By: Marzuki Bersemangat
Mr. M memarkir harleynya di dekat lampu merah stasion kereta api. Melihat siswa-siswi yang melakukan penelitian disebuah sawah samping stasiun itu. Cahaya matahari yang panas. Sesekali Mr. M mengusap keningnya dari keringat. Antusiasnya siswa-siswi tertular pada Mr. M. Semangat menelusuri lika-liku alam kehidupan.
Duar. Dua dari dua arus yang berlawanan. Perang acap sering kali terjadi. Kubu pisang dan kubu kelapa. Bertarung memperebutkan “kebenaran” atau “Dukungan”. Kubu itu saling membawa pendapat sebagai penguat. Tak pelak simbol-simbol agama, repoblikien, benda-benda angkasa menjadi tameng. Manusia acap kali lupa, bahwa ada satu momok yang sebenarnya harus diperhatikan untuk mendaatkan stempel kebenaran dari manusia: uang!?.
Mr. M pun membiru matanya, manakala lembaran-lembaran dinar itu ditaruh disakunya. Mr. M tidak mau menjadi munafik. Katanya, menyebut Tuhan tidak mengingatkan kita pada uang, namun sebaliknya, uang dapat mengingatkan pada Tuhan. Pernyataan tersebut diambil dari buku GANTI HATI DAHLAN ISKAN.
Orang suksespun, pada zaman sekarang lebih dilihar dari faktor ekonomi. Dan mereka lebih bisa membawa motivasi bagi anak muda. Kyai yang diundang dalam pengajian diperkampungan, masyarakat lebih terdahulu memandang kendaraan. Itulah potret masyarakat kita. Masyarakat yang sudah bergeser cara pandangnya dalam menyikapi apapun, bukan lagi masyarakat tempo dulu.
Mr. M melihat pada fenemona masyarakat bahwa mereka dalam pemilihan wakilnya yang duduk diatas. Memilih calon yang lebih dekat dengan mereka, yaitu uangnya. Mr. M pun bertanya-tanya pada dirinya, apakah uang segalanya? Beberapa hari Mr. M merenung, diskusi, tanya pada orang-orang yang dianggap nyambung tentang hal itu. Dan jawabannya adalah tidak, tapi kesepakatan.
Uang tidak akan dapat menukar apapun. Kesepakatanlah yang menjadi poin utama terjadinya jual beli. Konon disebut barter. Barang ditukar dengan barang. Mr. M teringat, dulu didesanya bahkan sampai sekarang adalah desa yang kaya akan beras. Karena sebagian besar desanya merupakan sawah. Dan tidak afdhol kalau tidak berprofesi petani walaupun guru. Ketika dulu pada rezim Soeharto, petani sangat menjunjung beliu. Karena Pak Harto dekat dengan para petani dan harga dari hasil petanipun lebih tinggi dari pemerintahan setelahnya . Beras dulu sangat menjadi kebanggaan petani. Untuk membelipun petani menukarkan bers dengan barang yang diinginkan.
Mr. M semakin bernostalgia dengan Ngawi kota beras ah...!! Indonesia dulu adalah negara swasembada pangan. Negara yang mampu memenuhi kebutuhan logistiknya sendiri. Sekarang Mr. M tidak tahu apakah predikat itu masih melekat. Tapi Mr. M gembira, mendengar bahwa Indonesia saat ini, 2009, hutangnya pada IMF suda hampir lunas. Tapi Mr. M belum mengecek kebenaran berita itu kalau memang itu benar, 100 buat SBY-JK. Kenaikan BBM kemarin katanya adalah langkah SBY untuk melunasi hutang, salah satunya.
Mr. M memarkir harleynya di dekat lampu merah stasion kereta api. Melihat siswa-siswi yang melakukan penelitian disebuah sawah samping stasiun itu. Cahaya matahari yang panas. Sesekali Mr. M mengusap keningnya dari keringat. Antusiasnya siswa-siswi tertular pada Mr. M. Semangat menelusuri lika-liku alam kehidupan.
Duar. Dua dari dua arus yang berlawanan. Perang acap sering kali terjadi. Kubu pisang dan kubu kelapa. Bertarung memperebutkan “kebenaran” atau “Dukungan”. Kubu itu saling membawa pendapat sebagai penguat. Tak pelak simbol-simbol agama, repoblikien, benda-benda angkasa menjadi tameng. Manusia acap kali lupa, bahwa ada satu momok yang sebenarnya harus diperhatikan untuk mendaatkan stempel kebenaran dari manusia: uang!?.
Mr. M pun membiru matanya, manakala lembaran-lembaran dinar itu ditaruh disakunya. Mr. M tidak mau menjadi munafik. Katanya, menyebut Tuhan tidak mengingatkan kita pada uang, namun sebaliknya, uang dapat mengingatkan pada Tuhan. Pernyataan tersebut diambil dari buku GANTI HATI DAHLAN ISKAN.
Orang suksespun, pada zaman sekarang lebih dilihar dari faktor ekonomi. Dan mereka lebih bisa membawa motivasi bagi anak muda. Kyai yang diundang dalam pengajian diperkampungan, masyarakat lebih terdahulu memandang kendaraan. Itulah potret masyarakat kita. Masyarakat yang sudah bergeser cara pandangnya dalam menyikapi apapun, bukan lagi masyarakat tempo dulu.
Mr. M melihat pada fenemona masyarakat bahwa mereka dalam pemilihan wakilnya yang duduk diatas. Memilih calon yang lebih dekat dengan mereka, yaitu uangnya. Mr. M pun bertanya-tanya pada dirinya, apakah uang segalanya? Beberapa hari Mr. M merenung, diskusi, tanya pada orang-orang yang dianggap nyambung tentang hal itu. Dan jawabannya adalah tidak, tapi kesepakatan.
Uang tidak akan dapat menukar apapun. Kesepakatanlah yang menjadi poin utama terjadinya jual beli. Konon disebut barter. Barang ditukar dengan barang. Mr. M teringat, dulu didesanya bahkan sampai sekarang adalah desa yang kaya akan beras. Karena sebagian besar desanya merupakan sawah. Dan tidak afdhol kalau tidak berprofesi petani walaupun guru. Ketika dulu pada rezim Soeharto, petani sangat menjunjung beliu. Karena Pak Harto dekat dengan para petani dan harga dari hasil petanipun lebih tinggi dari pemerintahan setelahnya . Beras dulu sangat menjadi kebanggaan petani. Untuk membelipun petani menukarkan bers dengan barang yang diinginkan.
Mr. M semakin bernostalgia dengan Ngawi kota beras ah...!! Indonesia dulu adalah negara swasembada pangan. Negara yang mampu memenuhi kebutuhan logistiknya sendiri. Sekarang Mr. M tidak tahu apakah predikat itu masih melekat. Tapi Mr. M gembira, mendengar bahwa Indonesia saat ini, 2009, hutangnya pada IMF suda hampir lunas. Tapi Mr. M belum mengecek kebenaran berita itu kalau memang itu benar, 100 buat SBY-JK. Kenaikan BBM kemarin katanya adalah langkah SBY untuk melunasi hutang, salah satunya.