Esai : 07
Selasa, 12 Desember 2017
Oleh : Marzuki Ibn Tarmudzi
Ngopi dan Ngaji : Berguru Kepada Sang Nabi
Tasawuf
dan Penyebab kontroversinya.
Pagi itu, seusai sholat Dhuha Pakde
Waringin menyempatkan pergi ke sawah. Sudah 20 hari semenjak tandur “tanam
mundur”, ia belum melihat kondisi sawahnya. Sesampai di sawah, Pakde Waringin
sama sekali tidak melihat satupun orang. Sepi mampri. Namun, ia tampak
senyum bahagia melihat tanaman padinya yang mulai menghijau lebat. Ia begitu
tentram melihat tanaman padinya itu, tidak bisa mengalahkan kebahagiannya
ketika dulu sempat menancapkan bendera merah putih di puncak gunung Lawu dan melihat
kehijauan, keindahan bumi.
“Kok tumben, Pakde ke sawah”
Sapa Kang Riyadi dari belakang tanpa sepengetahuan Pakde
Waringin, yang kebetulan juga sedang melihat-lihat tanaman padinya. Memang,
lokasi sawahnya Pakde Waringin dengan Kang Riyadi berdekatan hanya berjarak
sekitar 100 meter.
“Lho, Kang Riyadi. Iyya kang, pingin
ke sawah tadi rasanya. Gimana, ngelihat tanamannya?”
“Alhamdulillah wa syukurillah, Pakde. Seneng banget saya
melihat tanaman padi saya yang hijau, lebat dan tidak diserang hama”
Suasana sawah pada kondisi setelah
tandur biasanya memang sepi. Petani biasanya selesai tandur hanya sesekali ke
sawah. Entah, hanya sekedar untuk melihat-lihat, sulam, memberantas hama, memupuk
atau hal lain yang serasa diperlukan pada tanaman. Bahkan, petani biasanya
mencari penghasilan lain di luar dalam atau di luar daerah seusai tandur itu,
baru nanti ketika panen mereka kembali lagi berjibaku di sawah.
Kang Riyadi sangat senang sekali
ngobrol dengan Pakde Waringin. Tema obrolannya itu menembus alam empiris. Bukan
seperti obrolannya kebanyakan orang yang basa-basi, bangga-banggan atau keluhan.
Kang Riyadi mendekati Pakde Waringin memang selalu kangen dengan pesan-pesannya
yang lebih mencerahkan.
“Kau lihat tanaman padi ku itu Kang,
tampak hijau yang membikin hati ini begitu membahagiakan. Dua setengah bulan
lagi, tanaman itu akan tampak menguning, yang kemudian panen. Dan kita kadang
tidak mau mengambil pelajaran tentang perputaran waktu itu. Kehidupan dunia ini
Kang, kita ini sering lupa bahwa kehidupan ini hanya permainan, perhiasan dan
bermegah-megahan dengan banyaknya harta dan anak. Kita sering lupa bahwa hal
itu tidak abadi, dan kesenangan dunia ini tidak lain adalah kesenangan yang
menipu. “Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah
permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu
serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang
tanam-tanamannya mengagumkan Para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering
dan kamu Lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti)
ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan
dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” [1]
Wejangan yang ditunggu-tunggu Kang
Riyadi itupun akhirnya muncul juga. Kang Riyadi sendiri sebenarnya juga sudah
bosan dengan hal-hal keduniawian seperti itu. Kehidupan sosial yang seakan
hanya sibuk dengan riuh rendah duniawi. Sangat jarang sekali Kang Riyadi
menemui tetangga, teman sekerja yang sibuk dengan orientasi kehidupan akhirat. Hal
itu bisa dilihat dari obrolan orang-orang pada umumnya, obrolan politik,
obrolan persaingan bisnis, obrolan urusan keagamaan tapi orientasnya uang.
Kalau di sawah obrolan yang umum ya, bangga dengan hasil panen, mengeluh dengan
hasil panen, mengeluh dengan kondisi tanaman. Ah, sangat sulit menemui orang
seperti Pakde Waringin, yang memandang segala hal dari sudut pandang Al-Qur’an.
Cara pandang yang menembus batas
dunia yang fana ini sangat penting dibutuhkan sebagai hamba Allah. Supaya dalam
sujud kepada Allah ini tidak sampai mendewakan selain Allah. Sebab Allah mengutuk
perilaku seperti itu. “dan janganlah dia mempersekutukan dengan sesuatupun
dalam beribadah kepada Tuhannya”. [2] (QS. Al-Kahfi [18]:
110).
Lalu Kang Riyadi ingin bertanya
tentang suatu pertanyaan yang selama ini membuatnya gelisah : “Apakah muslim
itu salah kalau hanya berada dalam level syariat?”
Pakde Waringin menjelaskan : “Dalam
Islam ada level : syariat, tarekat,
hakekat, ma`rifat dan dan seterusnya. Hal itu adalah pembagian yang dilakukan
oleh pemikir Islam, supaya memudahkan muslim untuk memasuki Islam secara total.
Yakni mengamalkan ajaran Islam secara menyeluruh. Sebab pengamalan Islam itu
bukan hanya sujud dalam bentuk lahiriah saja namun juga sujud dalam batin. Atau,
orang hanya sibuk sholat tapi lupa dalam bermasyarakat. Suka bersedekah tapi
memberikannya dengan adigang, adigung, adiguno. Menjalankan ajaran Islam
itu dituntut seperti yang diajarkan Nabi Muhammad Saw”.
