Esai - 1
Ahad, 26 November 2017
Oleh:
Marzuki Ibn Tarmudzi
NGOPI DAN NGAJI
: BERGURU KEPADA SANG NABI
Pak De
Waringin terlihat termenung di bawah pohon kelapa belakang rumah. Entah, apa
yang membuatnya sedikit terlihat galau. Tampak ia sedang nyeruput kopinya
dan,”hahh, asemm!!”, ia memuntahkan kopinya yang diseruputnya. Akupun mencoba
mendekatinya. Yang sedari tadi aku memperhatikan dari pinggir jalan.
“Ngopo to,
Pak De, kok ngelamun?”, tanyaku
“ah, ya
mikirin bocah-bocah jaman sekarang
iki lo le, kok yo pintere keblinger”,
ujarnya.
Aku pun
kaget bukan kepalang. Sebab tak pikir Pak De Waringin sedang menggelisahkan kondisi
sawahnya yang gagal panen. Eh, ternyata ia menggelisahkan Kid Jaman Now. Wadah!
menarik sekali ini kegelisahan Pak De Waringin.
“Keblingernya
yang mana to, Pak De”, Pancingku
“Apa yo
kamu ngga’ denger to, anak SMP udah mendem pake fitting bola lampu itu”
Aku hanya
mengangguk saja tanpa menyahut. Dan ku coba menawari rokok kretek pada Pak De,
supaya lebih gayeng ndongengnya. Dan supaya juga saya mempersilahkan
imajinasinya melayang menggelisahkan kerusakan moral masyarakat. Bukan hanya
menggelisahkan sejumput makan esok hari atau kegelisahan Pak De Waringin, yang
kemarin punya ambisi mencalonkan kepala Desa. Saya rasa Pak De Waringin lebih
tinggi levelnya di hadapan Allah, jika mau memikirkan, urun rembug
membenahi akhlaq bangsa Indonesia ini.
“lha yang
aneh malah, kemarin ada insiden kecelakaan menabrak tiang listrik, tapi kok
malah tiang listriknya yang disalahkan, tu gimana le, biasanya kan yang
dipersalahkan makhluk hidup yang punya akal”, lanjut Pak De.
Aku mulai
nyinyir. Pak De Waringin rasa-rasanya mulai merambah ke dunia politik. Ia
mencoba menyindir ulah Setya Novanto. Orang seperti Pak De Waringin, pastinya
tidak punya cukup bahan untuk mengomentari Setya Novanto. Politisi bukan, ahli
hukum bukan, pengamat bukan. Ia hanya petani kecil yang sesekali ndengerin
berita. Maka, saya tidak mendebat apa yang ia omongkan. Ku biarkan saja ia
mengungkapkan kegelisahannya.
“udahlah!
Saya yakin Setnov pasti akan dihukum, kalau kemarin lepas, itu kan memang fakta
meteriil di persidangan tidak kuat. Kayaknya sekarang KPK udah punya fakta
materiil yang kuat. Makanya udah berani nangkep”, Pak De melanjutkan.
Ngobrol
politik bagi orang desa adalah hiburan. Bukan membangun gerakan untuk
menjatuhkan pemerintahan. Orang-orang desa terlalu khayal berpikir tentang
menjatuhkan pemerintahan. Orang-orang desa seperti Pak De Waringin itu, besok
ada yang menyuruh kerja itu sudah bersyukur. Sebab petani yang hanya punya
sawah tiga petak, tidak cukup bisa dihandalkan untuk makan sehari-hari dan
membiayai dua anak. Anak pertama SMA, dan yang nomer dua SMP. Apalagi, jaman
now bedanya sedikit dengan jaman doeloe. Jaman doeloe hanya butuh sedikit duit.
Beda dengan jaman now, sedikit-sedikit duit, sedikit-dikit duit. Maka, untuk mencukupi
kehidupan sehari-hari haruslah ditopang bekerja harian.entah, nguli batu,
mencangkul di sawah atau makelaran.
Dan
tiba-tiba saja istrinya Pak De datang membawa secangkir kopi, dan diberikan
kepada saya.
