(tulisan tempoe doeloe yang sempat tercecer,
sebuah Cerpen, 10 Januari 2006)
Oleh: Marzuki Ibn Tarmudzi
Di sekolah, setiap hari otakku diracuni oleh senyum-senyum
manis Allison meski aku tak ubahnya wisatawan yang berbunga hati hanya dengan memandang saja. Allison ini sekonyong-konyong menawarkan padaku
seutas tali cinta yang dilempar-lemparnya melalui gaya-gaya bicara dan gaya
–gaya sikapnya. Sebagai laki-laki yang normal aku dihadapkan untuk memilih satu
dari dua opsi yang rumit. Antara ketekunan belajar dan menagkap saja cinta
Allison. Opsi kedua merupakan sarat resiko bagiku, karena itulah menyangkut
perasaan. Bukankah perasaan menuntut peran sangat dominant dalam tapak-tapak
langkah manusia? Bukankah prioritas sekolah adalah belajar dengan tekun? Namun,
bukankah pacaran mampu menjadi tiang-tiang kokoh pembangkit spirit belajar? Ah,
otakku selalu berkecamuk perang argumentasi yang bertendensi pada Allison.
Sungguh 95% bagian otak ini tersita untuk Allison. Hari senin ini
aku bangun pagi benar. Senyum Allison terus
saja bergelayut di batok kepalaku meski baru bangun tidur. Seusai sholat shubuh
rutinitasku membaca buku atau Koran sembari menunggu sampainya waktu berangkat
sekolah. Namun hari ini aku parah berat. Aku hanya duduk termenung di depan
rumah dan otak ini makin bereksplorer ria data-data tentan Allison; rindu
senyum manisnya, rindu merdu suaranya saat-saat bercengkerama dengan
teman-temannya, rindu gaya cerdasnya mengeluarkan pendapat saat-saat diskusi
kelas. Sungguh 90
Aku berteriak lirih pada benda-benda di sekelilingku,”Apakah
ini yang namanya cinta?”
Semuanya diam. Tampak dicuekin, mukaku merah. Aku pandangi
dalam-dalam rumput di depanku. Dan, rumput itu entah, entah kenapa tampak
mengusirku: Hei, orang gila, pergi kau!
Aku mundur tiga langkah. Mengalah. Dan berbisik keras pada
rumput menjengkelkan itu.
“Brow, apakah kau tahu, yangkurasakan ini benar-benar cinta?”
Aku terkejut. Rumput di depanku itu bergoyang-goyang,
seolah-olah mau mengajak berbicara dengan bahasa tubuhnya itu.
“Hai James,…”
Aku makin tercengang dengan sapaan itu.
“Cinta itu hanyalah ketegangan perasaanmu saja. Katarsis!”
“Cinta itu hanyalah ketegangan perasaanmu saja. Katarsis!”
Aku memperhatikan rumput itu tanpa sama sekali berkedip.
Diam. Namun aku tak sependapat dengan argumen rumput itu. Bukan. Cinta bukanlah
katarsis.
“James, asal kamu tahu ya, cinta yang kau alami itu
melibatkan hormone-hormon seksual,……”
Rumput itu tahu kalau saya tak sependapat dengannya. Maka
terus saja nyerocos meguatkan argumennya.
“Tahukah kau? Hormon testoteronnya Tejo dan hormon
progesterone Surti, itu bergejolak menggerakkan aliran darah mereka berdua
saat-saat bertemu”
Bingung. Sama sekali aku tak sependapat dengan argument
makkhluk itu. Namun argument apa untuk menguatkan pendapatku. Aku mengerutkan
dahi tanda berpikir keras. Belum aku menemukan argumen, rumput itu menggertakku
dengan mengibaskan daunnya ke arahku.
“Heh! Ngapain kamu hanya bengong. Maukah kau kusebut manusia
bodoh?”
“Tidak!”
Akhirnya aku berani mengeluarkan suara meski hanya satu kata
saja bentuk penyangkalan. Aku tidak mau kau anggap bodoh. Kamu hanyalah rumput.
Namun…
Rumput itu berbisik keras,”Dan perlu kau ingat-ingat!
