Esai : 11
Esai, Cerpen Islami, Senin, 25 Desember 2017
Oleh: Marzuki Ibn Tarmudzi
Ngopi dan Ngaji : Suluk Menuju
Allah
AL-HIKAM AFORISME DUA
ارادتك التجريد مع اقامة الله اياك فى
الاسباب من الشهوة الخفية وارادتك الاسباب مع اقامة الله اياك في التجريد انحطاط
من الهمة العلية[1]
Keinginanmu untuk tajrid[[2]],
sementara Allah masih menegakkan engkau di dalam asbab[[3]],
merupakan syahwah[[4]]
yang tersamar (halus). Dan keinginanmu kepada asbab, pada saat Allah
sudah menegakkan engkau dalam tajrid, merupakan suatu kejatuhan dari himmah[[5]]
yang tinggi
Ada suatu paradigma yang generik di
kalangan mu’min tertentu. Jika riuh
rendahnya aktivitas laiknya diberi tugas kantor, mengajar di sekolah, mengayuh
becak, menjaga kedaulatan negara, mencangkul di sawah, menjadi buruh pabrik, menyopir
bus, menjadi pengusaha batubara, berdagang di pasar, menjadi pemimpin
masyarakat, menjadi kuli batu, mencari ikan di laut, sebagai konsultan
perusahaan, mencari pasir di sungai, atau aktivitas-aktivitas seabrek lainnya
itu bisa mengganggu fokus dalam peribadatan kepada Allah Ta’ala. Akhirnya memutuskan untuk
melepaskan aktivitas itu, dan bertawakkal saja. Toh, Allah sudah mencukupi
kebutuhan makhluknya, begitu asumsinya. Padahal itu adalah keinginan syahwat
yang terselubung.
Atau sebaliknya, hamba yang sudah Allah
tempatkan, berada dalam level tajrid “mencangkul langit” ia berkeinginan
menjadi level asbab “mencangkul bumi”, dengan berbagai argumentasi dari
dirinya sendiri yang kelihatannya baik. Lantas, dengan tenangnya melenggang
sendiri memasuki wilayah kesibukan aktivitas dunia. Padahal, itu momen terperosotnya
ia dari himmah yang tinggi.
“Bagaimanakah mengetahui maqom[[6]]
kita?”
“Memintalah pendapat guru mursyidmu. Ia
lebih tahu tentang kondisimu, levelmu, maqommu”
Kegelisahan Kang Riyadi itu terjadi
akhir-akhir ini. Bagaimana ia melihat kehidupan Ustadz Toha yang tidak terlalu
sibuk mengurusi aktivitas dunia, tapi kondisi ekonominya baik-baik saja. Ia
tidak pernah mengeluh, istrinya setia, bahkan bisa menguliahkan anaknya di
Universitas ternama di Jakarta. Aktivitas ustadz Toha palingan juga hanya
mengajar TPQ di Masjid dan hanya punya sawah yang tidak luas-luas amat. Mengapa
ya hidupnya bisa terlihat serba berkecukupan?
Mengenai kondisi ustadz Toha, sebenarnya
Pakde Warinigin sudah menerangkan kepada Kang Riyadi bahwa ustadz Toha itu
telah berada pada maqom tajrid, bukan lagi menempati maqom asbab yang
masih dalam dunia sebab akibat, atau bukan seperti manusia pada umumnya yang kalau mau punya uang banyak ya kerja dan
kerja. Dari situ, malahan Kang Riyadi penasaran dengan kondisi maqomnya dimana:
sudah tajrid atau masih mendekam di asbab?
Pakde Waringin meneruskan : “Mintalah
pendapat mursyid yang membibingmu, mengenai hal itu. Kemarin kan sudah saya
beritahu to, supaya kamu lekas mencari guru pembimbing, guide perjalanan
kamu menuju Allah. Masih ingat to kemarin tentang kriteria mursyid yang mesthi
dianut?”
“Saya belum diberi tahu lho, Pakde. Apa
saja itu Pakde?”, bergairah sekali Paklik Sumantri.
Mas Lantip tampak mengeluarkan pulpen dan
selembar kertas menanti-nati materi yang akan disampaikan Pakde Waringin itu.
Sementara itu Mas Kelik hanya mendengarkan perbincangan itu dengan serius dan
santai. Kang Soenandar sebagai preman Kampun Kaligarung itu hanya mendengarkannya
sembari merokok saja. Meski preman ia sangat respek dengan Pakde Waringin itu,
atau kalau berani-berani ia dengan Pakde Waringin, bisa dibikin tidak mampu
berdiri dari tempat duduknya.
Pakde Waringin menjelaskan :“Dalam kitab
ummul barahin, Dasuki, dalam kriteria mencari guru pembimbing atau mursyid[[7]]
itu ada empat: Pertama Muayyadun binuril bashiroh, punya kekuatan indra
keenam, bisa menembus hati si murid. Kedua, Zaahidun ‘ani ad-dun`ya, beku
hatinya terhadap dunia. Ketiga, Ro`ufun bil fuqoro` wal masakin, punya
kepedulian mendalam terhadap faqir miskin. Ketiga, Rohiimun bi dhu’afail
mu’minin, punya kasih sayang terhadap mukmin yang lemah imannya, sabar
ngemong, menuntunnya supaya menjadi mukmin yang kuat. Ulama seperti itu setiap
waktu ada tapi ibarat seperti eksistensi belerang merah, langka banget. Tapi
meskipun sulit dicari, kriteria yang seperti itu ada, dan kalau sudah menemukan
ulama’ seperti itu jangan kau lepaskan. “innma yakhsyallaha min ‘ibadihil
ulama`. Yang takut kepada Allah hanya Ulama”[[8]] Peganglah tak ubahnya kau menggigit sesuatu
dengan gigi geraham, artinya bergurulah jangan sampai kau berlepas .....
“Apakah ada alternatif lain Pakde, selain
itu?”,
Baca
Artikel lain:
Sekonyong-konyong Mas Lantip memotong
penjelasan Pakde Waringin. Semuanya menoleh ke Mas Lantip. Kok berani-beraninya
memotong dawuh-dawuh Pakde Waringin, gerutu mereka dalam hati. Kang Riyadi pun
tersenyum, ia seakan tidak pernah memunculkan pertanyaan itu dalam pikirannya.
Diam-diam ia pun mengagumi kecerdasan Mas Lantip.
“Istikhoroh dan musyawarahlah. Tidak akan
rugi orang yang mau istikhoroh dan tidak akan kecewa orang yang mau
bermusyawarah”, jawab Pakde Waringin tegas.
“Apakah ada indikasi mengetahui bakat
seseorang yang tajrid atau asbab?”
Seakan tidak memberi kesempatan Pakde
Waringin untuk bernafas, Paklik Sumantri langsung menyuguhkan pertanyaan
lainnya yang membikin Kang Riyadi iri. Betapa bersinarnya otak Paklik Sumantri,
gumamnya lirih sembari melirik. Mengapa saya belum menemukan pertanyaan yang
cerdas, kan itu tema dari saya to?
“Seseorang yang berbakat di maqom asbab
biasanya ada buahnya, yakni aktivitas kerjanya biasanya tidak berpengaruh pada
fokusnya dalam beribadah kepada Allah, juga aktivitas kerjanya itu malahan bisa
menjadi personal approach, pendekatan terhadap keluarga yang bercerai
berai”
Kang Soenandar hanya bisa memandangi saja
percakapan mereka. Ia seakan merasa belum mampu memahami dawuh-dawuh
Pakde Waringin itu. Bahkan hingga kini, perjuangannya baru saja ingin menjadi
manusia yang baik itu saja sulit sekali. Seakan mendaki di bukit berbatuan yang
terjal yang sulit ditaklukkan. Dulu, sebelum mengenal Pakde Waringin tak
ubahnya serigala hutan yang buas yang siap menerkam obyek apapun ketika lapar. Kesabaran
Pakde Waringin dalam mendidiknya, diam-diam dapat meluluhkan pongahnya dan
akhirnya menaruh simpati padanya. Bahkan suatu ketika, pernah Kang Soenandar
diusir istrinya dari rumah karena habis judi dan miras lalu beberapa hari lontang-lantung[[9]]
di perempatan jalan dan hanya Pakde Waringin yang memperdulikannya.
“Sedangkan seseorang yang telah berbakat
di tajrid itu ketika pengangguran hatinya tidak merasa gelisah sama
sekali. Atau, ketika seseorang melepas aktivitas kerjanya itu malahan ia mampu
mempunyai kegiatan yang lebih adiluhung”
“Trus, tajrid dan asbab itu bagus mana
Pakde, maaf saya kurang ngerti begituan?”
Pertanyaan itu mencengangkan bagi Mas
Lantip, Mas Kelik, Kang Riyadi dan Paklik Sumantri. Mereka tak menyangka preman
kampung itu juga bisa memunculkan pertanyaan. Kang Soenandar sendiri juga tak sadar,
tiba-tiba saja ia muncul pertanyaan itu.
“Tajrid dan Asbab itu bukan
tujuan. Tajrid dan Asbab bukan suatu indikasi kebagusan maqom
seseorang. Yang terpenting adalah ketundukanmu terhadap Allah. Menyadari
posisimu di hadapan Allah. Jika kamu punya sawah yang luas, punya buruh tani,
dan aktivitasmu tidak mengganggumu dalam beribadah, berarti tempat kesalehan
kamu disitu. Lain hal, jika kamu seorang kyai yang seharusnya mengajar
murid-muridnya lantas pergi ke sawah, berarti itu memperosotkan posisi”
“Owalah, Saya pikir tajrid itu
setingkat di atasnya asbab”, gerutu Kang Riyadi.