“Monggo
mas, kopine, githel iki”, kata istri Pak De
“Lho, kok
repot-repot bu’ ne”, kataku
“halah,
lha wong cuman air aja kok”
Istri Pak
De sudah berlalu. Dan Pak De, tampaknya masih mau melanjutkan perihal kasus
fakta meteriil di persidangan itu.
“Dulu, Abu
Nawas pernah disidang, dan hakim memutuskan memenjarakannya karena Abu Nawas
ketahuan membawa pisau. Sebab membawa pisau itu dikhawatirkan membahayakan
orang lain. Dan Abu Nawas mau dipenjara tapi harus dengan bersama Pak Hakim.
Abu Nawas berargumentasi, bahwa Pak Hakim kemana-mana membawa alat kelamin dan
itu dikhawatirkan memperkosa gadis-gadis perawan”, cerita Pak De.
Aku hanya
tersenyum geli. Rupanya Pak De berbakat stand up comedy.
%%###%%
MENJADI MUSLIM JAMAN NOW
Keesokan
harinya, Pak Lik Sumantri mengajak saya pergi ke pasar sapi. Ia berencana
membeli sapi. Menurut dia, memelihara sapi bagi orang desa itu perlu, selain
sebagai tabungan, di desa itu mudah sekali mencari makanan untuk sapi. Begitu
juga mudah sekali mendapatkan dedek atau katul sebagai minumnya. Yakni dari
hasil giling gabah pasti mendapat dedek. Tapi hari itu Pak Lik belum beruntung,
ia belum mendapatkan sapi yang pas di angan-angannya. Entahlah, Pak Lik tidak
bercerita perihal kriteria sapi pilihannya itu.
Malahan,
waktu pulang ia mengajak mampir di kedai kopi pinggir jalan. Ia mentraktir
makan dan kopi.
“Generasi
sekarang ini, adalah generasi yang kurang kreatif”, Pak Lik Sumantri memulai
pembicaraan.
“lho,
bukannya anak sekarang justru tampak kreatif”, saya membantah.
“iyya,
tapi kan hasil dari googling, bukan hasil pemikirannya sendiri. Generasi
sekarang orang bisa saja membikin hasil karya, tapi kan hanya tinggal mencari
di internet. Kelihatannya menciptakan mobil listrik, padahal itu sudah ada ide
itu di luar negeri. Kemudian di jiplak sistemnya dan kemudia dirakit sendiri.
Masak gitu disebut kreatif”.
Pak Lik
Sumantri, melanjutkan : “tapi itu juga nggak papa, daripada tawuran,
minum-minuman keras, pacar-pacaran, lebih baik begitu. Pemuda perlulah mencari,
dan mengembangkan bakatnya. Pentinglah memanfaatkan informasi di internet. Yang
penulis bisa mencari referensi. Yang suka teknologi bisa mengembangkan dengan
membaca hasil temuan orang dan dikembangkan. Yang lain juga, hobi matematika,
fisika, biologi, sejarah, dan sebagainya. Tapi semua perlu disaring, jangan
sampai hanya menjadi konsumen. Sesekali berpikir sendiri lalu menemukan lalu
diupload”.
“Menurut Pak De, apakah generasi yang seperti
itu sudah cukup baik, untuk kelangsungan peradaban masa depan?”, aku belum
jelas.
“Belum.
Generasi yang baik membutuhkan dimensi yang lain, yakni kecerdasan emosional
dan juga kecerdasan spiritual”, jawab Pak Lik Sumantri.
“Yang tadi
itu baru kecerdasan intelektual. Membangun peradaban manusia yang lebih baik,
manusia membutuhkan kecerdasan emosional. Jika kamu suka berdagang, etikamu
terhadap pembeli itu diperlukan. Pembeli bisa lari terbirit-birit jika nada
bicaramu keras dan kasar. Begitu juga, yang ingin belajar komputer tapi gampang
ngambek ketika menemukan kesulitan, pastinya akan gagal menguasai pengetahuan
tentang komputer. Sedangkan spiritual, lebih penting lagi sebab ketika manusia
tidak mempunyai sandaran kepada Tuhan Sang Pencipta Alam, pastinya gampang
tertekan. Dan, itu berbahaya bagi kelangsungan hidup manusia”, jelas Pak Lik
Sumantri.
