Esai : 16
Cerita Islami, Esai Dakwah, Sabtu, 30 Desember 2017
Author : Marzuki Ibn Tarmudzi
Ngopi dan Ngaji : Berguru kepada Sang
Nabi
Inna Ataa Bika tampak mondar-mondar
di depan gedung fakultasnya seusai keluar kelas tadi. Siang yang cerah. Kampus
masih terlihat lengang sehabis liburan. Teman-teman yang biasanya
mengerubutinya juga pada belum masuk. Dari parkiran ia langsung memacu motornya
keluar kampus melewati bawah KRL, sekitar satu kilo dari kampus ia memasuki
Green Cafe` atau Kafe` Hijau. Sebuah Kafe yang seperti berada di tengah hutan.
Di sana-sini suasananya dikondisikan laiknya di dalam hutan. Sesampai di depan
Kafe`, ia begitu sumringah melihat kondisi Kafe` yang lengang. Sigap sekali ia
sudah memesan minuman blueberry shake, dan kue penunda lapar tiramisu delight, ditambah opera cake. Lalu memilih
menghempaskan pantatnya di lesehan yang berada di pojok, lebih rileks sembari
membuka laptopnya.
“Ni minumnya, Mbak. Kok
lama nggak nongol?”, ujar waitress itu
Ina hanya tampak
mengangguk dan tersenyum dengan pelayan Kafe` itu. Memang, sudah 2 bulan Ina
tidak mengunjungi Kafe` itu, setelah hampir 1 bulan lebih 20 hari menikmati
libur kuliahnya. Kemarin ia baru saja tiba di asrama dan hari ini adalah hari
pertama masuk. Tak heran, ia masih mencium bau-bau kampung Kaligarung.
Begitu menatap laptop
perempuan yang duduk di semester empat fakultas ekonomi UI, kampus Depok itu
tampak lebih tenang. Cekatan mengkoneksikan laptopnya dengan wifi di Kafe` itu.
Adalah sudah menjadi adatnya ia
menancapkan peralatan wireless mouse di laptopnya. Ia merasa kikuk jika
mengoperasikan laptop tanpa mouse. Tangannya menggerak-gerakkan mouse dan
membuka jaringan internet. Senyumnya terkembang laiknya layar terkembang di
perahu yang tertempa angin. Ia membuka blog pribadinya dan mengclik create
new dan jari jemarinya bergerak-gerak di atas keyboard memulai menulis :
Mengapa ya, beberapa manusia dari dulu
hingga sekarang memikirkan tentang cita-cita membentuk masyarakat yang
berkeadaban? Apakah itu bukti bahwa manusia adalah makhluk yang berakeadaban. Maka,
akan dimarjinalkan oleh mayoritas masyarakat jika ada segelintir manusia yang berusaha
membikin kisruh. Misalnya preman, freeman yakni manusia yang ngotot
berjalan bebas tanpa mau mengikuti aturan masyarakat yang semestinya, dan
muncullah sebutan sampah masyarakat.
Dalam sejarah pemikiran filsafat, impian
pembentukan masyarakat yang berkeadaban ini juga telah digaungkan oleh
Aristoteles, yang hidup kurun waktu 384-322 SM. Ia meneriakkan koinonia
politike, menggambarkan masyarakat politis dan etis, yang warga negara
berkedudukan sama di depan hukum. Cita-cita Aristoteles itu pun hingga hingga
kini, saya rasa juga belum terwujud di negeri yang saya huni ini. Hukum hanya
tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Kelihatan sederhana sekali cita-cita
Aristoteles itu, namun hal itu adalah kunci utama terbentuknya masyarakat yang
berkeadaban. Terlulu muluk memang,
memikirkan tentang swasembada pangan, menggalakkan pembangunan,
mencerdaskan anak bangsa dan seterusnya, jika cita-cita Aristoteles yang
kelihatan sederhana itu belum terwujud.
Pada abad 7 Masehi, di tanah Arab
muncullah pemikir sekaligus penggerak yang memperjuangkan suatu masyarakat
berkeadaban, yakni Nabi Muhammad Saw. Maka, terbentuklah kota Madinah, yang dulunya
kebun kurma yang luas lalu menjelma menjadi kota maju yang lebih beradab.
Pada Abad ke 17 Masehi, dalam era awal modern
itu, cita-cita membentuk masyarakat yang berkeadaban juga tidak lelah
diteriakkan oleh John Locke. Di mana ia
melihat berkembangnya dunia industri dan kapitalisme, ia pun berusaha
melindungi kebebasan dan hak milik setiap warga negara.
Saya sebagai orang Islam lebih tertarik
memahami masyarakat yang berkeadaban ditengok dari segi khazanah kekayaan
Islam. Penyebutan kata ‘masyarakat” dalam bahasa arab mengacu pada beberapa
istilah, yakni: ummah, qoum, syu’ub, kabilah, tha’ifah, dan jama’ah.
Khusus penyebutan ummah bagi kalangan
Muslim, Al-Qur’an memberikan berbagai istilah, yaitu khoiro ummah, ummah
wahidah, ummatan wasath, dan ummah muqtashidah.
