunyai ucapan
dan hati, suka berbuat maksiat, menipu serta tolol. Berhati-hatilah terhadap
mereka dan janganlah berada didalamnya, karena mereka adalah orang-orang yang
mendapatkan siksa. Kedua, Manusia yang mempunyai lisan, namun tidak mempunyai
hati. Dia berbicara tentang hikmah atau ilmu, namun tidak mengamalkannya,
mengajak manusia kepada Allah, namun dia lari dari-Nya. Jauhi mereka, agar kamu
tida terpikat dengan kelezatan lisannya, sehingga kamu tidak terbakar oleh
maksiat-maksiatnya dan tidak akan terbunuh oleh bau busuk hatinya. Ketiga,
Manusia yang mempunyai hati, namun tidak mempunyai ucapan. Mereka adalah orang
mukmin yang ditutupi oleh Allah dari makhlukNya, diperlihatkan aib-aib dirinya,
disinari hatinya, diberitahukan kepada bahaya-bahaya bergaul dengan sesama
manusia dan kesialan ucapan mereka. Mereka tergolong orang yang menjadi wali
Allah (kekasih Allah) yang dipelihara dalam tirai Allah Swt. dan memiliki
segala kebaikan. Maka bergaullah dan layanilah dia, niscaya kamu dicintai Allah
Swt. keempat, Manusia yang belajar, mengajar dan mengamalkan ilmunya. Mereka
mengetahui Allah Swt. dan ayat-ayat-Nya. Allah menitipkan ilmu-ilmu asing
kepadanya dan Dia melapangkan dadanya untuk menerima ilmu-ilmu. Maka, kamu
harus takut menyalahi, menjauhi dan meninggalkan nasehat-nasehatnya.
(Ya Allah Ya Robbi, jadikanlah hambamu
ini sebagai hamba yang senantiasa bergerak menyampaikan ayat-ayat MU)
Incoming search:
# Cerpen Islami # Esai Dakwah # kumpulan
Esai # Happy New Year 2018 # Sastra dan Dakwah # Kampung Kaligarung Karangjati
Ngawi
[1]
QS.
Al-Maidah [5]: 54.
يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَن دِينِهِۦ فَسَوْفَ يَأْتِى اللَّـهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُۥٓ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكٰفِرِينَ يُجٰهِدُونَ فِى سَبِيلِ اللَّـهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَآئِمٍ ۚ ذٰلِكَ فَضْلُ اللَّـهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَآءُ ۚ وَاللَّـهُ وٰسِعٌ عَلِيمٌ ﴿المائدة:٥٤
“Hai
orang-orang yang beriman, Barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya,
Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan
merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin,
yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah,
dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia
Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas
(pemberian-Nya), lagi Maha mengetahui.”