Ketegangan gejolak gerakan-gerakan aliran darah mereka, antara Surti dan Tejo,
itu bias saja mencapai titik puncak, yakni kebosanan. Katarsis! Itulah cinta
yang kau alami, hei orang bodoh!”
Aku tersentak hebat dengan kata terakhir bisikan dari makanan lezat sapi itu. Aku berupaya keras menguras otak ingin sekali membantah argument itu. Semakin aku berpikir justru rumput itu makin berogoyang-goyang menertawakanku: Bodohnya kau orang udik!
Kini sedikit-sedikit aku mulai mengagumi sosok rumput itu.
Cerdas! Akupun jadi samar-samar mengingat salah satu lagu Ebiet G Ade yang
berjudul Berita kepada kawan yang sebagian liriknya ada yang berbunyi,” Atau
alam mulai enggan Bersahabat dengan kita Coba kita bertanya pada Rumput yang
bergoyang. O, betapa Tuhan menciptakan makhluk-NYA pastilah membawa manfaat dan
sama sekali tak boleh diremehkan. Walau hanyalah seonggok rumput. Aku berusaha
menggerak-gerakkan bibir ini untuk tersenyum manis pada rumput itu namun
seprtinya ada suara-suara bising yang mengganggu kemesraanku.
“James, ayo berangkat!”, teriak keras John Kimsey dari
seberang jalan yang suaranya diiringi dengan menggeber gas Harley Davidsonnya.
Brooooom…..bum! Bum…broooooom….
“Jaaaaames”
Broooooooom
Aku diam. Aku tahu itu panggilan kawanku, John Kimsey. Namun
rasa-rasanya berat sekali meninggalkan kemesraanku bersama rumput ini. Tapi,
aku tetaplah harus berangkat sekolah. Aku amat rindu pada senyum Allison. Aku
harus sekolah!
“Ooooooooe hooooooe ayooooo! James”
“Oke! Sebentar, John!”
Aku menjawab panggilan John lebih cepat dari geberan gas
Harley Davidson itu. Aku sudah menyiapkan semua properti sekolahku sejak bangun
tidur dan telah berseragam usai shubuh. O, aku tak lupa cium tangan orang tua
sebelum berangkat sekolah.
Broooooom…….bum! Bum……..broooooom
Tampaknya John kelamaan menungguku. Aku berlari kecil kea rah
John. Opst! Muka John merah. Tak bersahabat. Aku harus menampakkan rendah hati
dan meminta maaf.
“Sory banget, John”
“Yuuuuuk, cabut!”
Broooom….. bum! Broooooom…..
7 km. jarak yang relative dekat. Lha wong Harley Davidson.
John Kimsey amat konsentrasi bila berkendara motor. Bagi John, seni yang
membuat seluruh panca indra bekerja adalah naik motor. ±Jarak tempuh ke sekolah.
Aku merasa seperti bermain ayunan dibonceng motor ini. Segar.
Begitu segarnya sampai otakku terbawa mengingat kembali pada forum liar dengan
rumput tadi. Cinta itu katarsis, begitulah argument rumput tadi. Aku sama
sekali tak sependapat. Bagiku, cinta adalah hasil yang dicapai akibat
kecenderungan naluriah. Pendapatku karena teringat waktu dulu aku mengaji.
Bahwa Al-Ghozali di dalam Ihya’ Ulum Ad-din mendefinisikan cinta sebagai
kecenderungan naluri kepada sesuatu yang dirasa menyenangkan dan menentramkan
jiwa. Cinta bukan sama sekali hanya kekalutan atau ketegangan perasaan semata,
namun cinta mampu menumbuhkan ketentraman jiwa.
Kini aku sadar niat baik rumput, betapa ia sebenarnya
berupaya menyadarkanku untuk jangan terlarut dengan perasaan ini. Aku adalah
siswa yang harus tekun belajar. Aku masih duduk di bangku kelas dua SMA. Masa
depanku masih panjang. Memang, cinta adalah kebutuhan, tepatnya kebutuhan
naluriah. Namun belajar merupakan kewajiban bagi siswa. Akupun membuat
keputusan, biarkan sajalah cinta ini mengalir apa adanya mengikuti alur-alur
kehidupan. Prioritasku adalah belajar.
“Turun James!”