Lalu Pakde Waringin mengenalkan suatu
istilah tasawuf, suatu ideologi yang dijalankan oleh para kekasih Allah, para
ulama’. Tasawuf itu adalah totalitas memasuki wilayah Islam, pasrah tunduk
kepada Allah. “wa anna ila robbika muntaha” : “Dan bahwasanya kepada Tuhanmulah
kesudahan (segala sesuatu)”. [3] (QS. An-Najm [53]: 42).
Kang Riyadi merasa sudah pernah
mendengar istilah tasawuf itu. Bahkan ia pernah membaca suatu pendapat
bahwa ideologi tasawuf suatu ajaran yang menyimpang dari ajaran Islam. Alias, tidak
dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw.
“Apa yang menyebabkan tasawuf, yang sudah
dijalankan oleh para ulama’ itu menjadi kontroversi? Jadi, memang banyak yang
mempesoalkan identitas tasawuf itu dari mana? Itu wajar terjadi di masyarakat, jika
ada suatu produk yang mempunyai kualias super duper pasti muncul imitasi. Yakni
: serupa tapi tidak sama. Kalau kid jaman now mengatakan : KW. Misalnya, ada
produk kecap bagus merek ‘Terdepan’ yang sering di pakai oleh mayoritas
masyarakat. Lalu, di pasaran muncul merek serupa ‘Terrdepan’. Biasanya, imitasi
itu kulitasnya buruk dibanding tiruannya, bahkan tidak memenuhi standar untuk
dikonsumsi. Sebab berfokus pada harga yang lebih murah. Nah, ketika ada orang
yang meneliti, atau melakukan observasi tentang kecap bagus itu, kebetulan yang
diteliti adalah kecap yang imitasi, lalu menyimpulkan kecap ‘Terdepan’ itu tidak
layak dikonsumsi masyarakat. Nah, orang yang mengatakan tasawuf itu menyimpang
kebetulan yang diteliti itu yang imitasi”
“Maksudnya orang yang mengatakan
bahwa tasawuf itu menyimpang adalah pandangan yang keliru, begitu ya, Pakde?”
“Mereka yang mengatakan bahwa tasawuf
itu menyimpang, karena belum memasuki
alam yang ada di dalam lautan tasawuf, ia belum tahu taman-taman indah inti
kemanusian. ia hanya mengamati di
pinggir-pinggir lautan saja. Ia hanya sampai pantai. Sehingga ia hanya menemukan kotoran, s ampah,
bangkai kemudian ia menyimpulkan bahwa lautan itu isinya kotoran dan sampah.
Meneliti tasawuf tentu saja tidak cukup hanya menggunakan logika. Sebab tasawuf
adalah alam esensi kemanusian, sedangkan alam inti manusia adalah rahasia
Allah, maka tidak cukup memahaminya dengan akal”, jawab Pakde Waringin.
Pakde Waringin meneruskan : “Jadi,
jika meneliti tasawuf hanya dengan logika saja, maka alat yang digunakan
terlalu remeh. Meneliti tasawuf kok pake ‘ logika. Atau memakai term, kalau
kata orang sekarang. Ada data, ungkapan lalu diambil keputusan. Atau, ada
kesimpulan, kesimpulan dan kesimpulan lalu diambil kesimpulan akhir. Contohnya
: data pertama setiap manusia itu makan. Data kedua, hewan itu makan. Lalu
diambil kesimpulan bahwa manusia itu sama dengan hewan. Nah, itu kan hasil
analisa akal. Ketika bahan awalnya sudah salah. Maka, hasil kesimpulannya pun
juga akan salah”
......bersambung.
[1]
اعْلَمُوٓا۟ أَنَّمَا الْحَيَوٰةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ
وَتَفَاخُرٌۢ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِى الْأَمْوٰلِ وَالْأَوْلٰدِ ۖ كَمَثَلِ
غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُۥ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَىٰهُ مُصْفَرًّا
ثُمَّ يَكُونُ حُطٰمًا ۖ وَفِى الْءَاخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِّنَ
اللَّـهِ وَرِضْوٰنٌ ۚ وَمَا الْحَيَوٰةُ الدُّنْيَآ إِلَّا مَتٰعُ الْغُرُورِ
﴿الحديد:٢۰
Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya
kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan
bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta
dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan Para petani; kemudian
tanaman itu menjadi kering dan kamu Lihat warnanya kuning kemudian menjadi
hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta
keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang
menipu.
[2]
قُلْ إِنَّمَآ أَنَا۠ بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَىٰٓ إِلَىَّ أَنَّمَآ
إِلٰهُكُمْ إِلٰهٌ وٰحِدٌ ۖ فَمَن كَانَ يَرْجُوا۟ لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلْيَعْمَلْ
عَمَلًا صٰلِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدًۢا ﴿الكهف:١١۰
Katakanlah: Sesungguhnya aku ini
manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya
Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan
dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia
mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".
[3]
وَأَنَّ إِلَىٰ رَبِّكَ الْمُنتَهَىٰ ﴿النجم:٤٢
Dan bahwasanya kepada Tuhamulah
kesudahan (segala sesuatu),
(Ya Allah, jadikanlah hambamu sebagai
orang-orang yang menyampaikan kebenaran-Mu)
Incoming
search :
# tasawuf, #
sufi, # jalan sufi, # ilmu jalan menuju Allah,
Judul terkait:
Í