Umat Islam disebut khoiro ummah atau
sebaik-baik umat (QS. Ali Imron [3]: 110) bilamana
menjalankan beberapa fungsi sosial berupa ama ma`ruf nahi munkar. Menurut
Kuntowijoyo, amar ma`ruf ini berarti melakukan gerakan transformasi Islam
melalui humanisasi, dan emansipasi. Sedangkan nahi munkar bermakna liberasi
atau pembebasan. Karena keduanya tak bisa dilepaskan dalam kerangka keimanan,
maka tak bisa dipisahkan dari transendensi.
Penyebutan kata ummah wahidah yang
berarti umat yang satu (Q.S. Al-Baqoroh [2]: 213) bisa
dimaknai sebagai asl-usul umat manusia. Asal-usul umat manusia ini semula
adalah satu, lalu setelah terjadi perselisihan, maka Allah mengutus para Nabi
sebagai pemberi kabar gembira bagi umat yang beriman dan peringatan bagi mereka
yang ingkar. Dalam konteks umat Islam, indikasi ummah wahidah ini hendaknya
dapat diimplementasikan pada persatuan dan kesatuan umat, suatu hal yang
belakangan ini kian memudar.
Penamaan ummah wasath yang berarti
umat pertengahan atau moderat, atau umat yang adil dan pilihan, agar menjadi
saksi atas perbuatan manusia, dan agar Rasul (Muhammad saw.) menjadi saksi atas
perbuatan kalian (Q.S. Al-Baqoroh [2]: 143). Menurut
Kuntowijoyo, posisi tengah umat Islam ini dapat dilihat pada tingkat geografis
dan historis, dimana secara geografis umat Islam lahir di Timur Tengah yang
terletak ditengah-tengah antara peradaban Barat (Romawi) dan timur (Persia).
Secara historis, sejarah klasik Islam terbukti berhasil menaklukan jajahan
Romawi dan Persia, sehingga Islam bisa membentang dari Spanyol sampai India.
Posisi tengah umat Islam juga tampak dari tikat budaya, dimana Islam mengambil
yang terbaik dari unsur duniawi dan ukhrowi, sebagaimana hal ini tercermin
dalam do’a kita sehari-hari “Robbana atina fi al-dunya hasanah wa fi
al-akhiroti hasanah”.
Ini berbeda dengan sebagian ideologi yang secara timpang memandang sesuatu
hanya dari dimensi duniawi saja, misalnya kaum materialis dan ateis, atau
ukhrowi saja seperti kaum spiritualis dan idealis. Posisi keseimbangan ini
masih bisa dikembangkan lebih lanjut, misalnya keseimbangan antara ilmu dan
amal, jasmani dan rohani, agama dan umum, material dan spiritual, dan
sebagainya. Menurut Rasyid Ridla, jika posisi tengah tersebut dijalankan oleh
umat Islam maka mereka pantas menjadi saksi atas perbuatan manusia umumnya.
Tidak jauh beda dengan itu, kata ummah
muqtashidah berarti umat yang lurus,sedang, pertengahan, sederhana,
bertujuan, dan tidak terjebak pada titik ekstrim. Akan tetapi, rujukan um mah
muqtashidah ini dalam Q.S. Al-Maidah [5]: 66 dinisbatkan kepada sub-komunitas
Yahudi dan Nashrani yang memiliki Kitab Suci Taurat dan Injil. Bila
diperhatikan dari segi makna kata ummah muqtashidah yang tidak jauh beda
dengan ummah wasath, maka istilah tersebut dapat dipakai bagi umat
Islam.
Masih ada dua lagi kata yang menunjukkan
sekumpulan manusia atau masyarakat, yakni tha’ifah dan jama’ah. Tha’ifah,
merupakan representasi dari kelas masyarakat, faksi atau partai tertentu yang
menganut ideologi yang sama. Tha’ifah
bisa juga diartikan sekumpulan orang atau golongan (firqoh) yang dipersatukan
oleh aliran, madzhab, ideologi atau sekte. Dan jama’ah
berarti kolektif atau sekumpulan orang atau sejumlah besar orang yang
dipersatukan oleh kesamaan tujuan.
Lantas, bagaimana kondisi bangsa
Indonesia kini supaya lebih berkeadaban? Konsep masyarakat berkeadaban dalam
khazanah Islam, mungkin tidak jauh beda dengan yang diucap Dato Seri Anwar
Ibrahim pada 26 september 1995 silam di
Masjid Istiqlal Jakarta, tentang masyarakat madani. Beliau mendamba sistem
sosial yang subur yang diasaskan pada prinsip moral yang menjamin keseimbangan
antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat.
Perihal penamaan masyarakat madani ini,
saya pernah bertanya kepada Pakde Waringin. Namun beliau malah menjawab
layaknya pelawak.
“Masyarakat madani atau madhani? Kalau
masyarakat madani, berarti masyarakat yang suka mengejek. Tapi kalau masyarakat
madhani, itu madhani masyarakat yang mana?”
Dalam bahasa jawa madani artinya memang
menjuluki. Sedangkan madhani artinya menyamai. Namun jawaban Pakde Waringin itu,
bagi saya seperti sekam dalam api yang terus bergelora dalam pikiran. Iya sih?