Aku kaget. Tanpa terasa telah sampai di sekolah. Dan John
Kimsey memandangku.
“Wah! Mukamu tampak pucat pasi James, sakit ya? Bagaimana
kalau aku antar kamu pulang? Nanti aku sajalah yang akan urus perizinan absen
kelas. Oke!”, John bersemangat.
“Memangnya aku kenapa? Wong aku sehat-sehat begini kok! uhuks..uhuks…He…..he….he….”, sembari aku berlagak layaknya lakom film popeye is sailor.
“lha begitu dong! Senyum! Cemberut saja dari tadi”
“Kawan! Sebentar ya…aku mau ada bisnis”
“Kawan! Sebentar ya…aku mau ada bisnis”
“loh James! Kemana?”, teriak John, tak rela kutinggal.
Aku berlari kecil ke Mushola sekolah yang berjarak 150 m dari tempat parker. Aku mau sholat dhuha dan berdo’a untuk menstabilkan gejolak hatiku. Aku tidak mau berlarut-larut otakku ter-instal oleh data-data tentang Allison. Aku ingin bangkit dari keterpurukanku. Aku rindu pada sosokku dulu yang tekun belajar. Sosok yang selalu membusungkan dada bila berjalan. Sosok yang mampu memberikan pencerahan pada teman-teman. Kini, rasa-rasanya untuk berdiri saja sulit. O, betapa cinta membuatku tak berdaya.
Aku langsung mengambil air wudhu di Mushola. Suasana mushola
putra sungguh sepi. Entah, bagaimana suasana mushola putrid? Namun biasanya
mushola putri lebih ramai. Ada atmosfer yang berbeda memasuki mushola ini.
Hatiku lebih tenang. Gejolak cinta ini sangat pedih bila aku harus jauh dari
Tuhan. Akupun sholat dhuha yang lantas aku berserah diri pada Allah Swt.
“Ya Allah, berikanlah rupa-rupa kebaikan dengan cintaku ini. Bila memang benar-benar Allison adalah jodohku, aturlah dengan system-sistem canggih-Mu. Dan bila memang bukan engkau ciptakan dari salah satu tulang rusukku, alangkau baiknya Engkau jauhkan saja perasaan cintaku pada Allison ini.
Seremonila ini sangat berarti bagiku. Bukan artinya cintaku
pada Allison tenggelam. Bukan! Namun aku merasakan cintaku ini lebih membawa
ketentraman jiwa.
Usai aku ritual ini suasana mushola masih tampak sepi. Aku
sempatkan diri mengintip mushola putrid sebelum pergi ke kelas. Dan, tiba-tiba
saja kaki ini seperti sama sekali tidak menyentuh tanah, tangan yang kugunakan
menyibak kain penutup candela mushola putri ini tiba-tiba saja gemetar. Karena
dua bola mataku menemukan sesosok perempuan yang begitu dekat dengan hati ini.
Saat menoleh ke wajahku perempuan itu tampak terkejut sesaat lantas senyum
simpul.
“Assalamu’alaikum, Allison”, ucap salamku mesra.
“Wa’alaikum salam, eh……James, ada apa? Memang kamu tidak bersiap-siap upacara?”
“Wa’alaikum salam, eh……James, ada apa? Memang kamu tidak bersiap-siap upacara?”
“Ya, masih kurang dua puluh menit kok”
“Ayo! Jangan-jangan mau sembunyi ya….tidak ikut upacara, he……he……”
“Eh, Allison itu cantik-cantik tapi suka memprovokasi ya”
Ah! Begitu saja marah. Hati-hati saja, cepat jadi kakek-kakek!”
“tidak apa-apalah, yang penting nenek-neneknya kamu! Ha….ha…ha…”
Sungguh pertemuanku dengan Allison ini menghamburkan segala
kelu kesahku. Senyumnya menaklukkan kesombonganku sebagai lelaki. Aku tak mampu
lagi untuk merapal konsep-konsep rayuanku. Aku lunglai. Aku menatap matanya
dengan tatapan cinta. Dan saat dua bola mata Allison merespon tatapan dua bola
mataku, benar-benar aku tak sadarkan diri.
Incoming search
# cinta monyet # cinta SMA 3 # cinta anak muda
Baca tulisan yang lain :