Oleh : Marzuki
Proklamasi 17 Agustus 1945 merupakan sejarah terbesar bagi negara Indonesia. Sejarah yang didalamnya penuh telikungan dan pengorbanan. Memang, pengorbanan selalu memakan korban, kata Lenin, Bapak Revolusioner Rusia.
Tapi sayang, generasi yang saya tunggangi hanya gemar mendewakan sesuatu yang oportunis dan artifisial. Remaja yang kini telah terjangkit epidemi budaya mall; suatu budaya yang mengambil wacana dunia mall. (Darmaningtyas; dalam bukunya Pendidikan rusak-rusakan). Telephone genggam (Hp) lebih diartikan produk modern bukan diartikan secara fungsional. Maka tak heran, aksesoris yang melekat tidak mencerminkan perilaku yang konsisten. Membawa handphone namun ingkar janji tanpa memberi pemberitahuan.
Puluhan abad yang lalu hiduplah seorang nabi berkebangsaan arab bernama Muhammad, yang pernah dulu bersabda bahwa sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang bermanfaat terhadap manusia lainnya. Begitu sederhana teori beliau untuk menjadi manusia yang terbaik. Sekali lagi, menjadi manusia yang berguna bukan menjadi sampah masyarakat. Tentu disini, pesan ini lebih saya tekankan kepada para pemuda-pemudi sebagai generasi penerus bangsa ini. Lebih khusus lagi, anak Indonesia harapan masa depan. Anak Indonesia harus mampu mengembangkan potensi-potensinya. Yakni meluaskan kemanfaatan yang ada pada dirinya untuk kehidupan bermasyarakat yang lebih luas.
Waktu yang hilang tak akan pernah tergantikan, begitulah kata mutiara yang tertulis didalam buku Al-hikam karya Ibnu Ato’illah As-syakandari. Betapa, anak indonesia harus berusaha memanfaatkan waktu dengan semaksimal mungkin untuk belajar. Kalau bukan kita yang mempersiapkan untuk menjadi pemimpin Indonesia masa depan lantas siapa lagi. Kita semua mempunyai kesempatan yang sama untuk bercita-cita memimpin negeri ini. Dan, tak mudah untuk menjadi pemimpin negeri ini, semuanya harus mempersiapkan diri, begitulah pesan Bapak Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono. Semangat Budi Oetomo pada 1908 dengan deklarasi “Kaum Moeda Indonesia”-nya harus tetaplah kita pelihara. Pemuda seharusnya lah maju jangan berhenti, karena berarti mati, atau malah mundur yang berarti hancur. Dulu, sewaktu Indonesia belum memamah kemerdekaan ia telah berhasil melahirkan orang-orang seperti Bung Karno, Sjahrir dan Hatta. Sekarang?
Semangat tanya itulah yang bergelayut di otak penulis. Semoga secuil aksi saya ini bisa bermanfaat. Seenggak-enggaknya onggokan unek-unek saya ini sudah terlepaskan, atau minimal saya sudah beraksi daripada tidak sama sekali. Lebih dari, Wa Allahu A’lamu.
Tagged; aku anak Indonesia, Aku harus bisa, Sekolah untuk Indonesia