Pakde Waringin menjelaskan: “Pengabdian
kepada Allah yang terpenting adalah jangan memutuskan sesuatu berdasar
keinginan nafsumu. Apakah kamu tidak ingat? Bagaimana kasusnya sahabat Abu
Bakar yang membaca Al-Qur’an pelan. Baginya, membaca Al-Qur’an itu harus pelan
sebab itu kalam Allah, maka membacanya pun harus hati-hati dan pelan, bahkan
jangan diobral sembarangan dengan dibaca keras karena itu mutiara adilihung.
Berbeda dengan sahabat Umar yang membacanya keras. Baginya, dengan membaca
Al-Qur’an keras maka kotoran-kotoran pikiran dan hati bisa minggat.
Mendengarkan hipotesa kedua sahabat itu memang baik. Namun, justru Nabi malah
menyuruh membaca sebaliknya. Yakni, sahabat Abu Bakar membaca dengan keras dan
sahabat Umar dengan pelan. Sebab beribadah itu menuruti perintah Nabi, sebagai
pembimbingnya bukan beribadah berdasar keinginannya sendiri”
Baca
Artikel yang lain:
Mas Lantip membikin conclusion di
catatannya: Jangan sampai nafsu mendapatkan bagian dalam tiap amal. Alangkah
baiknya, bersuluk[[10]]
itu mendapat guidance dari guru.
“Berdoalah kepada Allah supaya diberi
kemantapan beribadah sesuai dengan keberadaan maqom kita: robbii
adkhillni mudkhola shidqin wa akhrijni mukhroja shidqin waj’alni min ladunka
shultonan nashiro. Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara masuk yang
benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah
kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong”[[11]]
“Lalu, apakah kita ini tidak boleh
mempunyai cita-cita, Pakde”, tanya Mas Lantip cekatan.
“Boleh, bercita-citalah setinggi langit,
kalau perlu tulis cita-citamu di dinding kamarmu, tapi diatas tulisan itu tetap
harus kamu tulis : insya Allah, jika Allah menghendaki”
Mas Lantip manggut-manggut. Mas Kelik
tepekur. Paklik Sumantri nyeruput kopi. Kang Soenandar ongkang-ongkang seperti
menerawang jaman yang semakin runyam.
”sawabiqul himam la takhriqu
aswarol aqdari, Kekuatan himmah-himmah tidak akan mampu mengoyak tirai
qodar-qodar”[[12]].
Sembari meluruskan kakinya yang sedari
tadi duduk bersila Pakde Waringin mengutip Al-hikam aforisme ketiga. Jelas, ia
tampak kesemutan atau dalam istilah medisnya disebut parestesia, yang hal itu
disebabkan karena pasokan darah ke saraf di bagian itu terhambat. Meski dalam
beberapa kasus, ada orang yang gampang sekali kesemutan, maka secepatnya
konsultasi dokter sebelum ada hal yang tidak terpikirkan.
Pakde Waringin menjelaskan bahwa sekalipun
seseorang memiliki keinginan yang sangat kuat, namun pencapaian itu sudah
ditentukan kadarnya, porsinya, dan waktunya. Segala sesuatu sudah ditentukan
takdirnya. Bersuluk, mengabdi kepada Allah esensinya adalah berserah diri
kepada Allah, pencapaian dalam suluk tidak dapat dipercepat maupun diperlambat.
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran”[[13]].
Dalam ayat lain,” Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan
kepadamu, Maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. dan jika
Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, Maka tak ada yang dapat menolak
kurniaNya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di
antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[[14]]
“Tapi kadang ada lo Pakde, seseorang yang
sukses dan menjadi idola dimana-mana. Lalu menjadi public speaker dan
ketika ditanya perihal kiat-kiat keberhasilannya, dengan gagahnya mengatakan
bahwa kesuksesannya hasil jerih payah dan dipetakan sejak masih di bangku
sekolah”, Mas Kelik menggugat.
“Pertama, bisa jadi orang belum terbuka
kesadarannya, bahwa anggota badannya, yang meliputi pikirannya itu adalah
anugrah Allah. Kedua, sebenarnya semua konstelasi cita-cita, usaha dan
kesuksesan itu adalah taqdir dari Allah”, Pakde Waringin menimpali.
“Lantas, bagaimanakah tentang ayat Allah
yang artinya : Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum
sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”[15]
“Lantas, apakah kamu berpikir bahwa ayat
itu memberitahukan kepada kamu, jika manusia itu bisa bergerak, berevolusi
sendiri tanda ada campur tangan tuhan? Apakah kau tidak lihat bahwa ayat itu
memberitahukan kepadamu, jika kamu sebenarnya hanya wayang yang digerakkan.