Masyarakat madani itu madhani yang mana?
Tentu saja kata “madani” akan meloncatkan
pikiran saya ke suatu kota yang terletak di negeri yang banyak ditemui padang
pasir, Arab Saudi sana, kota Madinah. Sebuah daerah yang awalnya bernama
Yatsrib, kemudian yang ditransformasi oleh Nabi Muhammad Saw, menjadi kota yang
adiluhung, kota yang bersinar bak lampu yang memancarkan cahaya dimalam hari :
Madinah Al-Munawwaroh.
Thus, suatu negeri yang memimpikan
masyarakat yang madani harus memotret Madinah. Yakni suatu negeri yang damai,
aman, sejahtera. Secara fisik mempunyai pembangunan yang lebih tertata rapi dan
berkeadaban. Penduduknya punya semangat keagamaan dan mempererat ukhuwah islamiyah.
Dan yang terakhir seperti yang diimpikan Aritoteles yakni penegakan supremasi
hukum.
Apakah negara Indonesia sudah layak
dijuluki suatu masyarakat yang madani? Menurut saya Indonesia sedang berproses
menuju masyarakat yang madani. Atau mungkin, masyarakat seperti itu hanyalah
masyarakat dalam idealisme saja? Ah, saya memang tengah dilanda pesimisme
akhir-akhir ini. Maksud saya mungkin, tak ada gading yang tak retak, tidak ada suatu
negeri yang sempurna tanpa kritik.
Maka, berproses menuju masyarakat yang
idealisme itu memang dibutuhkan beberapa pilar: Lembaga swadaya Masyarakat yang
berfungsi memperjuangkan aspirasi masyarakat dan empowering, pemberdayaan
terhadap masyarakat. Kedua pers, sebagai social control yang dapat
menganalisa dan mempublikasi kebijakan pemerintah. Ketiga adalah peran civitas
akademika dalam mengeluarkan kritik dan saran terhadap kemajuan negeri.
Keempat, ketundukan setiap warga negara terhadap aturan negara. Kelima,
keberadaan partai politik sebagai kendaraan menyalurkan aspirasi.
“Hey Mbak
Ina, kapan datang?”
Sekonyong-konyong
Ina dikagetkan sapaan. Ia menoleh dan membalas sapaan itu. Mereka berdua
bercakap sebentar lalu cewek yang kelihatan temannya itu berpamitan mau pesan
makanan dulu. Tampak cewek teman Ina itu beranjak dan Ina dalam lirih berujar:
Untung tulisanku udah bisa dibilang klimaks. Uh!
(Ya Allah Ya Gusti, jadikanlah hambamu
ini sebagai hamba yang saleh)
Tag:
Masyarakat madani, masyarakat beradab,
Indonesia baru,
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّـهِ ۗ وَلَوْ ءَامَنَ أَهْلُ الْكِتٰبِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُم ۚ مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفٰسِقُونَ :١١۰
كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وٰحِدَةً فَبَعَثَ اللهُ النَّبِيِّۦنَ مُبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ وَأَنزَلَ مَعَهُمُ الْكِتٰبَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيمَا اخْتَلَفُوا۟ فِيهِ ۚ وَمَا اخْتَلَفَ فِيهِ إِلَّا الَّذِينَ أُوتُوهُ مِنۢ بَعْدِ مَا جَآءَتْهُمُ الْبَيِّنٰتُ بَغْيًۢا بَيْنَهُمْ ۖ فَهَدَى اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لِمَا اخْتَلَفُوا۟ فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِهِۦ ۗ وَاللهُ يَهْدِى مَن يَشَآءُ إِلَىٰ صِرٰطٍ مُّسْتَقِيمٍ :٢١٣
وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا۟ شُهَدَآءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا ۗ وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِى كُنتَ عَلَيْهَآ إِلَّا لِنَعْلَمَ مَن يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّن يَنقَلِبُ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ ۚ وَإِن كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللهُ ۗ وَمَا كَانَ اللهُ لِيُضِيعَ إِيمٰنَكُمْ ۚ إِنَّ اللهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَّحِيمٌ :١٤٣
وَمِنْهُم مَّن يَقُولُ رَبَّنَآ ءَاتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى الْءَاخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ :٢۰١
وَدَّت طَّآئِفَةٌ مِّنْ أَهْلِ الْكِتٰبِ لَوْ يُضِلُّونَكُمْ وَمَا يُضِلُّونَ إِلَّآ أَنفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ :٦٩
وَإِن طَآئِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا۟ فَأَصْلِحُوا۟ بَيْنَهُمَا ۖ فَإِنۢ بَغَتْ إِحْدَىٰهُمَا عَلَى الْأُخْرَىٰ فَقٰتِلُوا۟ الَّتِى تَبْغِى حَتَّىٰ تَفِىٓءَ إِلَىٰٓ أَمْرِ اللَّـهِ ۚ فَإِن فَآءَتْ فَأَصْلِحُوا۟ بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوٓا۟ ۖ إِنَّ اللَّـهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ ﴿الحجرات:٩