OLEH: MARZUKI BERSEMANGAT
Saat aku memulai tulisan ini hatiku bergidik. Acakadut. Lantas hati ini serasa ditaburi irisan bawang-bawang yang masih basah. Perih. Sebab, kedua telingaku kusumpal dengan headphone yang membunyikan lagu milik adele, yakni some one lile you, jangankan aku, manusia sesongong pentholan band Dewa 19, Ahmad Dhani, iapun tertunduk meneteskan air mata waktu Regina menyanyikan lagu itu, di Indonesian Idol sesion eliminasi top 15. Dan entah, entah kenapa radio Dcs FM 100.50 MHz Madiun ini selalu sok tahu selera hatiku.
Saat aku memulai tulisan ini hatiku bergidik. Acakadut. Lantas hati ini serasa ditaburi irisan bawang-bawang yang masih basah. Perih. Sebab, kedua telingaku kusumpal dengan headphone yang membunyikan lagu milik adele, yakni some one lile you, jangankan aku, manusia sesongong pentholan band Dewa 19, Ahmad Dhani, iapun tertunduk meneteskan air mata waktu Regina menyanyikan lagu itu, di Indonesian Idol sesion eliminasi top 15. Dan entah, entah kenapa radio Dcs FM 100.50 MHz Madiun ini selalu sok tahu selera hatiku.
Jam tangan digitalku bergerak pada 13.15 WIB. Namun matahari sejak pagi tadi masih malu-malu menunjukkan dirinya di atas kota Madiun. Kulihat spidometer motorku telah berputar sekitar 27 Km sedari rumahku. Sekarang saya berada di Jl. Sulawesi. Kunikmati sejenak suasana lengang ini disebuah depot Lombok Idjoe tepi utara jalan dengan secangkir coffee. Aku senang mendengarkan obrolan-obrolan para karyawan-karyawan dari berbagai elemen itu. Aku serasa life observer. Bagiku, mengamati manusia itu lebih rumit daripada sekedar memahami rumus matematika itu. Secara dzatiyah, Manusia itu makro kosmos. Berdinamika. Dunia itu mikro kosmos. Berdasar itulah sampai kini aku tak mau menghakimi manusia. Dan aku apatis tentang perspektif orang padaku.
Setengan jam berlalu nge_ coffee break akupun menancap motor menuju Jl. Dr. Cipto. Diujung jalan ini sampailah aku didepan PBM (Pasar Besar Madiun). Pasar yang tampak megah nan mengkilat sebab balutan keramik pada dinding-dinding depan itu. Dari Jl. Dr. Cipto aku menyebrangi Jl. Panglima Sudirman untuk ke PBM. Aku masih didepan pasar mondar-mondir mencari tempat yang nyaman untuk nongkrong. Kulihat ada warung pecel, tentu ini tuntutan perut yang mulai berdemo. Secepat aku memarkir motor sekilat aku memesan pecel khas madiun ini. Kududuki kursi yang tingaal satu menunggu pembeli itu.
“Pekene penampungan teng Stadion Wilis ajeng pindah teng mriki to , Pak?” (Pasarnya penampungan dari stadion Wilis mau pindah ke sini ya, Pak?”) Tanyaku pada orang yang duduk disebelahku.
Memang, sejak 2008 lalu, PBM untuk sementara dialokasikan sebelah utara stadion wilis Madiun. Tempat itu dulunya tetumbuhan heterogen. Lantas Pemkot Madiun membangun beberapa bidak rapi dengan kayu dan berdinding triplek. Ini sebagai upaya penertiban pedagang pasar besar pasca kebakaran.
Dan, kini empat tahun sudah para pedagang PBM menempati pasar penampungan itu. Bukan waktu yang singkat. Pasalnya proyek pembangunan pasar itu sudah molor dari kontrakannya. Dan, berulang kali PT. Lince Romauli Raya itu berjanji dan berjanji. Kawan, awal januari 2012 kemarin adalah somasi terakhir untuk segera mengkhatamkan proyek tersebut. Ancaman putus kontrak bila membelot.
Aku pernah hampir setahun bergumul dengan riuh-rendah pasar penampungan stadion Wilis Madiun. Dan, tentu aku merasakan becek dan berantakannya air saat hujan mengguyur. Bila malam hari saat pedagang sepi maka tikus-tikus sebesar paha-paha akan mengacak-acak dagangan. Ngeri. Tak terbayang memang, sebuah kota Madiun mempunyai pasar layaknya perumahan kumuh, apalagi kini Madiun terkenal dengan julukan kota GADIS ,(Arti dari madiun kota gadis adalah madiun kota perdagangan dan industri. Dulunya sebelum memakai nama madiun kota gadis, madiun memakai nama madiun bangkit yang artinya adalah bersih, aman, indah dan tertib. Pemerintah kota madiun memberi nama madiun kota gadis dikarenakan pemerintah kota madiun akan mengembangkan kota madiun dalam sektor industri dan perdagangan. Sumber www.kotamadiun.com ). Belum lagi dari sisi pengunjung pasar, “sepi banget, Mas”, kata salah seorang pedagang saat diwawancarai oleh Wartawan perihal pengunjung di pasar penampungan stadion wilis itu.
“Njih, triyose tanggal pitu April 2012 niki, nanging njih dereng cetho kok, Mas”, (Iya, katanya tanggal 7 April 2012 ini, tapi ya belum jelas juga sih, Mas”,)
Begitulah jawaban bapak yang duduk disebelahku tadi. Sungguh jawaban yang tak meyakinkan. Pasar yang tampak mempesona dari depan itupun tidak bisa menipu mata bapak itu, betapa bangunan yang konon menelan anggaran Rp 76,5 M dari APBD Kota Madiun tahun 2010 dan 2011 (sumber : www.antarajatim.com), ternyata asal jadi belaka. Dan, kabar akan pindahnya pasar penampungan ke PBM sudah akrab terdengar namun tak pernah terwujud. Menurut hemat penulis ada 3 hal yang menyebabkan pedagang enggan kembali ke PBM; pertama, karena proyek pembangunan pasar besar itu sama sekali tidak benar-benar digarap secara serius. Terbukti dengan sering macetnya pembangunan. Sempat santer terdengar di Masyarakat, jika banyak kuli mengeluh lantaran sudah beberapa bulan mereka belum mendapatkan uang saku. Kedua, para pedagang trauma dengan kebakaran PBM yang sudah dua kali tahun 1999 dan 2008. Ketiga, para pedagang kecewa dengan stand-stand dan lapak-lapak pasar yang ukurannya kecil dibanding dulu, juga kebijakan sekarang yang mengharuskan satu orang mendapat satu stand. Padahal dulu ada yang punya stand lebih dari dua hingga 15 stand. Konon arsitek PBM itu sengaja didatangkan dari negeri orang. Berharap hight quality secara international class, possible. Namun, impossible. Native Madiun tak sebodoh mereka kira.
Harapanku untuk PBM, bisalah menjadi wadah bagi pedagang yang dulu pernah berjualan di PBM, yang sempat tercerai berai tempatnya. Kedua, Dinas PBM bisa lebih sensitif terhadap permasalahan warganya. Wa’allahu A’lamu.
Opst! Aku tak sadar pecel pesananku tadi sudah didepanku. Lapar sekali. Kawan, udah makan belum, makan nie he he….