Cobalah kau renungkan kembali ayat itu dalam-dalam. Jangan membaca ayat
Al-Qur’an sembari tiduran, bisa celaka kau”
(Ya Allah,
Alhamdulillah bisa menyelesaikan tulisan ini. Ya Allah, jadikanlah hambamu
sebagai hamba yang soleh)
Incoming search:
# toriqoh # Tarekat # Al-hikam pasal 2
dan 3 # memahami taqdir Allah # Suluk # Ilmu Jalan Menuju Allah # Ijuma #
Kampung Kaligarung Karangjati Ngawi, Jawa Timur #
[1] Al-Hikam
pasal kedua. Al-Hikam merupakan kitab buah karya Syeikh Ibnu Ato’illah
Asy-Syakandary, hidup di Mesir di masa kekuasaan Dinasti Mamluk. Lahir di kota
Alexandria (Iskandariyah), Mesir, lalu pindah ke Kairo. Di kota inilah beliau
menghabiskan hidupnya dengan mengajar fikih Mazhab Imam Maliki diberbagai
lembaga intelektual. Beliau juga mursyid ketiga dari Thariqoh Syadziliyah.
Sedangkan mursyid yang pertama adalah Syeikh Abu Hasan Ali Asy-Syadzili, wafat
1258 M, kemudian diteruskan Syeikh Abu Abbas Al-Mursi, asal dari Murcia,
Andalusi, Spanyol, wafat 1287M.
[2] Tajrid
adalah penanggalan aspek-aspek dunia dari jiwa (nafs), atau secara singkat bisa
dikatakan sebagai pemurnian jiwa. Seperti halnya sahabat Abu hurairah, namun
beliau adalah sahabat yang terbanyak mencatat hadits.
[3] Asbab
adalah status jiwa (nafs) yang sedang Allah tempatkan dalam dunia sebab akibat.
Semisal Sahabat Abdu Rohman bi Auf, yang kaya raya, bahkan sepeninggal Nabi,
beliaulah yang mencukupi ummul mukminin. Atau seperti Iskandar Zulkarnain yang
Allah tempatkan sebagai raja di dunia, mengurusi dunia sebab akibat.
[4] Syahwah
adalah keinginan kepada bentuk-bentuk material dan duniawi, seperti harta,
makanan dan lawan jenis. Berbeda dari syahwat, hawa nafsu (disingkat “nafsu”)
adalah keinginan kepada bentuk-bentuk non material, seperti ego, kesombongan,
dan harga diri.
[5] Himmah
merupakan lawan dari kata syahwat, yang juga memiliki arti keinginan. Namun
bila syahwat merupakan keinginan yang rendah, maka himmah adalah keinginan yang
tinggi, keinginan menuju Allah.
[6]
Keberadaan.
[7] Dalam
Al-Qur’an, istilah mursyid dapat ditemui di suroh Al-Kahfi [18]: ayat 17.
مَن يَهْدِ اللَّـهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ ۖ وَمَن يُضْلِلْ فَلَن تَجِدَ لَهُۥ وَلِيًّا مُّرْشِدًا ﴿الكهف:
Barangsiapa yang diberi petunjuk
oleh Allah, Maka Dialah yang mendapat petunjuk; dan Barangsiapa yang
disesatkan-Nya, Maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpinpun yang dapat
memberi petunjuk kepadanya.
[8] QS.
Al-Fathir [35]: 28
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّـهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمٰٓؤُا۟
[9]
Pengangguran
[10]
Berserah diri kepada Allah
[11] Lihat
QS. Al-Isro’ [17]: 80
رَّبِّ أَدْخِلْنِى مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِى مُخْرَجَ صِدْقٍ وَاجْعَل لِّى مِن لَّدُنكَ سُلْطٰنًا نَّصِيرًا ﴿الإسراء:
رَّبِّ أَدْخِلْنِى مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِى مُخْرَجَ صِدْقٍ وَاجْعَل لِّى مِن لَّدُنكَ سُلْطٰنًا نَّصِيرًا ﴿الإسراء:
Ya
Tuhan-ku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku
secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan
yang menolong
[12]
Al-Hikam aforisme 3
[14] QS.
Yunus [10]: 107
وَإِن يَمْسَسْكَ اللَّـهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُۥٓ إِلَّا هُوَ ۖ وَإِن يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلَا رَآدَّ لِفَضْلِهِۦ ۚ يُصِيبُ بِهِۦ مَن يَشَآءُ مِنْ عِبَادِهِۦ ۚ وَهُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ ﴿يونس:١۰٧
إِنَّ اللهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ
يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ
Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan
sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.