“nah,
untuk itu manusia harus banyak belajar dari Nabi Muhammad Saw, sebab dia
telahdiberi wahyu suci, yakni Al-Qur’an yang mulia”, lanjut Pak Lik.
Tak terasa sudah
sejam kami mengobrol di kedai itu. Kami pun beranjak pulang. Adzan asar berkumandang
ketika kami sudah sampai di kampung Kaligarung. Seusai sholat maghrib saya, Pak
Lik Sumantri dan Ustadz Toha berkumpul di serambi Masjid.
“mengapa kita
harus mengikuti dan percaya kepada ajaran Nabi Muhammad Saw, Pak Ustadz?”,
tanya Pak De Sumantri kepada Pak Ustadz Toha.
“karena wahyu
Al-Qur’an memang tidak mungkin itu buatan manusia. Salah ayat yang menerangkan
tentang fungsi gunung sebagai pengokoh bumi diterangkan di suroh Al-Anbiya’
ayat ke 21. Ayat tersebut adalah fakta ilmiah. Mana mungkin, Al-Qur’an adalah buatan
manusia, sedangkan ketika ayat itu turun ilmu pengetahuan belum pesat
sebagaimana sekarang. Dan ilmu pengetahuan berbicara, bahwa gunung sebagai
pengokoh bumi itu baru abad akhir-akhir ini. Masih banyak ayat-ayat yang lain,
yang seseuai dengan fakta ilmiah”, jelas Ustadz Toha.
“atau, bagaimana
kamu punya bantahan untuk hal itu?”, tanya Ustadz Toha kepada saya dan Pak De
Sumantri.
Kami berdua hanya
diam. Hening.
“oh, ya maaf,
saya harus ke rumah Mas Kelik, tadi disuruh njenguk embahnya, katanya greges”,
Pamit Ustadz Toha.
“njih, njih Pak”
Pak Ustadz Toha
berlalu meninggalkan kami. Saya dan Pak Lik Sumantri pun ikut menyusul pulang.
Ustadz Toha ke arah barat, sedangkan saya dan Pak Lik Sumantri berjalan bareng
ke arah timur, sebab rumah kami searah.
“Sekarang
teknologi internet itu sudah berkembang pesat, le”, Pak Lik Sumantri memulai
berbicara.
“Menurut Pak Lik,
bagaimana orang Islam dalam memanfaatkan internet”, tanya saya.
“Ya, dipake
ibadah to, kan malah memudahkan seseorang untuk menambah ilmu. Ingin
menghafalkan Al-Qur’an misalnya, kan bisa download qiroat-qiroat dari imam-imam
hebat itu. Meskipun dalam menghafal Al-Qur’an harus mencari guru, tapi internet
juga bisa membantu. Yang memperdalam kitab kuning, kan bisa melihat maktabah
syamilah itu to, le. Internet itu kan alat, jadi tergantung orangnya.
Sebagaimana pisau, bisa kamu gunakan melukai orang tapi juga bisa digunakan
sebagai pengupas apel”, jawab Pak Lik.
“kalau begitu, bedanya jaman now dengan jaman
dulu, opo le?”, tanya Pak Lik.
“Yang dulu itu hitam putih dan yang sekarang
berwarna, Pak Lik”, jawabku
Pak Lik hanya tersenyum dan ia belok
kerumahnya sebab rumah Pak Lik lebih dekat Masjid. Sedangkan rumah saya masih
200 meter lagi.
***##***
وجعلنا
فى الأرض رواسى أن تميد بهم وجعلنا فيها
فجاجا سبلا لعلهم يهتدون
Dan telah
Kami jadikan di bumi ini gunung-gunung yang kokoh supaya bumi itu (tidak)
goncang bersama mereka dan telah Kami jadikan (pula) di bumi itu jalan-jalan
yang luas, agar mereka mendapat petunjuk. (QS. Al-Anbiya’ [21]: 31)
Ya Allah, ini tulisan adalah karena Engkau,
saksikanlah!!
Judul terkait:
#KID JAMAN NOW, #ORANG JAMAN NOW, #MENUMBUHKAN POTENSI MUSLIM,
#MENJADI MUSLIM YANG UP TU DATE,
BACA JUGA: